MIMPI NEGARA KESEJAHTERAAN

UUD 1945 mengamanatkan negara memenuhi sejumlah hak warga negara demi menciptakan kesejahteraan rakyat. Tema kesejahteraan tegas diamanatkan oleh Konstitusi sebagai prioritas kebijakan publik. Oleh karenanya, upaya mewujudkan Negara Kesejahteraan (welfare state)—dimana negara menjamin terpenuhinya standar kesejahteraan bagi warga negara—adalah hakiki. Sebelum masuk pada arena diskusi welfare state di Indonesia, alangkah elok jika didahulukan dengan mengupas gagasanwelfare state itu sendiri. Buku ini mengajak pembaca untuk menjelajahi gagasan welfare state sebagai pijakan awal konstruksi kritik terhadap upaya negara menjalankan amanah Konstitusi yakni, mewujudkan Negara yang menyejahterakan rakyat.

Berangkat dari kajian teoritik dan empirik, penulis buku ini tiba pada bagian akhir berupa pertanyaan yang dapat disimpulkan sebagai berikut: Sejauh mana kemampuan negara pasca Orde Baru merespon kebutuhan agenda-agenda welfare state dimana ‘kesejahteraan sosial’ sebagai platform?

Founding fathers Republik Indonesia, baik Soekarno, Hatta, Tan Malaka, maupun Sjahrir, menempatkan keadilan sosial sebagai cita-cita sentral yang perlu dipikul oleh negara. Dalam buku ini, Negara Kesejahteraan dianggap format paling tepat guna mewujudkan cita-cita tersebut. Welfare state telah mengarungi perjalanan panjang di Eropa Barat dan Utara, juga telah memberikan gambaran tentang bagaimana negara menjalankan peranannya mewujudkan kesejahteraan serta daya tahannya menghadapi tantangan-tantangan yang datang dari internal maupun eksternal.

Uraian berbasis pengalaman empirik dari negara-negara kesejahteraan Skandinavia adalah salah satu bahasan yang menarik bagi peresensi. Negara kesejahteraan a la Skandinavia berangkat dari basis kaum petani dengan struktur egalitarian yang kuat pada masa pra-industri. Kuatnya posisi kaum petani di Skandinavia menjadi penentu agenda kebijakan sosial yang universal pada masa awal industrialisasi. Dengan bekal partai politik berbasis petani, tawar-menawar politik dalam perumusan kebijakan sosial dan kesejahteraan tidak hanya mencakup perlindungan terhadap kelas pekerja perkotaan, tetapi juga kepentingan kelas petani pedesaan (hlm. 43). Pengalaman ini dapat menjadi rujukan bagi kelas petani Indonesia yang dominan dalam struktur lapangan kerja Indonesia dengan jumlah 39.678.453 jiwa (BPS 2017). Tinggal bagaimana organisasi pertanian mengkonsolidasikan dirinya dalam upaya melakukan tawar-menawar politik terhadap pembuat dan penentu kebijakan.

Selain berangkat dari basis kelas petani yang kuat, modal institusional negara kesejahteraan di Skandinavia adalah fusi antara gereja dengan negara dalam penyediaan jasa sosial, seperti kesehatan dan pendidikan (hlm. 44). Indonesia pun memiliki modal institusional yang mirip untuk meneguhkan negara kesejahteraan, yakni organisasi keagamaan yang terstruktur hingga tingkatan akar rumput. Tidak sedikit organisasi keagamaan di Indonesia juga menyediakan jasa sosial, seperti pendidikan dan kesehatan. Namun sayangnya, kedua institusi ini (baca: negara dan organisasi agama) terkesan berjalan sendiri-sendiri. Dan tantangannya pun juga cukup berat, berupa layanan pendidikan dan kesehatan yang sebagian diserahkan ke pasar (liberal).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pemantik negara kesejahteraan adalah penerapan jaminan sosial universal. Denmark mengesahkan undang-undang pertama tentang jaminan sosial pada kurun 1891-1898 yang meliputi pensiun hari tua, asuransi kesehatan, dan kompensasi kecelakaan kerja; sedangkan Norwegia sejak tahun 1894 mengesahkan asuransi kecelakaan kerja; dan Swedia pada tahun 1891 mengesahkan asuransi kesehatan; walaupun pada masa tersebut jaminan sosial di tiga negara yang disebutkan masih bersifat parsial. Jaminan sosial adalah upaya modernisasi konsep negara kesejahteraan yang semula hanya menyediakan pelayanan dasar berupa pendidikan dan kesehatan. Ketiga negara tersebut sudah menyediakan pelayanan dasar bagi pendidikan dan kesehatan sebelum menyelenggarakan jaminan sosial yang bersifat perlindungan sosial. Tercatat sampai akhir tahun 1960-an, negara-negara Skandinavia sudah menerapkan sistem jaminan sosial yang universal.

Sesungguhnya tonggak welfare state Indonesia sudah ditancapkan sejak tahun 1945 dalam UUD 1945 melalui bunyi Pasal 33 dan 34. Akan tetapi, rancangan perwujudan amanat UUD 1945 tentang jaminan sosial baru disahkan pada tahun 2004 melalui UU. No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Implementasi jaminan sosial pun baru diatur 7 tahun setelah UU SJSN diundangkan, yakni pada tahun 2011 melalui UU. No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Terdapat dua jenis BPJS di Indonesia yaitu, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan mulai diberlakukan awal 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan diberlakukan sejak Juli 2015. Artinya, usia jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan Indonesia masih sangat dini. Masih banyak kritik yang terlontar pada sistem jaminan sosial Indonesia, mulai dari cakupannya yang belum menyeluruh, manfaat yang belum maksimal, dan penyelenggaraannya yang belum optimal seperti sosialisasi yang belum efektif, prosedur aksesibilitas yang rumit, serta persoalan-persoalan teknis lainnya.

Kalangan liberal seringkali menyalahkan sistem jaminan sosial sebagai faktor endogen krisis anggarannegara. Seperti yang terjadi di Skandinavia pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Konsep negara kesejahteraan dituduh sebagai sumber krisis anggaran negara sebab gendutnya belanja publik yang dibutuhkan. Krisis yang sempat menimpa negara Skandinavia dapat dipulihkan melalui reformasi perpajakan, efisiensi pelayanan kebutuhan dasar (khususnya kesehatan), dan restrukturisasi jaminan sosial, khususnya sistem pensiun. “Restrukturisasi yang terjadi lebih bersifat penyesuaian program yang ada, dengan besar anggaran yang mungkin dialokasikan. Penghapusan program dan privatisasi secara meluas tidak dijumpai di Skandinavia” (hlm. 47).

Lain halnya dengan Indonesia, ketika kapasitas fiskal tidak mampu menjalankan program pembangunan, maka beberapa program populis dihapuskan, seperti pencabutan subsidi tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak—yang merupakan komponen berpengaruh terhadap tingkat konsumsi masyarakat. Selain itu, pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis moneter 1997-1998 pun diselesaikan dengan barter antara hutang dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis.

Konsepsi negara kesejahteraan yang menjadi fundamen pembangunan negara-negara Skandinavia telah mengantarkan negara-negara ini ke dalam urutan 20 besar negara-negara paling kompetitif: Swedia peringkat 6, Finlandia peringkat 10, Norwegia peringkat 11, dan Denmark peringkat 12. Sedangkan Indonesia yang menempuh pembangunan dengan jalur ‘neoliberal’ berada di urutan 41 (WEF, GCI 2016-2017).

Maurizio Ferrera, Profesor Ilmu Politik Universitas Milan, mengungkapkan bahwa, “Negara Kesejahteraan memberikan wadah kelembagaan bagi ide-ide mulia masyarakat modern, yaitu: kebebasan, kesetaraan dan solidaritas. Welfare state pun memberikan kontribusi yang sangat penting bagi perbaikan kondisi dan kesempatan hidup seluruh warga negara, khususnya kaum miskin” (hlm. 5). Kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas inilah titik singgung welfare state dengan Pancasila.

UUD 1945 sebagai manifestasi Pancasila mengandung nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas. Sebagai bukti, UUD 1945 menjamin warga negara untuk bebas berekspresi, menyampaikan pendapat, serta berserikat; mengamanatkan adanya kesetaraan setiap warga negara dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta pendidikan dan kesehatan; menyerukan prinsip solidaritas, sebagaimanalandasan filosofi sistem jaminan sosial yang berbasis gotong-royong; dan kandungan-kandungan gagasanwelfare state lainnya.

Walaupun buku ini tidak membahas welfare state di Indonesia secara langsung, namun pemaparan penulis buku ini tentang format Negara Kesejahteraan berguna bagi pengetahuan dan menarik untuk dibaca. Selain manfaatnya bagi perluasan wawasan, gagasan buku ini pun dikemas dengan argumentasi yang logis dan tidak terjebak pada istilah-istilah yang sophisticated. Buku ini memaparkan pengalaman dan dinamika Negara Kesejahteraan di beberapa negara maju serta analisis relevansi welfare state bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Yang paling menarik perhatian peresensi adalah, buku ini mampu mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan kunci tentang adopsi welfare state beserta kerangka kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Negara Kesejahteraan, secara prinsip, mengutamakan peran negara yang aktif dalam mengelola perekonomian yang mencakup menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar bagi warganya. Pilar-pilar penyangga Negara Kesejahteraan yang terekam dalam buku ini utamanya meliputi: social citizenship,full democracymodern industrial relation system, dan rights to education and the expansion of modern mass education system. Selain itu, hak sosial warga negara harus diimbangi dua hal yang saling terkait yakni, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja penuh. Dalam buku ini, Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo cakap mengkaji ide-ide Negara Kesejahteraan tersebut secara komprehensif melalui pendekatan historis, teoritis, dan empiris.

*) Irvan Tengku Harja:  Staf Penelitian di Perkumpulan Prakarsa (Center for Welfare Studies).

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.