Bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang sedang terjadi saat ini merupakan etalase buruk bagi perjuangan diplomasi dagang Indonesia yang sedang berjuang meyakinkan Uni Eropa dan juga World Trade Organization (WTO) untuk mendukung produk sawit Indonesia. Pemerintah seharusnya menggunakan bencana Karhutla sebagai alat untuk membersihkan industri perkebunan sawit nasional dari perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.
“Bencana Karhutla harus digunakan oleh Pemerintah untuk membersihkan industri perkebunan sawit nasional dari perusahaan perusak lingkungan. Menurut saya, cerita ini akan sedikit memulihkan citra buruk industri sawit kita di mata dunia,” ujar Wakil Ketia DPR RI Fadli Zon dalam keterangan pers nya yang diterima Parlementaria, Kamis (19/9/2019).
Fadli mengungkapkan, bagaimana mungkin bisa merayu negara-negara Eropa untuk terus membuka pasarnya bagi produk sawit Indonesia, ketika pada saat bersamaan semua tuduhan mereka atas perkebunan sawit Indonesia yang merusak lingkungan dan melakukan deforestasi justru dikonfirmasi bahwa bencana karhutla yang 99 persen itu akibat ulah manusia yang sudah terus menerus terjadi.
Seperti diketahui, awal tahun ini 28 negara Uni Eropa sepakat untuk memasukkan minyak sawit Indonesia sebagai kategori tidak berkelanjutan. Sehingga tidak akan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Uni Eropa menyoroti masalah deforestasi akibat adanya budidaya sawit yang masif. “Mulai 2030, Uni Eropa akan melarang total konsumsi sawit Indonesia. Artinya, sebelum itu mereka akan mulai mengurangi konsumsi sawit asal Indonesia,” tutur Fadli.
Dari sisi dagang, sambung Politisi Partai Gerindra ini, keputusan Uni Eropa tersebut tentu saja merugikan Indonesia. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategi nasional, khususnya dalam kelompok non-migas. Meminjam hasil riset Perkumpulan Prakarsa, minyak sawit merupakan komoditas penyumbang ekspor terbesar Indonesia selama kurun 1989-2017.
“Saat ini produksi minyak sawit Indonesia mencapai 44 juta ton sampai dengan 46 juta ton per tahun, dengan luas lahan sekitar 14 juta hektare. BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) memperkirakan produksi sawit akan mencapai 51,7 juta ton pada 2025,” ungkap Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ini.
Ironisnya, lanjut Fadli, peningkatan produksi sawit tadi berbanding terbalik dengan pasar ekspor nasional yang tengah menghadapi ancaman boikot. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada 2018 ekspor sawit Indonesia ke Eropa mencapai 4,7 juta ton.
“Dari jumlah itu, 60 persen diantaranya digunakan untuk bahan bakar nabati (biofuel). Jumlah ekspor ke Eropa itu mencapai 14 persen dari total ekpor sawit Indonesia secara keseluruhan. Bisa dibayangkan apa jadinya jika Uni Eropa sepenuhnya menghentikan impor sawit dari Indonesia?” tandas Fadli.
Fadli menyayangkan, Pemerintah belum terbuka dalam melakukan audit industri sawit. Padahal, audit terbuka merupakan bagian dari kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). “Seharusnya seluruh perusahaan sawit diperiksa oleh auditor independen yang bertugas memverifikasi apakah betul industri sawit kita tidak mendegradasi lingkungan atau melakukan ‘land cleansing’ dengan cara-cara yang merusak lingkungan,” pungkas Fadli. (pun/es)
Source: DPR RI