Jakarta, 28 Februari 2021 – Laporan lembaga urgewald yang berbasis di Jerman menunjukkan sebanyak 6 (enam) bank nasional Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL)[1] 2020, selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. Keenam bank nasional tersebut antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Koordinator Responsi Bank, AH Maftuchan, menyampaikan bahwa total pinjaman tersebut senilai 6,29 Miliar USD atau senilai 89 Triliun Rupiah dan underwriting[2] atau penjaminan emisi sebesar 2,64 miliar USD atau 16,6 Triliun Rupiah.
Padahal saat ini dengan adanya tren pembiayaan berkelanjutan (sustainability finance), lembaga keuangan diharapkan sudah mulai mengalihkan pendanaannya ke industri yang lebih berkelanjutan. Batu bara merupakan salah satu energi yang menghasilkan emisi dan banyak investor global telah mulai menyatakan tidak akan lagi membiayai batu bara baik di hulu maupun PLTU batubara. Hal ini karena daya rusaknya terhadap lingkungan dan menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang menyebabkan kenaikan temperatur bumi dan penyebab perubahan iklim.
Maftuchan menambahkan, 6 bank nasional tersebut memberi pendanaan kepada perusahaan tambang batu bara dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang juga menggunakan batu bara sebagai bahan bakar listrik. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini telah menerbitkan roadmap keuangan berkelanjutan tahap II, yang bisa menjadi acuan bagi lembaga keuangan untuk beralih ke bisnis yang lebih berkelanjutan dengan menerapkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
OJK mengembangkan ekosistem keuangan berkelanjutan yang meliputi kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi Kementerian/Lembaga, dukungan non pemerintah, sumber daya manusia, dan awareness.
“Ekosistem yang dibentuk diharapkan memberi insentif bagi lembaga keuangan yang mulai berinvestasi di keuangan berkelanjutan. Bank dan lembaga penjamin perlu mulai memikirkan untuk mengurangi pembiayaan terhadap industri batubara demi melindungi bumi untuk anak cucu ke depan,” kata Maftuchan.
Dwi Sawung, Koordinator Kampanye WALHI, menyampaikan sektor batu bara masih menjadi sumber pendapatan industri keuangan Indonesia, walaupun pernah menjadi non-performing loan terbesar beberapa tahun lalu. Industri keuangan indonesia masih belum juga memperhatikan kelestarian lingkungan khususnya sektor yang menyebabkan perubahan iklim padahal dampak perubahan iklim ini akan mempengaruhi konsumen dari industri perbankan sendiri. Industri keuangan indonesia juga belum memiliki peta jalan kapan untuk mengakhiri investasi mereka di industri energi kotor batubara.
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan, pelaksanaan dari roadmap keuangan berkelanjutan harus jelas secara teknis dan penting untuk melibatkan sejumlah pihak yang masih memiliki interest terhadap energi fosil seperti Kementerian ESDM, Dewan Energi Nasional dan lembaga terkait.
“Tujuannya agar transisi pelaksanaan pembiayaan lembaga keuangan misal,
energi fosil ke energi yang lebih berkelanjutan seperti energi terbarukan dapat
dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Jika, hanya mengandalkan roadmap-nya OJK, akan sulit tercapai,”
tegasnya.
[1] GCEL merupakan database perusahaan yang beroperasi di sepanjang rantai nilai thermal batubara. Data ini diproduksi oleh Urgewald dan bisa dilihat di www.coalexit.org
[2] Underwriting atau penjaminan emisi atau investasi perbankan merujuk pada proses dimana bank menaikkan investasi modal bagi perusahaan dengan menerbitkan obligasi atau saham atas nama mereka dan menjualnya kepada investor seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, reksa dana, dll.
Lampiran:
Tabel 1: Semua pinjaman dan underwriting (penjaminan emisi) bank nasional kepada perusahaan-perusahaan yang terdaftar GCEL antara October 2018 s/d Oktober 2018 (dalam juta dollar US).