Jakarta, The PRAKARSA – Anggota Komisi X DPR Fraksi Demokrat Anita Jacoba Gah pada rapat bersama Komisi X DPR RI mempertanyakan penggunaan anggaran oleh Kemendikbud selama ini. Anita merekomendasikan agar Kemendikbud untuk dilakukan pemeriksaan APBN khususnya realisasi anggaran.
Merespon pernyataan tersebut, Bintang Aulia Luthfi peneliti The PRAKARSA, juga turut mempertanyakan tentang alokasi anggaran pendidikan di Indonesia karena pengangaran yang tidak efektif dapat mengakibatkan naiknya biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat.
“Meskipun, Indonesia telah berkomitmen memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Tapi, jika penganggaran yang dilakukan tidak efektif justru dapat menjadi salah satu dampak terhadap naiknya biaya pendidikan,” jelas Bintang. Pada Jumat (7/6/2024).
Beberapa waktu lalu mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi memprotes perihal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). Kenaikan ini membebani masyarakat tergolong miskin dan menengah kebawah.
“Jika pemerintah melonggarkan kenaikan UKT pada pihak universitas, tentu akan membebani kelas menengah. Selama ini bantuan lebih dominan diberikan pada masyarakat miskin, sedangkan untuk kelas menengah lebih banyak memasuki golongan diatas 1 & 2 untuk UKT. Padahal Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan terlepas apapun jenjang pendidikannya,” ucap Bintang.
Pendidikan tinggi diperlukan oleh masyarakat kita terutama jika Indonesia ingin mendapatkan manfaat dari bonus demografi, karena saat ini saja angkatan kerja yang berpendidikan tinggi hanya mencapai 10% di tahun 2022 (BPS, 2023).
“Indonesia tidak akan mencapai Indonesia Emas jika proporsi angkatan kerja saat ini hanya di diisi oleh pekerja yang berpendidikan rendah. Hanya 10% angkatan kerja yang menempuh pendidikan tinggi, bahkan, 9,9 juta anak muda saat ini berstatus NEET (Not in Education, Employment, and Training),” kata Bintang.
Sudah seharusnya pendidikan tinggi dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat miskin dan kelompok ekonomi menengah kebawah.
Bintang menambahkan, dari hasil penelitian The PRAKARSA tahun 2024 melihat adanya tren privatisasi dalam pendidikan. Meningkatnya permintaan untuk pendidikan swasta di banyak negara di ASEAN, menunjukkan masalah bahwa sekolah umum kelebihan kapasitas dan di sisi lain tidak sedikit sekolah swasta yang berbiaya mahal.
“Ketergantungan pada pendidikan swasta menimbulkan tantangan terkait pembiayaan, keterjangkauan, dan jaminan kualitas. Perubahan ini membebani rumah tangga dan siswa, terutama mereka yang berasal dari latar belakang yang kurang mampu,” tambah Bintang.
Pemerintah harus memastikan komitmen anggaran pendidikan 20% benar-benar terealisasi. Bukan hanya itu, pemerintah harus memperhatikan kualitas, dampak dan distribusi yang seimbang antara infrastruktur dan kebutuhan operasional untuk menghindari ketidaktransparanan dan ketidakefisienan dalam penggunaan anggaran.
“Kedepannya pemerintah juga harus lebih transparan atas alokasi penggunaan anggaran pendidikan yang jelas untuk proyek-proyek pendidikan dan memastikan investasi yang seimbang untuk mengurangi potensi dugaan penyalahgunaan anggaran,” tutup Bintang.