Peningkatan angka kemiskinan justru disebabkan kebijakan ekonomi dan sosial yang keliru, alih-alih karena pertambahan jumlah penduduk.
tirto.id – Kementerian Keuangan mencatat, jumlah penduduk miskin per Maret 2024 tercatat sebanyak 25,22 juta orang atau 9,03 persen dari total populasi Indonesia. Ini turun dari masa pra pandemi atau tahun 2019 yang tercatat sebanyak 9,41 persen dari total populasi atau sejumlah 25,14 juta jiwa.
Meskipun terjadi penurunan tingkat kemiskinan, jumlah orang miskin sejak 2019 sampai Maret 2024 tercatat bertambah sekitar 80 ribu jiwa. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, beranggapan, kenaikan jumlah penduduk miskin merupakan akibat dari pertambahan jumlah penduduk.
“Kalau dilihat dari jumlah orangnya memang kelihatan 25,22 juta orang karena dari tahun 2019 sampai 2024 terjadi pertumbuhan penduduk Indonesia,” katanya, dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah penduduk Indonesia ada sebanyak 266,91 juta jiwa. Jumlah tersebut kemudian mengalami peningkatan menjadi 282,48 juta penduduk di Indonesia pada semester I 2024.
“Dari persentase kita mengalami penurunan tingkat kemiskinan,” imbuh dia.
Sejalan dengan turunnya tingkat kemiskinan, rasio ketimpangan atau rasio gini juga tercatat turun dari pra pandemi berada di level 0,382 menjadi 0,379 di Maret 2024. Menurut Bendahara Negara itu, penurunan rasio gini terjadi seiring tumbuhnya perekonomian Indonesia yang pada kuartal III 2024 berada di level 4,95 persen secara tahunan (year on year/yoy).
“Rasio gini kita yang menggambarkan rasio antara 40 persen bottom (penduduk terbawah) terhadap 20 persen yang top ini 0,379. Makin rendah berarti makin equal. Ini menurun dibandingkan situasi selama pandemi atau bahkan before pandemi,” ujar Ani, sapaan Sri Mulyani.
Dari sisi persentase, tingkat kemiskinan memang mencatatkan tren menurun dari Maret 2019. Bahkan, tingkat penduduk miskin per Maret 2024 dapat dikatakan menjadi yang terendah sejak pra pandemi. Namun, jika dilihat dari jumlahnya, penduduk miskin pada Maret 2024 tercatat naik.
Meski dibandingkan dengan periode Maret 2020 jumlah penduduk miskin yang sebanyak 26,42 juta jiwa terus mengalami penurunan. Adapun jika menukil data BPS, jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2020 yang sebesar 26,42 juta jiwa tercatat naik dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Namun, setahun kemudian naik menjadi 27,54 juta jiwa di Maret 2021.
“Yang jadi catatan penting adalah pertumbuhan penduduk apakah akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin? Ini sebetulnya sedikit tricky (sulit). Karena memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin, karena memang jumlah penduduk miskin itu sifatnya adalah non populasi,” kata Social Policy Officer The Prakarsa, Darmawan Prasetya, kepada Tirto, Kamis (14/11/2024).
Dalam hal ini, non populasi adalah bahwa kemiskinan tidak serta merta terjadi karena peningkatan penduduk miskin. Artinya, kemiskinan tak hanya disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk saja, melainkan juga karena kebijakan yang dirilis pemerintah.
“Kebijakan ini bisa macam-macam. Kebijakan di bidang ketenagakerjaan, penanganan harga pangan. Karena memang kalau kita lihat salah satu komponen paling penting atau lebih dari 70 persen konsumsi kelompok miskin di Indonesia itu adalah untuk pangan,” ujar dia.
Dus, ketika ada kebijakan kenaikan harga pangan atau suatu bahan pokok, itu akan sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin.
Sebagai contoh, pada Februari lalu harga beras mengalami tren kenaikan hingga 18,41 persen (yoy) dan 6,35 persen secara bulanan (month to month/mtm) dari Februari-Maret. Lonjakan harga beras ini lantas menjadi salah satu kontributor terbesar inflasi Februari 2024 yang sebesar 0,37 persen (mtm). Adapun kontribusi beras terhadap inflasi bulanan ini ialah sebesar 0,21 persen.
Kenaikan harga pangan atau suatu kebutuhan pokok, itu akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk miskin,”
ucap Darmawan.
Selain konsumsi, jumlah penduduk miskin juga sangat dipengaruhi oleh biaya pendidikan, pelayanan kesehatan yang masih mahal di beberapa wilayah, hingga mahalnya akses terhadap perumahan. Masalah-masalah ini lah yang sampai saat ini juga dianggap sebagai masalah sosial di Indonesia.”Jadi, saya menegaskan bahwa nggak selalu berpengaruh positif antara angka pertumbuhan jumlah penduduk dengan jumlah kemiskinan,” tegas Darmawan.
Miskin Tersebab Kebijakan
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, meyakini bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin akibat peningkatan populasi adalah sebuah pemahaman lama yang sudah usang. Bahkan, menurutnya pemikiran tersebut cukup menyedihkan, apalagi untuk pejabat tinggi negara.
“Menurut saya adalah sebuah pemahaman lama yang sudah usang, menyedihkan sekali jika sekarang ini masih ada yang memiliki pemahaman usang seperti ini, terlebih lagi pejabat tinggi negara,” tuturnya, kepada Tirto, Kamis (14/11/2024).
Menurut Yusuf, sampai saat ini sudah banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk bukanlah beban pembangunan. Sebaliknya, dengan pengelolaan yang baik, penduduk bisa menjadi modal pembangunan yang penting untuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, negara harus terlebih dulu memiliki arah kebijakan pembangunan yang jelas untuk tiga aspek, yaitu pemberian hak-hak sosial yang luas, kebijakan pendidikan dan keahlian tenaga kerja, serta kebijakan investasi dan ketenagakerjaan.
“Jumlah penduduk yang besar tidak pernah menjadi hambatan untuk menurunkan angka kemiskinan,” tegasnya.
Sebaliknya, jika sampai hari ini Indonesia belum mampu menurunkan tingkat kemiskinan maupun jumlah penduduk miskin secara progresif, hal ini bisa jadi menandakan kalau Indonesia belum cukup kuat dalam memberikan hak-hak sosial yang luas kepada masyarakat. Pun dengan sistem pendidikan yang lemah dalam meningkatkan keahlian angkatan kerja dan kebijakan investasi yang gagal menyerap angkatan kerja.
Yusuf menilai, dengan target tingkat kemiskinan pada tahun 2024 adalah sebesar 7,5 persen, penurunan tingkat kemiskinan sejak Maret 2019 bisa diartikan sebagai progres yang lambat. Belum lagi, tingkat kemiskinan 9,03 persen di Maret 2024 juga bisa diraih dengan intervensi bantuan sosial (bansos) yang besar dan persisten.
Bagaimana tidak, dalam menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sejak awal 2023 pemerintah membanjiri masyarakat dengan bansos. Kementerian Keuangan melaporkan, di sepanjang 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membelanjakan anggaran Rp433 triliun untuk bansos, melonjak dibandingkan pra pandemi yang sebesar Rp308,4 triliun.
Meski begitu, realisasi belanja bansos 2024, turun jika dibandingkan tahun sebelumnya yang senilai Rp460,6 triliun, maupun dibanding tahun 2021 dan 2020 yang masing-masing senilai Rp468,2 triliun dan 498 triliun.
“Menurut saya, catatan terbesar dari penanggulangan kemiskinan era Presiden Jokowi adalah kesalahan arah kebijakan yang fatal. Dalam satu dekade terakhir, kebijakan penanggulangan kemiskinan kita bertransformasi menjadi sangat bergantung pada bansos,” imbuh Yusuf.
Padahal, kebijakan penanggulangan kemiskinan seharusnya berfokus pada dua kebijakan utama, yaitu penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas dan pemberdayaan ekonomi rakyat atau dalam hal ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Sebaliknya, bansos dijadikan sebagai bantuan darurat untuk menguatkan daya beli si miskin agar mampu memenuhi kebutuhan minimumnya, sehingga bansos semata tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kemiskinan.
Dalam jangka pendek, bansos memang akan meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat miskin, namun tidak dengan kapasitas produktif mereka. Sementara untuk mengatasi masalah sosial seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang banyak terjadi belakangan akibat lemahnya penciptaan lapangan pekerjaan dan tingginya biaya hidup, bansos bukan solusi yang tepat.
“Ketergantungan kepada bansos yang sangat parah warisan Presiden Jokowi ini harus diakhiri, jangan lagi dilanjutkan di era Presiden Prabowo. Kita berharap upaya penanggulangan kemiskinan kita ke depan tidak lagi bergantung pada bansos, yang sangat mudah disusupi motif politik,” sarannya.
Yusuf menilai, dalam periode kepemimpinan Presiden Jokowi, bansos sering kali digunakan untuk kepentingan elektoral. Pada akhirnya, ini membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan terdistorsi, yang seharusnya berbasis pada pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja, malah beralih menjadi sangat tergantung pada kucuran bansos.
“Fokus utama pemberdayaan ekonomi rakyat seharusnya adalah di sektor pertanian yang hingga kini masih menjadi tumpuan 28,4 juta rumah tangga pedesaan di seluruh Indonesia. Namun dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem justru bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023,” kata dia.
Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas semakin terbatas. Dalam dekade terakhir, daya saing industri padat karya semakin melemah hingga terjadi Gelombang PHK dan tutupnya banyak pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) hingga alas kaki.
Lemahnya kinerja industri padat karya ini tercermin dari data Purchasing Manager’s Index (PMI) yang telah terkontraksi selama beberapa bulan terakhir. Dengan PMI pada Oktober 2024 tercatat sebesar 49,2, tak beranjak dibanding bulan September 2024.
Kemudian, investasi yang masuk kini lebih banyak mengalir ke sektor industri ekstraktif seperti hilirisasi tambang yang bersifat padat modal dan minim menyerap tenaga kerja. Dari data Yusuf, jIka pada 2013 setiap Rp1 triliun investasi mampu menyerap 4.594 tenaga kerja, di 2023 setiap Rp1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.285 tenaga kerja.
Dengan kondisi ini, dia berharap pembentukan Badan Penanggulangan Kemiskinan dapat menunjukkan keberpihakan pemerintah pada masyarakat miskin.
“Saatnya Presiden Prabowo menunjukkan keberpihakan pada masyarakat miskin dengan mendorong kebijakan afirmatif yang memberdayakan rakyat miskin, membuka akses rakyat pada kapital dan melakukan reforma aset, terutama reforma agraria, karena tanah adalah aset produksi terpenting bagi rakyat miskin dimana mereka menggantungkan penghidupan mereka,” jelas Yusuf.
Sementara itu, untuk mengatasi kemiskinan, Social Policy Officer The Prakarsa, Darmawan Prasetya, menilai pemerintah seharusnya dapat mengatasi persoalan harga pangan dan isu-isu non konsumsi seperti biaya sekolah, layanan kesehatan, akses terhadap perumahan, hingga sanitasi. Pada saat yang sama, pemerintah nampaknya juga harus sudah meninjau ulang garis kemiskinan yang digunakan untuk menghitung tingkat dan jumlah kemiskinan, di mana saat ini masih menggunakan standar lama dari Bank Dunia (World Bank), yakni paritas daya beli atau Purchasing Power Parity (PPP) I,90 dolar Amerika Serikat (AS) per hari.
Perlu diketahui, PPP merupakan standar yang digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara dengan memperhitungkan perbedaan harga kebutuhan dasar. Namun, Bank Dunia telah mengoreksi data ini menjadi 3,2 dolar AS per hari untuk negara berpendapatan menengah ke bawah atau 5,5 dolar AS untuk negara dengan pendapatan menengah ke atas.
“Ini yang belum bergeser ke situ. Ini yang menjadi catatan penting adalah kita berani tidak menaikkan garis kemiskinan ke angka standarnya World Bank yang terbaru, sesuai dengan tingkat inflasi, terus juga tingkat harga kebutuhan pokok lainnya untuk bisa terpenuhi. Ini sebetulnya challenge bagi pemerintahan baru,” kata Darmawan.
Sepakat dengan Yusuf, penanganan kemiskinan tidak serta merta selesai pada isu konsumsi. Alih-alih konsumsi yang memang diakui Darmawan sebagai pengeluaran terbesar penduduk miskin, pemerintah seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan terlebih dulu melihat persoalan-persoalan apa saja yang menjadi penyebab kemiskinan itu terjadi.
“Kemiskinan bukan persoalan kenyang atau lapar, tapi juga persoalan bagaimana orang bisa bekerja. Ataupun beberapa orang, beberapa kelompok pekerja yang sebenarnya mereka statusnya bekerja tapi tidak mencukupi kebutuhan pokok setiap harinya. Nah, working on poverty (upaya untuk mengatasi kemiskinan di kalangan pekerja) ini yang menjadi tantangan,” terangnya.
Apalagi, jika dilihat secara spasial, pada Maret 2024, tingkat kemiskinan di Jawa dan luar Jawa sangat terlihat perbedaannya. Dengan jumlah penduduk miskin di Jawa tercatat sebanyak 13 juta jiwa, sedangkan di Luar Jawa ada sekitar 13,71 juta jiwa.
“Kalau di wilayah Jawa itu kemiskinan tertinggi di pedesaan. Sedangkan kalau di luar Jawa itu di perkotaan,” imbuh Darmawan.
Karena itu, pemerintah seharusnya dapat melihat kemiskinan dari multidimensi, mulai dari pendidikan, kesehatan, kepemilikan terhadap jaminan sosial dan akses terhadap bantuan sosial, serta akses terhadap ketersediaan informasi. Kemudian, pemerintah juga harus bisa melihat kemiskinan yang terjadi di masyarakat dari sisi akses terhadap fasilitas dasar, yang di antaranya adalah akses terhadap air bersih hingga luas rumah.
“Kalau memang mau melihat dari multidimensinya, pemerintah seharusnya bisa melakukan reformasi cukup besar untuk memberikan suatu kebijakan yang bisa menyasar persoalan pendidikan. Karena kalau persoalan pendidikan seperti ketercukupan guru, fasilitas yang merata itu menjadi PR yang sudah beberapa kali periode kepresidenan juga belum selesai,” turur dia.
Sementara itu, Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), Budiman Sudjatmiko mengatakan, dalam mengentaskan kemiskinan ekstrem dan juga masyarakat rentan miskin, pihaknya dan Kementerian Sosial telah menyepakati dua hal, penciptaan lapangan kerja dan penciptaan ekosistem bisnis baru yang membuat masyarakat bisa bertahan hidup. Menurutnya, dengan dua hal ini akan bisa mengatasi pula masalah tingginya PHK yang tengah terjadi, tak cuma imbas pelambatan kinerja industri namun juga karena digitalisasi dan robotisasi.
“Kalau mau mereka dipekerjakan kembali atau sekadar dikasih modal untuk bisnis seperti dulu, ada tantangan baru, bagaimana ekosistem bisnis baru juga fit dengan tantangan digitalisasi dan robotisasi yang ada, bagian itu akan kita omongkan dengan Kementerian Industri, Komdigi, Kemenaker,” kata Budiman, dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (14/11/2024).
Dengan penciptaan ekosistem bisnis ini, dia berharap sektor ketenagakerjaan tak mudah tumbang sehingga membuat semakin banyak orang kehilangan pekerjaan. Pun, dia tak ingin mengentaskan kemiskinan seperti cara kerja aspirin, yang sembuh sebentar namun sakit kemudian.
“Karena kita tidak ingin kasih obat aspirin, sembuh sebentar dari rasa miskinnya terus jatuh lagi. Nggak, kita ingin yang sustainable karena perintah Pak Prabowo, kita ingin menambah kelas menengah baru,” pungkas Budiman.
Baca juga artikel terkait KEMISKINAN 2024 atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra