
Reporter : Abdul Aziz
Hallobisnis- Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, The Prakarsa meminta Badan Pusat Statistik (BPS) merevisi metodologi penghitungan garis kemiskinan.
Pasalnya, Hal BPS masih menggunakan metode lama berbasis moneter yang mengukur garis kemiskinan makanan (GKM) dan non-makanan (GNKM), atau umumnya dikenal dengan metode Cost of Basic Needs (CBN).
“Metode ini cukup oudated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah, ” Peneliti kebijakan sosial Prakarsa, Pierre Bernando Ballo dalam keterangan tertulis, Kamis(7/8/2025)
Pier menyarankan menggunakan Indikator Kemiskinan Multidimensi (IKM) agar faktor-faktor non-moneter juga bisa diperhitungkan.
Selain itu, ia meminta pemerintah perlu untuk tidak hanya menaikkan garis kemiskinan, tetapi juga “melebarkan”.Khususnya, untuk menyoroti faktor-faktor kemiskinan yang seringkali tidak bisa dikuantifikasi sebagai pengeluaran, tetapi dapat menyebabkan seseorang miskin.
Sebenarnya, Lembaga The Prakarsa sudah mengukur dan mengadvokasi Angka Kemiskinan Multidimensi (AKM) sejak tahun 2011. Terakhir, di tahun 2022, ada sekitar 14 juta masyarakat miskin multidimensi.
Dalam AKM, tidak hanya angka kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran makanan dan non-makanan, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti ketiadaan air minum bersih, kondisi rumah, dan tingkat morbiditas.
“Sebagai contoh, ketika seseorang tinggal di rumah tidak layak huni, dia bisa dikatakan miskin. Tetapi karena indikator itu tidak bisa diubah menjadi pengeluaran, maka dia dikategorikan tidak miskin berdasar perhitungan BPS, ” kata dia.
Sebelumnya, BPS meliris rilis angka kemiskinan nasional didasarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 yang mencatat kemiskinan turun menjadi 8,47 persen atau 23,85 juta, turun dari 8,57 persen dari hasil Susenas September 2024.
Sumber : bisnis.hallo.id