Ekonomi Indonesia Minus 5,32 Persen, Program Perlindungan Sosial Harus Segera dilakukan Pembenahan

Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen (y-o-y). Konsumsi rumah tangga sebagai komponen terbesar sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi penyumbang penurunan terbesar yaitu -2,96 persen yang diikuti oleh investasi sebesar -2,73 persen. Adapun secara kumulatif, ekonomi Indonesia terkontraksi sebesar 1,26 persen jika dibandingkan dengan semester I 2019.

Terkait dengan laporan yang disampaikan Badan Pusat Statistik kemarin, Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan menyampaikan “Penurunan konsumsi rumah tangga merupakan sinyal bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi program perlindungan sosial dalam upaya penanganan Covid-19. Universal basic income (jaminan penghasilan semesta) yakni bantuan tunai tanpa syarat bagi semua warga dapat menjadi alternatif dalam menggenjot konsumsi rumah tangga. Jaminan penghasilan semesta bisa diberikan kepada seluruh warga usia produktif dan lansia selama minimal 3 bulan dengan nilai Rp 500-600 ribu tiap bulannya.”

Di samping itu, kontraksi pada pertumbuhan pengeluaran pemerintah juga cukup mengejutkan. “Anjloknya pengeluaran pemerintah di angka 6,9 persen pada kuartal kedua tahun ini adalah yang terburuk selama satu dekade terakhir. Kondisi ini mengindikasikan bahwa saat ini isu kebijakan fiskal belum cukup ekspansif. Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah dan pemerintah desa harus eksekusi belanja pemerintah.” ujar Rahmanda Muhammad Thaariq, Peneliti Ekonomi, The PRAKARSA.

“Pemerintah perlu lebih serius dalam mereformasi tata cara percepatan eksekusi belanja baik di tingkat pusat maupun daerah dan desa agar pertumbuhan ekonomi tidak kembali negatif pada kuartal ketiga dan keempat. Sebab apabila pertumbuhan ekonomi negatif dua kuartal berturut-turut maka akan membuat perekonomian Indonesia masuk ke fase resesi dan ini harus dihindari. Sejarah membuktikan resesi ekonomi selalu identik penurunan daya beli masyarakat dan peningkatan pengangguran dalam skala yang hebat,” tambah Maftuchan.

“Oleh karena itu, pemerintah perlu berkonsentrasi pada bagaimana membuat kebijakan fiskal ekspansif efektif dalam mengungkit pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, membuat belanja pemerintah tereksekusi sedini mungkin dan berkualitas. Kedua, arahkan bantuan sosial dalam bentuk tunai dan menyasar kepada semua warga. Jika pemerintah masih mengedepankan pendekatan targeting, maka kepada kelompok rumah tangga dengan pendapatan ekonomi menengah juga harus dimasukkan sebagai sasaran. Terlebih, berdasarkan laporan World Bank, terdapat 115 juta Aspiring Middle Class (calon kelas menengah) yang rentan jatuh miskin lagi (Jamila). Sebagian besar dari kelompok ini hanya memiliki tingkat konsumsi rata-rata per bulan antara Rp2-4,8 juta rupiah. Selain itu, sebagian besar dari mereka merupakan pekerja informal sehingga tidak memiliki jaminan sosial dan sering kali tidak tercakup oleh bantuan sosial dari pemerintah. Apresiasi terhadap rencana pemerintah memberikan bantuan tunai kepada kelompok pekerja formal dengan gaji di bawah Rp 5 juta. Namun, hal ini berpotensi “mengekslusi” kelompok pekerja informal, maka pendekatan semesta menjadi solusi yang paling tepat. Ketiga, besaran dan durasi belanja pemerintah atau bantuan sosial harus bersifat fleksibel di mana dapat disesuaikan kembali apabila aktivitas perekonomian masih belum bergairah.” tambah Rahmanda.

Dari aspek ketenagakerjaan, adanya pandemi juga berimbas pada tingkat pengangguran di Indonesia. Menurut data dari OECD, tingkat pengangguran berada pada level 8,4 persen pada Mei 2020, naik 3,2 persen dibandingkan Februari 2020. “Dalam menanggapi masalah ini, pemerintah perlu menyediakan perlindungan sosial dan peningkatan skill dalam menghadapi perekonomian di era pandemi. Penciptaan lapangan kerja melalui program padat karya dan industrialisasi harus segera ditingkatkan mengingat setiap tahunnya terdapat sekitar 2 juta angkatan kerja baru di Indonesia,” tandas Maftuchan.

“Meskipun upaya percepatan pemulihan ekonomi perlu menjadi perhatian utama pemerintah, jangan sampai upaya percepatan penanggulangan pandemi COVID-19 dinomorduakan. Tiongkok telah membuktikan penanggulangan pandemi COVID-19 yang agresif terbukti mempercepat peningkatan ekonomi. Pada kuartal ketiga tahun ini pertumbuhan ekonomi Tiongkok tercatat rebound dari minus 6,8 persen menjadi positif 3,2 persen. Terlebih sejak Maret 2020 inflasi Indonesia relatif rendah dan berada di tren yang menurun. Ini mengindikasikan bahwa penurunan ekonomi selama pandemi COVID-19 lebih diakibatkan oleh demand shock dari pada supply shock. Dengan demikian, pemerintah masih punya ruang yang cukup untuk mempercepat serapan belanja dan bila perlu memperbesar anggaran belanja pada tahun ini,” tutup Herawati, Peneliti Ekonomi The PRAKARSA.

Contact Person
Herawati (Economic Policy Officer The PRAKARSA)
Email: herawati@theprakarsa.org
Handphone: +6285333974546

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.