Bencana Sumatera Adalah Kegagalan Tata Kelola Ekologis: Pemerintah Pusat Perlu Pimpin Kolaborasi Terpadu, Jangan Ada Jeda Kemanusiaan

Akses jalan di Tapanuli Selatan putus akibat banjir bandang – ANTARA FOTO/Yudi Manar/bar/pri.

Jakarta, 3 Desember 2025 – Bencana hidrometeorologi dahsyat yang melanda lintas provinsi di Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) bukan sekadar fenomena alam biasa, melainkan kulminasi dari kegagalan tata kelola ekologis yang kronis. Berdasarkan data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 2 Desember 2025, tercatat 712 korban meninggal dunia, 507 orang hilang, dan lebih dari 1,1 juta warga terpaksa mengungsi. Skala kerusakan yang masif ini menuntut respons solidaritas nasional yang dipimpin secara terpadu, melampaui sekat-sekat birokrasi daerah.

Peneliti The PRAKARSA, Ari Wibowo, menyoroti karakteristik bencana kali ini yang bersifat lintas ekoregion. “Bencana ini menghantam wilayah yang sangat luas secara simultan. Kita melihat tantangan luar biasa di wilayah-wilayah frontiers seperti Sibolga dan Barus di Sumatera Utara. Meskipun beberapa titik tidak terdampak banjir langsung, longsor telah memutus jalur logistik vital. Kondisi topografi yang sulit ini membuat evakuasi dan distribusi bantuan tersendat jika hanya mengandalkan kapasitas daerah semata,” ujar Ari.

Ari menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh terjebak dalam perdebatan administratif mengenai status bencana daerah atau nasional. “Pemerintah Pusat harus segera hadir mengorkestrasi kolaborasi lintas pihak. Jangan ada jeda untuk kemanusiaan. Korban sudah terdampak buruk oleh tata kelola lingkungan yang salah, jangan sampai mereka kehilangan harapan masa depan karena hambatan koordinasi,” tambahnya.

Dari sisi fiskal, kapasitas pemerintah daerah untuk merespons bencana ini sangat terbatas akibat tekanan anggaran yang signifikan. Peneliti Kebijakan Ekonomi dan Fiskal The PRAKARSA, Ema Kurnia Aminnisa, mengungkapkan kekhawatirannya terkait ketersediaan ruang fiskal pasca efisiensi anggaran pusat.

“Kita menghadapi paradoks kebijakan. Di satu sisi risiko bencana meningkat drastis akibat krisis iklim dan kerusakan ekologi, namun di sisi lain kapasitas pembiayaan penanggulangan bencana justru menurun.  Efisiensi anggaran tahun 2025 memangkas anggaran BASARNAS hingga 28% dari total 2 triliun pada 2024 menjadi hanya 1,4 triliun pada 2025. Pemangkasan anggaran juga terjadi di BNPB sebesar 2%. Selain itu, pemangkasan anggaran TKD untuk tahun 2026 menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya kapasitas daerah dalam menangani bencana skala raksasa seperti ini secara mandiri,” jelas Ema.

Ema mendorong pemerintah pusat untuk segera menjembatani kesenjangan pembiayaan ini guna memastikan wilayah terdepan yang sulit dijangkau tetap mendapatkan suplai logistik dan bantuan kesehatan yang memadai melalui mekanisme yang akuntabel. Ema juga menegaskan bahwa respon bencana tidak boleh berhenti pada penyediaan logistik dan perbaikan infrastruktur, tetapi harus mencakup perlindungan penghidupan kelompok rentan untuk mencegah munculnya kemiskinan baru akibat bencana. Merespons situasi ini, The PRAKARSA mendesak respon cepat pemerintah nasional-daerah dalam tata kelola kebencanaan dan adanya perubahan fundamental dalam ekosistem regulasi dan pola pikir (mindset) tata kelola sumber daya alam di Indonesia:

  • Kepemimpinan Kolaboratif Terpadu dalam Respon Kebijakan Kebencanaan

Mengingat luasnya dampak lintas provinsi dan keterbatasan fiskal daerah, Pemerintah Pusat perlu mengambil peran aktif dalam mengorkestrasi sumber daya dan operasi darurat. Hal ini bertujuan memastikan kecepatan distribusi logistik ke wilayah terisolir berjalan efektif tanpa menegasikan peran pemerintah daerah.

  • Redefinisi Kerugian Negara

Pemerintah perlu memasukkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang masif diakibatkan oleh kesalahan tata kelola dan ekspansi bisnis skala besar tanpa mitigasi risiko ke dalam definisi kerugian negara, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dengan demikian, mekanisme keterbukaan, basis bukti (evidence-base) kebijakan, dan safeguard pelaksanaan yang jelas sedari awal dapat menjadi pijakan prinsip kehati-hatian serta dasar persiapan sistem peringatan dini (early-warning system).

  • Review Izin Konsesi

Menghentikan dan audit menyeluruh atas peletakan konsesi bisnis yang mengubah bentang alam secara serampangan di wilayah hutan lindung atau konservasi. Setiap aktivitas ekonomi di wilayah berisiko tinggi harus memiliki kerangka mitigasi dampak yang serius serta skema pemulihan (recovery) yang jelas jika terjadi kerugian sosial-ekologis bagi warga.

  • Mengembangkan dan Memperkuat Sistem Perlindungan Sosial Adaptif

Sebagai negara dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi, pemerintah perlu segera mengintegrasikan risiko sosial dan ekonomi akibat bencana alam ke dalam sistem perlindungan sosial nasional. Penguatan ini penting untuk meminimalisir kerugian yang dialami masyarakat dan mempercepat proses pemulihan pascabencana. “Bencana Sumatera ini adalah alarm keras untuk kita semua dan utamanya perlu dipamahi aktor kebijakan. Ke depan, aspek kehati-hatian (precautionary principle) harus menjadi panglima dalam perizinan lahan. Negara bersama warganya tidak boleh lagi menanggung kerugian sosial, ekologi dan ekonomi akibat praktik bisnis yang merusak bentang alam,” tutup Ari Wibowo.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.