Kepemimpinan Prabowo-Gibran Perlu Memprioritaskan Agenda Reformasi Pajak, Jaminan Sosial dan Pembangunan Berkelanjutan

Jakarta – The PRAKARSA lembaga riset dan advokasi kebijakan merayakan 20 tahun perjalanannya yang bertajuk “Terus Melaju, Menuju Indonesia Maju yang Adil Makmur Berkelanjutan” (19/09/2024). Acara ini dihadiri oleh mitra kerja PRAKARSA baik yang berasal dari pemerintah, parlemen, organisasi masyarakat sipil, lembaga think-tank, ormas, partai politik, akademisi dan publik. 

Selain peringatan 20 tahun perjalanan, pada kegiatan ini The PRAKARSA memberikan white paper rekomendasi kebijakan kepada perwakilan Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka mendatang. Rekomendasi kebijakan diterima dan ditanggapi secara langsung oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang Advokasi & Hukum / Wakil Ketua Komisi 3 DPR RI, Habiburrokhman dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang Pengabdian Masyarakat dan Kesejahteraan Rakyat, Sumaryati Arjoso yang mewakili Presiden Terpilih Prabowo Subianto. 

Dalam acara Anniversary 20th The PRAKARSA ini juga diisi oleh testimoni atas kiprah publik PRAKARSA oleh Alexander Irwan, Direktur Regional Asia Ford Foundation; Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian sekaligus Ketua PBNU dan perwakilan pemerintah dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

The PRAKARSA menyusun white paper rekomendasi kebijakan untuk pemerintahan baru pada tiga isu utama – kebijakan sosial, kebijakan fiskal dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA menyampaikan bahwa “Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu melakukan reformasi perlindungan sosial yang inklusif, adaptif dan berkelanjutan untuk melindungi seluruh kelompok masyarakat terutama masyarakat miskin, penyandang disabilitas, lansia dan kelas menengah. Reformasi perlindungan sosial dapat diarahkan untuk mengoptimalkan bonus demografi dan mencegah risiko terjebaknya Indonesia dalam perangkap negara menengah yang menua sebelum kaya”. Orientasi kebijakan sosial ke depan harus diarahkan untuk melindungi kelompok miskin-rentan dan memperkuat kelas menengah.  

Bukan hanya itu, pada isu kebijakan sosial tentu saja pemerintah harus tetap fokus pada pengurangan kemiskinan dan masalah ketimpangan. “Perbaikan infrastruktur dasar khususnya penyediaan air minum, sanitasi, perumahan, pendidikan, pelatihan kerja, kesehatan dan transportasi publik harus diprioritaskan karena akan menurunkan kemiskinan sekaligus menurunkan ketimpangan. Makan siang bergizi saja tidak akan cukup efektif meningkatkan kualitas hidup. The Prakarsa juga mengusulkan kepada Prabowo-Gibran untuk uji coba penerapan universal basic income (UBI)/Jaminan Pendapatan Dasar Semesta (JAMESTA). Bantuan tunai telah terbukti lebih efektif menurunkan kemiskinan dan ketimpangan dibandingkan bantuan barang”, tambah Herni Ramdlaningrum, ahli kebijakan sosial di The PRAKARSA. 

Pada isu kebijakan ekonomi dan fiskal, The PRAKARSA secara khusus menyoroti kebijakan perpajakan. “The PRAKARSA mendukung reformasi kelembagaan dan administrasi perpajakan melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara. Ide ini merupakan usulan PRAKARSA yang telah kami suarakan sejak tahun 2015. Kami berkeyakinan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara akan berkontribusi mendorong kenaikan rasio pajak mencapai 3%—6%. Pembentukan Badan Penerimaan Negara juga akan memperkuat check and balances antara kementerian/lembaga yang menangani keuangan negara dan yang mengelola kekayaan negara. Badan Penerimaan Negara akan bertanggung jawab dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan di bidang pajak, kepabeanan, cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (yang bersumber dari SDA, kekayaan negara yang dipisahkan dan dari kementerian-lembaga)”, tambah Maftuchan. 

The PRAKARSA mengusulkan pengkonsolidasian Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP SDA dan Kekayaan Negara Dipisahkan, dan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP Kementerian-Lembaga ke dalam satu payung menjadi Badan Penerimaan Negara. Badan Penerimaan Negara bertanggung jawab dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan di bidang pajak, kepabeanan, cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (yang bersumber dari SDA, kekayaan negara yang dipisahkan dan dari kementerian-lembaga). Sementara itu, Kementerian Keuangan akan lebih fokus pada urusan anggaran, perbendaharaan, perimbangan keuangan pusat-daerah, pengelolaan pembiayaan, risiko dan kekayaan negara.

Prabowo-Gibran perlu memperluas basis pajak seperti penerapan pajak karbon, reformasi kebijakan cukai produk tembakau, pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis buatan, dan pengenaan cukai terhadap plastik dan produk plastik. Lebih lanjut, The PRAKARSA juga mengusulkan penerapan wealth tax (pajak kekayaan) kepada orang superkaya sebagai opsi untuk mengurangi ketimpangan. “Penerapan pajak kekayaan dapat mengurangi ketimpangan ekonomi, karena selama ini kekayaan terkonsentrasi pada segelintir individu yang superkaya. “Pajak kekayaan di Indonesia diusulkan untuk dikenakan pada individu dengan kekayaan bersih lebih dari USD10 juta (Rp155 miliar). Tarif yang diusulkan adalah progresif, berkisar antara 1-2%. Kekayaan yang menjadi objek pajak meliputi berbagai jenis aset, termasuk tabungan, giro, saham, deposito, logam mulia, warisan, donasi, hibah dan keuntungan modal (capital gains). Dengan asumsi sekitar 4.600 orang Indonesia memiliki kekayaan di atas USD10 juta atau Rp155 miliar (kekayaan yang menjadi batasan tingkat pajak kekayaan), maka potensi pajak kekayaan diestimasi berkisar antara Rp54 triliun – Rp155,3 triliun rupiah untuk sekali pengenaan. Pajak kekayaan dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan”, tegas Maftuchan. 

“Prabowo-Gibran juga perlu memperkuat transformasi digital dan otomatisasi sistem perpajakan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pajak, peningkatan akuntabilitas pegawai pajak, menurunkan praktik koruptif di lingkungan pajak, penegakan kepatuhan pajak, dan penguatan pemanfaatan pajak untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat”, tambah Samira Hanim, ekonom di The Prakarsa. 

Pada isu kebijakan pembangunan berkelanjutan, The PRAKARSA menekankan pentingnya akselerasi transisi energi yang berkeadilan. “Untuk mendukung transisi energi baru terbarukan diperlukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan koordinasi yang kuat antar kementerian dan lembaga.  Perlu sinergi dan keselarasan pada pasal-pasal yang ada di dalam RUU EBET, RPP KEN, dan peraturan lainnya yang dapat merealisasikan target penurunan emisi di sektor energi, tak terkecuali target JETP dan NDC”, ucap Dwi Rahayu Ningrum, ahli pembangunan berkelanjutan The PRAKARSA. 

Terakhir, Pemerintah perlu menetapkan prinsip-prinsip transisi energi berkeadilan dalam peraturan yang bersifat wajib. Prinsip-prinsip ini perlu dituliskan dalam RUU EBET maupun RPP KEN sebagai dasar pelaksanaan transisi energi terbarukan. Prinsip ini juga perlu diterapkan baik di sektor hulu-hilir atau seluruh rantai pasok transisi energi, termasuk penambangan mineral kritis.

Pemerintah mendatang perlu memperhatikan rekomendasi kebijakan pada tiga isu utama yang The PRAKARSA usulkan di bawah ini: 

Isu kebijakan Sosial: 

  • Pemerintah memanfaatkan hasil pengukuran kemiskinan multidimensi sebagai pelengkap bagi pengukuran kemiskinan moneter untuk meningkatkan efektivitas program dan kebijakan dalam percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem. 
  • Sebagai bagian dari upaya mewujudkan perlindungan sosial adaptif yang tertera dalam RPJMN 2020-2024, Bappenas perlu mengembangkan pendekatan terpadu. Pendekatan ini harus mengintegrasikan perlindungan sosial, pengurangan risiko bencana, dan adaptasi perubahan iklim. Dengan melakukan pemetaan program potensial, mengoordinasikan arsitektur kebijakan, dan memfasilitasi integrasi data multidimensi, efektivitas program perlindungan sosial dapat ditingkatkan. 
  • Segera memperkuat reformasi perlindungan sosial yang inklusif dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan misi Asta Cita ke-4, yang bertujuan untuk memanfaatkan bonus demografi secara optimal dan mencegah risiko terjebaknya Indonesia dalam perangkap negara menengah yang menua sebelum kaya. 
  • Perlu dipertimbangkan penerapan uji coba Universal Basic Income (UBI) sebagai langkah strategis dalam mengurangi kesenjangan pendapatan antara penduduk miskin dan kelas menengah. Dengan penerapan skema UBI, potensi penurunan perbedaan pendapatan hingga 57% dapat dicapai, yang pada gilirannya akan membantu mencegah kelas menengah terjebak dalam kemiskinan. 

Isu Kebijakan Ekonomi: 

  • Pembentukan Badan Penerimaan Negara perlu dilakukan sebagai langkah fundamental dalam reformasi kelembagaan dan administrasi perpajakan di Indonesia.  
  • Indonesia perlu lebih aktif dalam negosiasi sistem perpajakan di tingkat global, khususnya pada negosiasi pembentukan UN Tax Convention dan aksesi Indonesia ke OECD. 
  • Penetapan kenaikan PPN menjadi 12% yang akan diimplementasikan di awal tahun 2025 harus diimbangi dengan penerapan perluasan basis pajak yang menyasar kelompok superkaya melalui pajak kekayaan (wealth-tax). Pajak progresif untuk individu dengan kekayaan di atas Rp155 miliar dapat berpotensi menghasilkan penerimaan hingga Rp1.553 triliun, yang dapat digunakan untuk redistribusi kekayaan dan pendanaan program sosial.  
  • Mendesak penerapan pajak karbon pada 2025 dengan tarif yang lebih kompetitif (Rp75-100/kg CO2e) untuk mendukung komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030. Pajak ini akan berfungsi sebagai insentif untuk mengurangi emisi dan mendukung keberlanjutan lingkungan.  
  • Melakukan simplifikasi struktur cukai tembakau menjadi empat lapisan pada 2025 serta menjaga konsistensi dalam kenaikan tarif. Langkah ini bertujuan menurunkan prevalensi perokok dan meningkatkan penerimaan negara. 
  • Memperkuat transformasi digital dan otomatisasi sistem perpajakan. Ini termasuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang perpajakan, akuntabilitas pegawai pajak serta penegakan kepatuhan pajak. Selain itu, perlu ada langkah konkret untuk menurunkan praktik korupsi di lingkungan pajak dan memastikan  pemanfaatan pajak untuk kesejahteraan rakyat secara optimal. 

Isu Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan: 

  • Pemerintahan baru perlu melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan untuk mendukung transisi energi terbarukan dan koordinasi yang kuat antar kementerian dan lembaga untuk mendukung transisi energi terbarukan. 
  • Dalam upaya transisi energi pemerintah baru seharusnya fokus pada pembangunan energi terbarukan dan upada penurunan emisi karbon, serta menghindari penggunaan energi fosil dalam kategori energi terbarukan.  
  • Dalam proses perencanaan dan implementasi agenda transisi energi pemerintahan baru wajib menerapkan prinsip transisi energi berkeadilan, kerangka responsif gender dan inklusi sosial, Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC), dan perlindungan HAM.  
  • Pemerintahan baru diharapkan dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) agar pengarusutamaan pembiayaan yang bertanggungjawab pada aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dapat dilakukan secara masif.  
  • Pemerintah perlu melakukan penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk melakukan perencanaan dan implementasi program ekonomi hijau untuk dapat mengakses insentif fiskal hijau.
Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.