
Afrika Selatan, The PRAKARSA – Senior researcher The PRAKARSA Ah Maftuchan, mewakili organisasi masyarakat sipil Indonesia dan memberikan sambutan dalam “Plenary Session on Equality: From Dialogue to Policy Action” pada Civil 20 Summit 2025 yang berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan, 12-14 November 2025. Maftuchan hadir secara daring dalam kapasitasnya sebagai wakil organisasi masyarakat sipil (CSO) Indonesia sekaligus International Advisory Committee (IAC) untuk C20 Afrika Selatan 2025.
Dalam sambutannya, Maftuchan mengapresiasi komitmen Presidensi G20 Afrika Selatan yang secara serius menangani isu ketimpangan dengan membentuk G20 Extraordinary Committee on Global Inequality Report. Komite yang dipimpin oleh ekonom peraih Nobel, Joseph E. Stiglitz, ini telah meluncurkan laporan perdananya tentang ketimpangan global pada 4 November 2025.
Maftuchan memaparkan temuan-temuan kunci dari laporan tersebut yang menggambarkan situasi “darurat ketimpangan” yang dihadapi dunia, mulai dari konsentrasi kekayaan yang ekstrem di mana dalam kurun 2000-2024, 1% orang terkaya di dunia mencaplok 41% dari seluruh kekayaan baru yang tercipta, sementara hanya 1% yang terdistribusi kepada 50% populasi terbawah dunia. Kesenjangan ini semakin nyata ketika melihat rata-rata kekayaan kelompok 1% teratas yang melonjak sebesar 1,3 juta US dolar sejak tahun 2000, sementara peningkatan rata-rata yang dialami oleh seseorang di separuh populasi terbawah global yang hanya meningkat sekitar 585 US dolar.
Lebih jauh, ketimpangan bukan hanya soal kekayaan tetapi juga pendapatan, di mana 83% negara di dunia—yang menjadi rumah bagi 90% populasi global—tercatat memiliki ketimpangan pendapatan yang tinggi. Dampak nyata dari ketimpangan struktural ini tercermin pada memburuknya kerawanan pangan, dengan satu dari empat orang di dunia (2,3 miliar) kini mengalami kerawanan pangan sedang atau parah, jumlah ini terus meningkat sebanyak 335 juta orang sejak tahun 2019.
“Ini adalah pilihan kebijakan. Tren negatif ini bisa dibalik,” tegas Maftuchan.
Dampak Meluas dan Perlunya Aksi Bersama
Maftuchan menekankan bahwa ketimpangan bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga merusak demokrasi, kohesi sosial, dan stabilitas politik. “Layanan publik yang buruk akan
mengikis kepercayaan warga pada pemerintah, konsekuensinya adalah instabilitas politik, menurunnya kepercayaan pada demokrasi, serta konflik yang meningkat,” ujar Maftuchan.
Lebih jauh Maftuchan menegaskan bahwa masalah ini bersifat lintas batas, mencakup ketimpangan antarnegara yang sering kali didorong oleh kepentingan korporasi dan keuangan global. Oleh karena itu, penanganannya harus menjadi agenda internasional, termasuk dalam G20.
Rekomendasi Kebijakan untuk Tingkat Nasional dan Global
Berdasarkan laporan tersebut, Maftuchan menyampaikan dukungannya pada rekomendasi yang diajukan oleh Komite Ketimpangan Global yang dibentuk oleh Presidensi G20 Afrika Selatan serta menegaskan berbagai peran yang dapat dijalankan oleh G20 dalam memfasilitasi koordinasi global.
Pertama, reformasi aturan ekonomi internasional: merancang ulang aturan kekayaan intelektual (terkait pandemi dan perubahan iklim) dan menulis ulang aturan perpajakan internasional untuk memastikan pajak yang adil bagi perusahaan multinasional dan orang super kaya, dengan mengacu pada Konvensi Pajak PBB.
Kedua, aksi nasional: mengeksplorasi peraturan yang pro-pekerja, mengurangi konsentrasi korporasi, memajaki keuntungan modal yang besar, berinvestasi dalam layanan publik, serta menerapkan kebijakan pajak dan pengeluaran yang lebih progresif.
Ketiga, model baru kerja sama: menjelajahi upaya baru antarnegara, terutama dalam situasi geopolitik yang volatil, misalnya dalam hal pajak, perdagangan, dan transisi hijau.

Mendorong Pajak Kekayaan
Dalam kesempatan ini Maftuchan juga memberikan penegasan secara khusus untuk mendorong agenda “pajak untuk orang super kaya” (taxing the super-rich). Ia menyatakan bahwa langkah ini adalah cerminan nyata dari distribusi kekayaan yang adil dan alat kebijakan yang efektif.
Ia menceritakan perjalanan advokasi C20 yang dimulai sejak Presidensi G20 Indonesia 2022, dilanjutkan di India 2023, hingga berlanjut di Brasil 2024. “Kesuksesan paling menonjol adalah selama presidensi G20 Brasil 2024,” ujarnya.
Presidensi G20 Brasil saat itu mengusulkan pajak 2% untuk orang super kaya (sekitar 3.000 individu dengan aset lebih dari 1 miliar US dolar), yang dapat menghasilkan pendapatan 200-250 miliar US dolar per tahun. Sayangnya, karena penolakan dari beberapa negara maju, proposal tersebut ditolak dan digantikan dengan pernyataan yang lebih lunak dari para menteri keuangan G20.
Kemudian Maftuchan menjelaskan bahwa sebenarnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah memberikan perhatian pada isu ini, dibuktikan dengan pengalamannya yang diundang untuk berpidato dihadapan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) pada Maret 2024 untuk membahas peran pajak kekayaan dalam mendanai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan meningkatkan keadilan distributif.
Untuk melanjutkan momentum tersebut, ia menyerukan untuk mengoptimalkan Presidensi G20 Afrika Selatan 2025 dan Presidensi G20 Amerika Serikat 2026 sebagai peluang strategis untuk terus menggaungkan isu ini.
Mengakhiri pidatonya, Ah Maftuchan menyerukan semangat kolaborasi kepada seluruh CSO di dunia. Berharap diskusi yang produktif terus terjaga agar dapat meneruskan perjuangan melawan ketimpangan menuju aksi kebijakan yang nyata. “Mari kita jaga kolaborasi kita untuk terus berusaha menciptakan sistem global yang adil,” tegasnya.