Sebuah
berita di media membuat rasa kemanusiaan menjerit. Seorang ibu yang hamil tujuh
bulan dan anaknya yang berusia 5 tahun ditemukan meninggal di Makassar. Mereka
tewas mengenaskan bukan karena penyakit. Empat hari tidak makan membuat mereka
mati kelaparan. Seketika itu juga, gegerlah republik. Pedih sekali membaca
berita itu.
Rasa mencekam dan nurani terkoyak dirasakan segenap penjuru negeri ini. Berita
kematian yang mengenaskan itu hanyalah sekelumit kabar sedih yang disuarakan
media. Sebenarnya, masih banyak penderitaan rakyat miskin yang terjadi
sehari-hari dan menyayat hati, namun tak terkabarkan serta membisu.
Tiba-tiba kita tersadarkan, lalu dimana peran negara dan pemerintah? Mereka
terlihat “tidak bermanfaat” disini. Mereka ternyata tidak bisa
diandalkan untuk bersandar bagi rakyatnya yang mengalami penderitaan hebat.
Lalu gugatan keras pun muncul, apakah konstitusi yang mengamanatkan “fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” hanya indah di tulisan,
namun nihil pelaksanaan?
Bebarengan dengan hal ini, ironisnya dengan bangga pemerintah mengabarkan
kapasitas anggaran negara (APBN) yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Seperti ditulis buku ini, selama 10 tahun terakhir sejak reformasi (1999-2009)
anggaran naik hampir 5 kali lipat. Akan tetapi, persoalan kemiskinan terus
tertinggal. Bila menggunakan ukuran kemiskinan Bank Dunia (US$ 2 paritas daya
beli/hari atau hampir Rp 7.000/hari), hampir separuh penduduk Indonesia di
bawah garis kemiskinan. Problem ini tetap saja tidak jauh beranjak dari tahun
ke tahun.
Hal konkret dan mendasar seperti kematian ibu dan bayi, terutama di kalangan
miskin, masih terus menghantui kita. Bayi di Indonesia mempunyai kemungkinan
meninggal tiga kali lipat bila dibandingkan Vietnam. Kondisi kematian ibu dan
bayi di Indonesia kini termasuk terburuk di Asia Tenggara. Polio justru
menyeruak kembali di era reformasi tahun 2005, pertama kalinya sejak tahun
1996.
Pertanyaan mendasar terhadap dunia jurnalistik terkait kasus ini, apakah
jurnalisme kita hanya sekedar mengabarkan terus-menerus adanya
“kebakaran” ? Atau, terlibat aktif juga disamping mengabarkan adanya
“kebakaran”, namun juga mencegah dan mengupayakan supaya tidak
terjadi lagi? Sederhananya, berita bukan hanya bernuansa jeritan sosial
(protesta), namun juga aktif sekaligus mengurai persoalan dan membuka wacana
untuk penyelesaian persoalan supaya lebih terlembaga (propuesta) agar persoalan
tidak terulang. Semangat propuesta inilah yang diusung secara bersemangat oleh
buku ini terkait dengan anggaran pro-kaum miskin (pro poor).
Bagaimana mungkin anggaran yang naik berlipat-lipat, namun problem kemiskinan
kemiskinan tak menunjukkan penurunan yang signifikan. Anggaran bagaimanapun
juga adalah sumber daya yang sifatnya terbatas maka ia menjadi rebutan. Alokasi
anggaran adalah salah satu wujud konkret dari adanya prioritas kebijakan
(policy priorities). Seperti biasa, penentuan prioritas kebijakan dalam
pemerintahan (pusat maupun daerah) merupakan benturan dan kompromi dari
berbagai kepentingan.
Warganegara, terutama kaum miskin, mempunyai pengaruh paling lemah dalam wacana
memperebutkan policy priorities yang diwujudkan dalam alokasi anggaran.
Disamping itu, diskursus anggaran masih terasa sangat elit (DPR/D dan
pemerintah) atau didominasi kalangan tertentu saja (terutama ekonom). Padahal,
warganegara (citizen) sebenarnya sangat berkepentingan dengan alokasi anggaran
dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Pelayanan kesehatan buruk, jalan
rusak dan becek, irigasi mengering, harga pangan pokok melambung, banjir,
kemacetan, kemiskinan, kelaparan, dan lain-lain, adalah hal yang sangat
berkaitan dengan anggaran.
Tak mengherankan akibat pengetahuan dan akses yang terbatas, kepentingan
warganegara (terutama kaum miskin) digilas oleh kepentingan yang jauh lebih
dominan dalam menentukan kebijakan (dominant players). Inilah yang kita jumpai
pada saat ini, bagaimana anggaran untuk birokrasi jauh lebih mendominasi dari
pada pembiayaan pembangunan atau, membangun gedung parlemen megah dengan
fasilitas mewah yang nilainya triliunan dianggap lebih penting dari pada
mengurangi kemiskinan.
Prasyarat membuka mata warganegara melalui media massa untuk berperan aktif
dalam memperjuangkan hak anggaran (pro-kaum miskin), tentu juga mensyaratkan
(minimal) pekerja media yang memahami persoalan anggaran. Buku ini mencoba
untuk mengisi hal tersebut. Meski wacana anggaran sepertinya terkesan
teknis-numerik, namun buku ini tidak ingin terjebak dalam hal itu. Memang
persoalan teknis tentu tidak bisa dihindari, tapi buku ini juga menjangkau hal
yang sifatnya substantif, filosofis dan etis sehingga tidak kering serta tetap
enak dibaca.
Akhirnya, saya mengucapkan profisiat dan selamat atas penerbitan buku ini.
Terima kasih bagi penulis yang menyisihkan waktunya untuk menulis buku yang
sangat penting ini dan juga kepada Yayasan TIFA atas dukungannya sehingga buku
ini dapat diterbitkan. Semoga buku ini bermanfaat khususnya bagi pekerja media
(wartawan) dalam melakukan literasi anggaran bagi publik, terutama untuk
memperjuangkan anggaran pro-kaum miskin dan mengembangkan emansipasi
kewarganegaraan (citizenship) dalam hak anggaran.
Setyo Budiantoro
Direktur Eksekutif
Perkumpulan Prakarsa
________
Profil Penulis :
ABDUL MANAN
(E-Mail : a_manan@mail.tempo.co.id)
Lahir di Probolinggo, 5 Juli 1974. Sejak tahun 2001 bekerja sebagai Staf Redaksi Koran Tempo Jakarta. Aktif sebagai Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Media Independen, Anggota Majelis Etik AJI Jakarta dan Badan Pemeriksa Keuangan AJI Indonesia sejak tahun 2009. Beberapa buku yang sudah dihasilkan antara lain : Buku Panduan Jurnalis Meliput Pemilu, Buku Panduan Jurnalis Meliput Mahkamah Konstitusi, buku Demi Keadilan: Catatan 15 Tahun Elsam Memperjuangkan HAM, buku Pemetaan kasus Pencemaran Nama Baik di Indonesia. Mendapatkan penghargaan dari UNESCO dan Dewan Pers 2009 untuk karya jurnalistik terbaik terkait isu kebebasan pers dalam kategori perlindungan kebebasan pers.
AH MAFTUCHAN
(E-Mail : amaftuchan@theprakarsa.org)
Adalah
peneliti dan program officer of the Role of the State Perkumpulan Prakarsa –
Jakarta. Lahir di Pati, 10 Oktober dan menyelesaikan pendidikan formal di
Fakultas Hukum Islam Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sejak
mahasiswa sudah aktif dalam gerakan sosial dan advokasi kebijakan di berbagai
NGO.
Pernah bekerja sebagai Field Coordinator dan Technical Officer on Good
Governance in Population Administration Programme of GTZ (Gesselschaft fur
Technische Zusammenarbeit) di Nangroe Aceh Darussalam. Terkait dengan advokasi
anggaran, penulis menjadi anggota Badan Pekerja KAI (Komisi Anggaran Independen),
pernah melakukan studi MDG’s Financing di Parlemen Phillippina dan Departemen
Keuangan Phillipina, menjadi salah satu juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil
untuk APBN Kesejahteraan dan juga aktif sebagai narasumber dan trainer
diberbagai pelatihan yang berkaitan dengan advokasi kebijakan dan anggaran.
***
*Untuk mendapatkan buku tersebut anda dapat menghubungi Kantor Perkumpulan Prakarsa*
Mohon maaf, download link untuk buku tidak berisi dokumen / tidak difungsikan.