Jakarta, The PRAKARSA – Presiden Joko Widodo telah menyetujui dan memanggil sejumlah menteri dan pejabat untuk membahas skema pembentukan family office atau kantor keluarga. Pemerintah berencana membentuk family office dengan membebaskan pajak.
Luhut Binsar Pandjaitan, Mentri Koordinator Maritim dan Investasi, memberikan pernyataan di media massa bahwa dirinya sudah mendapatkan restu dari Presiden Jokowi untuk mendirikan family office. Family office diusulkan untuk mendorong devisa masuk dari para ultra kaya. Hal ini terinspirasi dari beberapa negara maju seperti Singapura, Abu Dhabi dan Cina (kota Hongkong).
Family office merupakan perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengelolaan kekayaan yang melayani individu ultra kaya (Investopedia, 2024). Family Office diyakini akan menguntungkan secara ekonomi karena adanya potensi investasi yang akan masuk dalam negara.
Luhut dalam statement di akun sosial media pribadinya juga menjanjikan adanya insentif pajak berupa “bebas pajak” bagi mereka yang mau menaruh uangnya di family office, dan akan dikenakan pajak apabila berinvestasi pada instrumen yang membuka lapangan pekerjaan.
Bintang Aulia Lutfi, Peneliti The PRAKARSA menyampaikan bahwa meskipun pembebasan pajak dimaksudkan untuk menarik perhatian pemilik modal besar tetapi dapat menimbulkan ketidakadilan.
“Perlakuan pemerintah pada ragam kelas ekonomi saat ini tidak menjunjung asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana kebijakan yang dikatakan dapat ‘membawa penerimaan negara’ justru tidak adil untuk masyarakat,” ujar Bintang.
Orang kaya akan semakin dimanja dengan fasilitas pembebasan pajak jika berinvestasi pada proyek-proyek pemerintah. Sementara, pemerintah berencana menetapkan pajak yang lebih tinggi pada kelas menengah-bawah seperti Pajak Penghasilan/PPh sebesar 12% pada 2025. Tentu saja ini akan memberatkan kelas menengah-bawah.
Bintang juga menyampaikan bahwa family office sebetulnya merupakan tawaran bagus jika mengatur kemudahan dalam berusaha dan good governance yang baik seperti temuan hasil riset PRAKARSA, 2024.
“Sebenarnya pemerintah memiliki miskonsepsi bahwa investor akan tertarik dengan kelonggaran yang diberikan. Padahal, pada akhirnya, negara yang memberikan kemudahan-kemudahan dalam berusaha dan good governance yang baik, justru akan menjadi pemenangnya dalam menarik FDI seperti Singapura dan Brunei Darussalam,” imbuh Bintang.
PRAKARSA melihat skor rata-rata indikator good governance Indonesia baru pada angka 48,40 dan ini bisa dikatakan cukup rendah. Indikator tata kelola melihat pada aspek efektivitas pemerintahan, kontrol pada korupsi, stabilitas politik, kualitas regulasi, kepastian hukum, dan kebebasan bersuara. Sehingga, jika pemerintah tetap memilih pembebaskan pajak sebagai nilai jual dibandingkan memperbaiki tata kelola negara, hal ini malah akan menarik investor-investor dengan “niat buruk” seperti pelaku money laundering (pencucian uang) untuk menanamkan uangnya di Indonesia.
Eka Afrina Djamhari, Research and Knowledge Manager The PRAKASRA juga menegaskan bahwa pemerintah harus menerapkan pajak yang lebih berkeadilan antara pekerja dengan orang super kaya. Penelitian PRAKARSA tahun 2023 tentang penerapan pajak kekayaan di Indonesia menemukan bahwa kelas pekerja justru dikenakan pajak yang lebih tinggi dibanding orang super kaya.
“Kelas pekerja dikenakan tarif pajak antara 0-35%. Sedangkan, orang super kaya hanya dikenakan pajak dengan tarif sebesar 0-25% untuk sumber pendapatan pasif, padahal orang super kaya umumnya memiliki passive income yang cukup besar,” Imbuh Eka.
Jika pemerintah ingin menambah pendapatan negara, pajak kekayaan dapat menjadi sumber alternatif yang perlu diperhitungkan. Hasil penghitungan The PRAKARSA menyebutkan pajak kekayaan dapat menyumbang sekitar Rp54 – 155,2 triliun atau sekitar enam kali lipat dibadingkan dengan realisasi pajak penghasilan orang pribadi pada tahun yang sama.