AH MAFTUCHAN *)
Kemiskinan masih menjadi salah satu problem utama pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rakyat miskin, penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, sebanyak 28,59 juta orang, setara dengan 11,22 persen penduduk (Maret 2015). Mereka inilah yang berada dalam kemiskinan kronis karena berada di bawah garis kemiskinan: pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp 312.328. Bank Dunia (2014) mencatat penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan jumlahnya masih besar, 65 juta jiwa, sangat rentan jatuh miskin.
Lembaga pemikir dan peneliti Perkumpulan Prakarsa (2015) menambahkan,kemiskinan moneter ala BPS dan Bank Dunia di atas tidak memadai untuk melihat kemiskinan secara komprehensif. Melalui Indeks Kemiskinan Multidimensi, Prakarsa memasukkan tiga dimensi (kesehatan, pendidikan, dan standar hidup) untuk melihat kemiskinan multidimensi di Indonesia. Hasilnya, angka kemiskinan multidimensi Indonesia masih tinggi, yakni 29,7 persen pada 2014. Artinya, 79,5 juta jiwa atau 19,3 juta rumah tangga tergolong miskin multidimensi, yakni terjerat masalah pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.
Sebaran pekerjaan
Meskipun sudah menjadi anggota G-20—kelompok negara-negara yang menguasai 85 persen PDB dunia, 75 persen perdagangan dunia, dan dua pertiga jumlah penduduk dunia—Indonesia masih tergolong negara lower-middle-income-country (pendapatan per kapita sekitar 1.046-4.125 dollar AS). Artinya, faktor utama keikutsertaan Indonesia di G-20 adalah karena jumlah penduduknya. Kontribusi Indonesia dari sisi produksi dan perdagangan masih minim.
Dengan jumlah angkatan kerja pada Agustus 2015 mencapai 122,38 juta orang, yang bekerja hanya 114,82 juta orang. Sebanyak 48,5 juta orang atau 42,24 persen bekerja pada sektor formal dan 66,3 juta orang atau 57,76 persen bekerja pada sektor informal. Dari latar belakang pendidikan, pekerja formal masih didominasi penduduk berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah sebanyak 50,8 juta orang atau 44,27 persen; SMP sebanyak 20,7 juta orang atau 18,03 persen; dan sebanyak 12,6 juta orang berpendidikan tinggi (BPS: 2015).
Sementara itu, pengangguran terbuka (unemployment) masih tinggi, mencapai 7,56 juta orang. Di sisi lain, ada kecenderungan kelompok setengah pengangguran (under-employment) meningkat setiap tahunnya.
Berdasar data BPS, jika tenaga kerja dilihat dari sektor pekerjaannya, sektor 1 (pertanian, kehutanan, perburuan, kehutanan, dan perikanan) masih menjadi sektor paling banyak menyerap tenaga kerja, yakni 37,75 juta orang (32,88 persen) pekerja. Sektor 3 (industri pengolahan/manufaktur) menyerap 15,2 juta (13,29 persen) tenaga kerja, sektor 5 (bangunan dan konstruksi) menyerap 8,2 juta (7,15 persen) pekerja dan sektor 6 (perdagangan, rumah makan, hotel dan retail) menyerap 25,6 juta pekerja (22,37 persen).
Tingginya sektor informal di Indonesia menunjukkan ketidaksinkronan antara struktur ekonomi dan struktur pasar kerja. Perekonomian mengalami pergeseran dari sektor agraris (cenderung informal) ke sektor industri dan jasa (cenderung formal). Tenaga kerja masih berada pada sektor agraris, tetapi bergerak ke arah formal. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih tertinggi, tetapi kontribusi sektor ini dalam perekonomian nasional cukup rendah. Sektor ini hanya menyumbang 15 persen PDB.
Dengan singkat, pergeseran struktur ekonomi nasional tidak diikuti dengan reorientasi pasar tenaga kerja. Bahkan, pemerintah terkesan gamang dalam menyikapi perubahan ini. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menjadikan infrastruktur salah satu prioritas pembangunan, yang tentu membutuhkan tenaga kerja ahli di bidang teknik sipil, pertukangan, dan bangunan. Jika pasar ini tidak segera ditangkap, tenaga kerja pertukangan dan bangunan akan didatangkan dari negara lain, Tiongkok dan Filipina, misalnya.
Jelas kiranya pemerintah perlu melakukan upaya lebih sistematis penyiapan tenaga kerja dan penciptaan tenaga kerja yang selaras dengan struktur ekonomi yang berjalan. Kementerian Ketenagakerjaan yang bertugas di bidang ketenagakerjaan belum memiliki ”cetak biru” penciptaan tenaga kerja terampil dalam jumlah lebih besar dan selaras dengan pasar kerja.
Balai latihan kerja yang menjadi garda depan kementerian ini untuk mencetak tenaga kerja terampil di berbagai bidang jumlahnya terlalu sedikit dan dengan kualitas yang kurang baik, bahkan ”hidup segan, mati tak mau”. Revitalisasi dan reposisi peran, pengembangan infrastruktur, kurikulum, tenaga pendidik, dan jumlah peserta didik harus segera dilakukan dengan cepat dan baik.
Sudah waktunya kebijakan dan anggaran negara hadir untuk mendukung kesempatan bagi pencari kerja dan angkatan kerja Indonesia mendapatkan pekerjaan dengan upah layak.
Minimnya dana
Salah satu masalah adalah minimnya pendanaan bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Negara-negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) rerata, setiap tahun (2004-2011), mengeluarkan 0,6 persen anggaran dari total PDB-nya untuk program pelatihan-pemagangan kerja kejuruan teknis (TVET) dan dukungan aktif penciptaan lapangan kerja baru.
Sementara total alokasi APBN untuk Kementerian Tenaga Kerja kurang dari 0,1 persen dari total PDB Indonesia, yakni Rp 3,8 triliun (2016), turun dari Rp 4,2 triliun (2015). Jika pemerintah berkomitmen mendukung sumber daya manusia Indonesia yang berdaya saing global, produktif, dan terampil, sudah waktunya dilakukan reorientasi kebijakan alokasi anggaran untuk percepatan penciptaan tenaga kerja.
Estimasi awal, sedikitnya perlu alokasi dana Rp 10 triliun-Rp 20 triliun per tahun. Dengan alokasi sebesar ini, sebanyak 1 -1,5 juta tenaga kerja terampil dapat disiapkan per tahun.
Reorientasi diarahkan untuk penciptaan tenaga
kerja yang cakap, masif, dan selaras dengan pasar kerja. Langkah yang dapat
dipacu antara lain revitalisasi pelatihan, pemagangan dan pendampingan kerja;
fasilitasi penciptaan lapangan kerja baru (start-up); program
kerja sama dengan korporasi; program padat karya; sertifikasi; subsidi tenaga
kerja sosial; dan basic income bagi
pengangguran. Jika program ini dijalankan, hal itu akan menjadi pull factor dan sekaligus menjadi push-factor bagi upaya mewujudkan kesejahteraan di
Indonesia. (*)
*) AH MAFTUCHAN, DIREKTUR EKSEKUTIF PERKUMPULAN PRAKARSA
Opini Terbit di Harian Kompas