
Abdul Waidl, Yuna Farhan, Diding Sakri
(editor)
ISBN 978-979-3330-86-0
Pengantar : Hendri Saparini
Penerbit Pustaka LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa
Cetakan Pertama, Desember 2009
xxvi + 339 hlm ; 15,5 x 23 cm
Indeks Buku :
Pengantar : Oleh Hendri Saparini
Pengantar Editor
Bagian Satu :
Menyorot Problem Kunci Mendorong Anggaran Pro Kaum Miskin di Indonesia
————————–
- Anggaran Pro Kaum Miskin: Konsep dan Praktik
- Kebijakan Fiskal Setelah Krisis Menilai dari Perspektif Anggaran Pro Kaum Miskin
- Transmisi Moneter Tanpa Pengemudi Fiskal
- Peran Parlemen dalam Sistem Penganggaran di Berbagai Negara:
- Politik Birokrasi Anggaran di Indonesia
- Studi Pemetaan Persepsi Mengenai Anggaran Pro Kaum Miskin di Indonesia
Bagian Dua :
Menjajaki Solusi Tercapainya Anggaran Pro Kaum Miskin di Indonesia
————————–
- Optimalisasi Penerimaan Negara untuk Pembiayaan Pembangunan Nasional
- ORI Terfokus: Stimulus Fiskal ke Arah Bekerja Penuhnya Sistem Ekonomi
- Belanja Pendidikan dan Kesehatan yang Lebih Signifikan
- Menciptakan DPR dan Sistem Pendukung Parlemen yang Mendukung Anggaran Pro Kaum Miskin
- Strategi CSO Working Group dan Penguatan Panitia Anggaran
Indeks
Para Penulis
Kata Pengantar :
APBN Yang Menggelembung vs. Kesejahteraan Yang Menurun:
Perlunya Kebijakan Yang Pro Pengentasan Kemiskinan
Oleh: Hendri Saparini, PhD.
Tayangan di televisi tentang bapak dan ibu muda yang menjadikan gerobak
dorongnya sebagai alat mencari nafkah sekaligus rumah tempat membesarkan
anak-anak mereka, juga cerita orang tua yang terpaksa membiarkan anak-anaknya
ikut mencari nafkah karena tidak mampu menyekolahkan mereka, semakin sering
kita saksikan. Belum lagi berita meningkatnya jumlah penderita gizi buruk dan
masyarakat miskin yang kesulitan untuk mendapatkan air bersih atau pelayanan
umum lainnya, seolah tidak pernah habis. Tentu kita sepakat bahwa pemberitaan
yang marak tentang berbagai masalah kehidupan yang dihadapi masyarakat miskin
bukan sekadar buah dari kebebasan pers, tetapi jumlah orang miskin memang masih
sangat banyak.
Sangat ironis setelah Indonesia melakukan pembangunan selama lebih dari 63 dan
telah menguras berbagai sumber daya alam, ternyata menghasilkan kesenjangan
sosial ekonomi yang makin dalam. Sekelompok kecil masyarakat telah hidup dengan
sangat berkecukupan, mampu mendapatkan pendidikan terbaik, fasilitas kesehatan
yang sangat berkualitas, pekerjaan yang sangat layak, tinggal di lingkungan
mewah dengan fasilitas publik nomor satu, dll; namun di lain pihak masih ada
puluhan juta masyarakat Indonesia yang tingkat kesejahteraannya masih jauh tertinggal.
Jangankan mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, serta pelayanan fasilitas
publik yang layak, untuk sekadar makan, pakaian dan tempat tinggal layak pun
banyak masyarakat yang tidak dapat mendapatkannya.
Salah satu buktinya, dalam APBN 2008 dianggarkan sebanyak 19,2 juta keluarga
Indonesia layak menerima Raskin (beras untuk keluarga miskin), artinya ada
sekitar 50 juta orang yang masih memerlukan bantuan beras. Dalam pelaksanaannya
ternyata, jumlah mereka jauh lebih banyak dibanding yang dianggarkan sehingga
jatah beras sebesar 10 kg per keluarga per bulan harus dikurangi agar bisa
dibagi lebih merata. Selain berbagai kelemahan dalam administrasi, meningkatnya
jumlah keluarga miskin adalah akibat beban masyarakat kelompok bawah yang
semakin berat. Buruk dan terbatasnya pelayanan kebutuhan dasar yang semestinya
menjadi pelayanan publik, saat ini harus ditanggung masyarakat seperti biaya
pendidikan, transportasi, kesehatan, dll.
Peran Pemerintah Lewat
APBN
Salah satu senjata ampuh yang dimiliki negara untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat adalah lewat kebijakan anggaran yang mengatur sumber penerimaan dan
kebijakan pengeluaran pemerintah. Penyusunan rencana, pelaksanaan serta
pengawasan anggaran yang dilakukan secara bersama oleh Pemerintah dan DPR seharusnya
akan menjadikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai alat
ampuh menuju pembangunan yang lebih adil. Artinya Semakin besar APBN semakin
merata pembangunan untuk seluruh rakyat.
Apalagi Undang-undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pada negara untuk
melaksanakan pembangunan dengan tujuan meningkatkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Tujuan ini telah dengan tegas dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945
dan pasal-pasal dalam UUD 1945 baik yang asli maupun hasil amandemennya. Pasal
23 ayat 1 misalnya dengan jelas ditegaskan bahwa APBN harus digunakan untuk
kesejahteraan rakyat. Masih banyak pasal dalam konstitusi yang mengatur dengan
jelas hak rakyat dan tugas negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat; tentang pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam sebesar-besar
kemakmuran rakyat; amanah bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara; hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dll.
Konstitusi telah mengatur apa yang menjadi hak rakyat dari berbagai penerimaan
negara yang dikelola negara dan dengan tegas menentukan kewajiban-kewajiban
negara dalam pemenuhan hak-hak rakyat dari pengelolaan APBN. Semestinya semakin
besar volume anggaran pemerintah semakin besar pula kapitas pemerintah untuk
melaksanakan amanah konstitusi untuk membawa rakyat lebih sejahtera, namun yang
terjadi tidak demikian.
Sebagai ilustrasi, APBN meningkat pesat dari Rp 380 triliun (2004) menjadi
sekitar Rp 980 triliun (2008). Namun, hasil pembangunan yang diperoleh selama
periode tersebut tidak sebanding. Untuk pengentasan kemiskinan, misalnya,
meskipun anggaran kemiskinan meningkat tajam dari Rp 18 triliun (2004) menjadi
sekitar Rp 70 triliun (2008), akan tetapi jumlah orang miskin tidak berkurang
secara signifikan. Bila para tahun 2004 jumlah orang miskin sebanyak 36 juta
orang maka pada tahun 2008 tetap sebesar 35 juta orang. Bahkan jumlah orang
miskin kemungkinan akan lebih besar bila survei dilakukan setelah kenaikan
harga BBM bulan Mei 2008.
Peran Lewat Pro Poor Policy
Strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat membutuhkan kebijakan
makroekonomi yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat atau pro-poor macroeconomic policy. Tentu saja kebijakan
harus dilakukan secara menyeluruh/komprehensif baik pada kebijakan fiskal dan
moneter maupun industri dan perdagangan.
Kebijakan fiskal. Bila program penghapusan kemiskinan dan
pengagguran menjadi prioritas pembangunan, maka sebagai konsekwensinya
pemerintah dituntut untuk memiliki kebijakan fiskal yang pro-penghapusan
kemiskinan (pro-poor) dan penciptaan lapangan kerja (pro-job). Dalam penyusunan
penerimaan negara misalnya, cara-cara untuk meningkatkan penerimaan seharusnya
tidak kontra produktif terhadap upaya penghapusan kemiskinan. Penghematan
anggaran dengan pencabutan subsidi rakyat seharusnya menjadi pilihan paling
akhir setelah pemerintah melakukan berbagai langkah kebijakan lain.
Demikian pula upaya meningkatan penerimaan dari sumber pajak, semestinya
dihindarkan dari pilihan kebijakan yang akan berdampak langsung bagi kelompok
rakyat miskin. Pertumbuhan pajak langsung (direct tax) seperti PPh harus
diutamakan dibanding pajak-pajak tidak langsung (indirect tax) seperti pajak
penjualan, dll karena akan berdampak langsung bagi rakyat miskin. Reformasi
kebijakan juga harus dilakukan terhadap penerimaan pemerintah dari pengelolaan
sumber daya alam migas dan tambang, seperti: renegosiasi kontrak-kontrak
pertambangan yang selama ini hanya memberikan manfaat minimal bagi rakyat atau
langkah sekuritisasi sumber migas harus menjadi alternatif prioritas.
Di sisi belanja, kebijakan alokasi belanja semestinya diprioritaskan pada
pengeluaran-pengeluaran yang akan memberikan dampak positif (multiplier effect)
bagi pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Pengajuan penghapusan utang atau
pembatasan utang harus menjadi langkah strategi yang dilakukan secara
sungguh-sungguh untuk mengurangi beban APBN. Namun, berbagai alternatif
tersebut tidak akan pernah muncul apabila paradigma neoliberal yang mendasari
pengelolaan anggaran. Stimulus ekonomi yang memerlukan dukungan anggaran
pembangunan besar, misalnya, sangat sulit dilakukan karena langkah ini
bertentangan dengan konsep paradigma yang konservatif. Anggaran belanja justru
diupayakan amat ketat. Upaya mencari pembiayaan dengan penghapusan utang,
pembatasan penggunaan anggaran untuk pembayaran cicilan utang, melakukan
renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan atau sekuritisasi migas, juga tidak
akan menjadi pilihan karena bertentangan dengan paradigma yang dianut.
Kebijakan moneter. Sebagaimana pengelolaan kebijakan fiskal,
kebijakan moneter pun harus pro terhadap penyelesaian kemiskinan dan
pengangguran. Kegagalan dalam mengelola kebijakan makro, seperti dalam
pengendalian harga, juga menjadi penyebab turunnya kesejahteraan masyarakat.
Tahun 2007-2008, tingkat inflasi bahan makanan sebesar 11,3 dan 13,5 persen
jauh lebih tinggi dibanding inflasi umum yang sebesar 6,6 persen dan 9,4
persen. Dengan gambaran beban inflasi makanan saja dapat disimpulkan bahwa daya
beli masyarakat bawah akan terpangkas oleh inflasi. Sebagaimana diketahui 70
persen pengeluaran kelompok miskin maupun mendekati miskin digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Apalagi bila diperhitungkan hasil survei BPS dan ADB
yang menyimpulkan bahwa inflasi yang dihadapi orang miskin 2-3 kali lipat dari
rata-rata nasional. Semakin tegas bahwa kesejahteraan masyarakat bawah akan
terus merosot dan gap akan semakin tajam tanpa perombakan kebijakan dan
peran pemerintah.
Pengendalian inflasi dapat dilakukan melalui kebijakan moneter maupun kebijakan
sektor riil. Permasalahan inflasi di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh
permasalahan di sektor riil, akan tetapi, dengan paradigma ekonomi yang
konservatif dan monetaris (fokus pada pilihan kebijakan-kebijakan moneter),
inflasi lebih sering diredam dengan kebijakan moneter. Kesalahan pilihan
kebijakan ini jelas kontra produktif terhadap pengentasan kemiskinan dan
pengangguran. Tingkat suku bunga tinggi berdampak negatif pada daya beli
masyarakat dan biaya produksi. Tekanan ganda (double pressure) inilah yang
akhirnya mendorong PHK besar. Kalaupun pemerintah melakukan langkah kebijakan
di sektor riil akan tetapi fokus utamanya lebih diarahkan pada penyelamatan
moneter. Sehingga seringkali mengabaikan dampak negatifnya terhadap sektor
riil.
Kebijakan perdagangan dan industri. Prioritas kebijakan sektoral
sangat menentukan kualitas pertumbuhan dalam mengentaskan kemiskinan. Beberapa
tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih disokong oleh pertumbuhan
di sektor-sektor ekonomi padat modal dan teknologi tinggi. Orientasi kebijakan
yang lebih memprioritaskan sektor spekulatif akhirnya mengurangi pertumbuhan
pada sektor riil. Akibatnya, daya serap tenaga kerja yang dihasilkan dari pertumbuhan
ekonomi semakin rendah.
Sebagai gambaran, dalam RPJM 2005-2009 target penciptaan lapangan kerja per 1
persen pertumbuhan ekonomi adalah 450.000 tenaga kerja. Namun data
Sakernas 2005-2006 mencatat jumlah lapangan kerja neto yang bisa disediakan per
1 persen pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang sangat signifikan. Jika
sebelum tahun 2004 daya serap neto 1 persen pertumbuhan dapat mencapai
240.000-250.000 lapangan kerja dan tahun 2004 menurun hingga di bawah 200.000,
maka tahun 2005-2006 daya serap dari pertumbuhan ekonomi hanya berkisar
antara40.000-50.00040.000-50.000 lapangan kerja per 1
persen pertumbuhan. Penurunan kualitas pertumbuhan terjadi karena pertumbuhan
ekonomi saat ini bukan didukung oleh pertumbuhan yang tinggi di sektor-sektor
padat karya seperti sektor pertanian, industri dan perdagangan tetapi sektor
keuangan dan telekomunikasi yang sangat padat modal.
Pilihan kebijakan liberalisasi pertanian yang tanpa persiapan juga
mengakibatkan menurunnya kesejahteraan petani. Kondisi ini sangat berbeda
dengan negara-negara tetap meyakini pentingnya peran pemerintah yang luas.
Negara-negara Eropa atau Jepang menempatkan strategi pengembangan sektor
pertanian dengan melakukan berbagai langkah penyelamatan dari gelombang
liberalisasi. Memang saat ini sangat sulit untuk melakukan kebijakan perang
tarif (tariff barrier). Akan tetapi masih sangat banyak kebijakan lain untuk
mendukung sektor pertanian. Sebagai contoh, peran pemerintah yang besar
ditunjukkan dengan pengeluaran pemerintah yang besar untuk mendukung daya saing
produk para petani.
Kebijakan liberalisasi perdagangan yang gencar dilakukan semakin menekan daya saing
produk lokal di pasar domestik melalui membanjirnya produk impor legal maupun
ilegal. Liberalisasi sektor perdagangan dan industri juga berdampak buruh pada
pengentasan kemiskinan serta pengangguran. Di sektor garmen, saat ini 77 persen
pasar garmen dometik dikuasai produk impor dengan 70 persen nya adalah produk
illegal. Keputusan untuk mengekspor rotan mentah misalnya, berdampak besar pada
kebangkrutan industri mebel rotan di Cirebon dan Sidoarjo yang akhirnya
mendorong gelombang PHK.
Konsistensi Prakarsa
Selama ini ‘Perkumpulan Prakarsa’ selalu konsisten dalam mendukung perwujudan
APBN yang pro-poor, yang hingga saat ini masih belum juga terwujud. Keresahan
tersebut akhirnya dituangkan dengan sangat baik dalam buku ini. Studi ini
mencoba memotret masalah anggaran yang tidak pro terhadap pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari berbagai sisi. Dari
sisi birokrasi dan politik diungkapkan betapa kelemahan birokrasi, dukungan
politik baik dari peran anggota Dewan maupun keterlibatan masyarakat telah
berpengaruh terhadap penyusunan anggaran yang pro orang miskin.
Dalam buku ini disajikan penjelasan dengan sangat komprehensif berbagai argumen
untuk menuju APBN yang pro terhadap pengentasan kemiskinan. Dalam strategi
alokasi anggaran, argumen bahwa anggaran yang pro-poor harus terkait dengan
pembangunan social sector jangka panjang, sangat menarik. Selama ini seolah ada
keterpisahan. Bahkan dengan kecenderungan pemerintah akan mengalihkan tanggung
jawab pembangunan infrastruktur dasar bagi masyarakat lewat berbagai program
mandiri seperti PNPM Mandiri. Dengan dana PNPM Mandiri masyarakat boleh
memanfaatkannya untuk pelayanan kesehatan, penyediaan fasilitas dasar seperti
air bersih, pendidikan, pembangunan jalan, dll. Dana yang sangat besar (tahun
2007 akan mencapai Rp 77 triliun) semestinya tidak digunakan untuk
program-program jangka pendek. Penyediaan infrastruktur pendukung seperti
jalan, transportasi, air bersih, pendidikan, kesehatan, seharusnya menjadi
tanggung jawab pemerintah dan dilaksanakan dengan perencanaan yang terintegrasi
dan terpusat sehingga lebih efektif dan akan memberikan manfaat sosial maupun
ekonomi jangka panjang.
Pembahasan penting lainnya adalah tentang anggaran pro-poor yang harus
direncanakan secara benar tidak hanya dalam pemilihan prioritas program
alokasinya tetapi juga dalam pilihan strategi pembiayaan pembangunan. Saat ini
perhatian masyarakat termasuk juga para anggota Dewan lebih terkonsentrasi pada
strategi alokasi bukan pada pembiayaan. Padahal seperti disampaikan dalam buku
ini, strategi pembiayaan yang salah akan menimbulkan beban bagi masyarakat di
masa mendatang. Pembahasan tentang pajak dan alternatif pembiayaan sangat
penting. Ternyata ada alternatif pembiayaan yang lebih adil dan terfokus sehingga
menjamin bahwa pembiayaan tersebut benar-benar untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur dan pengentasan kemiskinan.
Terakhir, kami mengucapkan selamat pada para penulis yang telah menyajikan
informasi yang sangat bermanfaat. Buku ini akan sangat bermanfaat untuk anggota
DPR, Pemerintah maupun masyarakat luas karena mampu penjelaskan dan memberikan
argumen dengan luas tentang pentingnya bagi Indonesia untuk segera mewujudkan
anggaran pro-poor untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan yang semakin dalam.
Jakarta, 16 Desember 2008
Hendri Saparini, PhD
—– Mohon maaf, download link untuk buku tidak berisi dokumen / tidak difungsikan.