Responsibank Indonesia mempublikasikan laporan yang berjudul “Ketidakadilan Prosedural Dalam Relasi Plasma-Inti Petani Skala Kecil dan Perusahaan Sawit : Studi Kasus Perkebunan Astra Agro Lestari di Sulawesi Tengah”. Studi ini mengungkap bagaimana petani skala kecil terperangkap di dalam tata kelola perusahaan sawit yang bersifat kaptif atau tawanan melalui skema operator plasma-inti sehingga menjerat petani kecil dalam siklus kemiskinan yang berkepanjangan.
“Tujuan utama dari studi ini adalah untuk memahami relasi antara petani plasma dan perusahaan sawit di dalam rantai pasok industri sawit serta mendorong sektor keuangan untuk meningkatkan pemantauan dan pengawasan praktik industri sawit sebagai pihak yang mengalirkan pendanaan sehingga praktik bisnis perkebunan sawit memiliki system yang adil dan dapat mensejahterakan petani skala kecil.”, Kata Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA.
Dwi Rahayu Ningrum, Program Officer The PRAKARSA menjelaskan bentuk tata kelola buruk yang dialami oleh petani diantaranya:
- Petani terikat hutang dengan kisaran 85 juta – 98 juta rupiah pada perusahaan atas lahan plasma yang dikelola perusahaan tanpa kejelasan informasi perihal bentuk kesepakatan pinjaman dan pembayarannya.
- Dokumen legal lahan plasma atas nama petani sebagian besar dipegang oleh perusahaan, di mana kebanyakan lahan belum memiliki sertifikat dan terdapat kasus lahan sawit yang tidak memiliki izin hak guna usaha.
- Perusahaan tidak transparan soal hasil panen yang menjadi basis dalam skema bagi hasil.
Lebih lanjut, Dwi Rahayu juga mengungkap beberapa aktor Lembaga keuangan dibalik operasi perkebunan Astra Agro Lestari tersebut. Aliran kepada perusahaan AAL dipetakan melalui pembiayaan kepada Grup Jardine Matheson. Pemberi kredit terbesar berasal dari lembaga keuangan di Jepang yaitu SMBC, OCBC, dan Mizuho Finance. Sedangkan kreditur terbesar Indonesia adalah Bank Mandiri dan Bank Panin. “Artinya lembaga-lembaga keuangan tersebut ikut andil melestarikan adanya kemiskinan dan ketidakadilan prosedural dalam tata kelola kaptif pada kasus anak perusahaan AAL di Sulawesi Tengah”, tegas Dwi.
Studi ini memunculkan beberapa rekomendasi. “Pemerintah seharusnya meninjau dan merevisi skema pengelolaan plasma oleh perusahaan karena petani skala kecil rentan mengalami diskresi tata kelola yang keputusannya sepihak dari perusahaan. Perusahaan inti seharusnya melakukan transparansi informasi antara petani dan perusahaan untuk menyelesaikan masalah keterlilitan hutang jangka panjang dan legalitas kepemilikan lahan plasma. Selain itu, Perusahaan dan media perlu memberikan Informasi yang seimbang kepada publik termasuk penyandang dana perusahaan kelapa sawit tentang kondisi sosial ekonomi yang dihadapi oleh petani plasma skala kecil yang terikat dalam kerja sama dengan perusahaan inti”, kata Ah Maftuchan.