Tata Kelola Kebijakan Indonesia Masih Jauh dari Standar OECD, Ini Rekomendasi Masyarakat Sipil

Jakarta, The PRAKARSAThe PRAKARSA bersma International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Transparency International (TI) Indonesia, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dan Migrant CARE telah menyelesaikan kajian cepat “Aksesi Indonesia ke OECD dari Perspektif Masyarakat Sipil”. Secara umum, kajian ini menganggap bahwa tata kelola kebijakan Indonesia yang saat ini masih jauh dari standar OECD yang tinggi. Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang kompleks untuk menyesuaikan diri dengan rekomendasi kebijakan OECD.

Hal ini diungkapkan dalam acara diseminasi studi ini pada Selasa (23/07/2024) di Jakarta. Kajian dari masyarakat sipil ini dilakukan dalam lintas isu dengan enam tema yaitu; (1) Memahami Posisi Politik Liberalisasi Ekonomi dan Geopolitik Indonesia terhadap OECD; (2) Agenda Kerja Layak dan Migrasi Aman dalam Aksesi Indonesia ke OECD; (3) Urgensi Menambal Elemen Dasar Negara Kesejahteraan dalam Upaya Aksesi Indonesia Sebagai Anggota OECD; (4) Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Aksesi OECD; (5) Aksesi Indonesia ke OECD dan Implementasi Responsible Business Conduct (RBC) di Sektor Ekstraktif; dan (6) Menatap Peluang Hibah Dana Pembangunan bagi Sektor OMS pada Aksesi OECD Indonesia.

Kajian ini melihat tantangan dan pembangunan Indonesia yang menjadi sorotan dalam aksesi Indonesia menuju OECD di tengah cita-cita Indonesia menjadi negara maju dan ambisi Indonesia Emas 2045. Indonesia misalnya, memiliki tantangan bagaimana untuk menghadirkan pasar yang kompetitif bagi pelaku usaha dalam negeri yang sebagian besar aktivitas ekonomi saat ini masih ditopang oleh sektor UMKM dan informal. Selain itu, masyarakat sipil juga menimbang seberapa perlu label negara maju jika dibandingkan dengan kebutuhan anggaran dalam negeri.

“Idealnya Indonesia menjadi negara maju dulu karena sejarah OECD adalah kelompok negara maju, dengan situasi ini justru Indonesia (dikhawatirkan) akan banyak menghabiskan dana dalam proses aksesi OECD.” tanggap Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan merupakan salah satu penulis kajian ini.

Setali tiga uang, status ‘negara maju’ yang diperjuangkan pemerintah juga perlu dilihat dari perspektif kritis bagaimana status tersebut mampu memberdayakan masyarakat sipil. Terlebih, status ‘negara maju’ ini akan membuat dukungan dana hibah pembangunan internasional bagi masyarakat sipil dan pemerintah semakin menurun, karena situasi ekonomi Indonesia yang semakin membaik. Di sisi lain, pemerintah Indonesia belum memiliki skema dana pembangunan dari dalam negeri bila saatnya dana hibah internasional berhenti. Secara regulasi, sesama negara anggota OECD tidak dapat saling menerima bantuan.

“Ironisnya pemerintah Indonesia malah membuat skema dana hibah bagi negara asing pada 2019. Indonesia perlu segera membentuk dana abadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam negeri, karena dana abadi LSM tidak hanya memberdayakan dan meningkatkan peran warga sipil, tetapi dapat berkontribusi juga dalam meningkatkan indeks demokrasi dan indeks korupsi yang terus menurun”, papar Bona Tua Parlinggomon, penulis dari INFID.

Situasi penanganan korupsi juga terus menurun. Skor Corruption Perception Index Indonesia tahun 2023 yang diluncurkan Transparency International Indonesia menempatkan situasi penanganan korupsi Indonesia yang stagnan, yaitu skor 34, yang menjadikan Indonesia peringkat ke-115 dari 180 negara. Skor ini menempatkan Indonesia di bawah skor Timor Leste (43) dan Vietnam (skor 41).

“Situasi pelemahan penanganan korupsi terus terjadi di Indonesia. Situasi ini sangat bertolak belakang dengan ambisi Indonesia menjadi negara maju dimana minim korupsi, berintegritas tinggi dan memiliki keterbukaan tata kelola dari pemerintah dan swasta. Kita berharap situasi seleksi pimpinan KPK dapat akuntabel dan pansel KPK dapat bekerja independen tanpa intervensi pihak manapun”, tegas Wawan Sudyatmiko, penulis dari Transparency International di Indonesia.

Sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah dan banyak memiliki bisnis di sektor ekstraktif, Indonesia harus menjaga komitmen implementasi regulasi bisnis yang bertanggungjawab. “Bisnis yang bertanggung jawab tidak hanya melaporkan kepada publik, tetapi juga mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Hal ini harus menjadi prioritas pemerintah dan swasta dalam aksesi OECD Indonesia. Pemerintah harus meningkatkan kesadaran dan kepatuhan mengenai tanggung jawab perusahaan disertai insentif bagi mereka yang sudah berhasil menunjukkan integritas perusahaan”, papar Meliana, penulis dari Publish What You Pay di Indonesia (PWYP).

Tantangan lainnya juga datang dari sisi kompetensi sumber daya manusia dan kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Alih-alih sesuai dengan standar internasional, masyarakat sipil menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja justru dinilai tidak melindungi pekerja, tidak terkecuali buruh migran. “Harus ada upaya migrasi aman dan perlindungan pekerja luar negeri sesuai dengan prinsip OECD dan HAM. Indonesia harus segera menyusun peta jalan kerja layak khususnya bagi buruh migran sehingga kepastian keamanan dan kesejahteraan bagi buruh migran bisa lebih terjamin”, jelas Wahyu Susilo, penulis kajian dari Migrant CARE.

Pada akhirnya, masuknya Indonesia ke OECD jangan sampai hanya membuat Indonesia ‘dipaksa’ mengikuti standar internasional. Melainkan, perlu menjadi ajang memperkuat pengaruh Indonesia dalam melahirkan kebijakan internasional yang menguntungkan kepentingan nasional. “Indonesia juga diharapkan tidak saja menerima standar OECD tetapi perlu juga memberikan rekomendasi perbaikan kepada OECD”, tegas Ah Maftuchan, penulis dari The PRAKARSA.

Masyarakat sipil menilai bahwa aksesi Indonesia ke OECD harus mengutamakan kepentingan pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan tagline OECD “Better Policies for Better Lives”. Rakyat perlu menjadi pusat dari segala keputusan, karena seringkali rakyat yang menanggung beban atas implikasi kebijakan ekonomi pembangunan yang asimetris.Standarisasi kebijakan OECD yang tinggi dan rigorous, perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik di sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, pemenuhan kerja layak, lingkungan, disertai dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Baca hasil kajian selengkapnya di sini:

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.