Pajak galian C di Kabupaten Jepara terbilang rendah, tak sebanding dengan dampak buruk lingkungan yang ditimbulkan. Musababnya karena kisruh aturan hingga maraknya praktik tambang ilegal. Liputan ini kerja sama Tempo Institute, Tempo, Serat.id, dan The Prakarsa.
Dalam dua bulan terakhir, rasa waswas kerap menyergap Maslikan. Pria 42 tahun warga Desa Pancur, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah itu khawatir sewaktu-waktu polisi menciduknya setelah ia bersama puluhan warga desa tersebut menggelar aksi demonstrasi memprotes keberadaan tambang galian c di wilayah mereka. Tak lama setelah aksi tersebut, kepolisian resor setempat membuka penyelidikan terkait demonstrasi atas laporan sang pemilik tambang.
Tambang galian c yang diprotes warga itu milik seorang pengusaha asal Demak, Jawa Tengah. Tambang beroperasi pertengahan 2020 setelah mendapat izin dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah. Menurut Maslikan, warga desa tak pernah diminta pendapatnya oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten dalam hal penerbitan izin tambang penghasil tanah uruk itu. Warga desa sejak awal khawatir keberadaan tambang bakal berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar.
Kekhawatiran itu terbukti setelah beberapa pekan tambang beroperasi. Maslikan menuturkan, tak lama setelah beroperasi, kawasan tambang yang jaraknya tak sampai 1 kilometer dari pemukiman penduduk itu menghasilkan suara bising, debu yang beterbangan ke kawasan tempat tinggal mereka, dan mulai berkurangnya ketersediaan air tanah di areal pertanian hingga sumur-sumur rumah warga karena bukit yang menjadi tempat resapan air dikeruk. Warga juga khawatir jalan desa dan sekitar pemukiman mereka rusak karena tiap hari puluhan truk melintas di sana. Perusahaan tidak membuat akses jalan khusus untuk melintas truk yang membawa hasil tambang. “Keberadaan tambang itu lebih banyak mudaratnya,” ujar bapak tiga anak itu, pertengahan Desember lalu.
Bekas kubangan tambang feldspar (berizin) di Desa Clering Kecamatan Donorojo Kab Jepara.
Semenjak beroperasi, warga juga tidak merasakan manfaat ekonomi keberadaan tambang. Menurut Maslikan, hanya ada dua warga yang diberi kesempatan bekerja di sana, yakni sebagai penjaga dan “pak ogah” yang mengatur hilir mudik truk tambang. Sedang penambang, sopir truk atau pekerja lainnya didatangkan dari Demak. Tak ada kontribusi kesejahteraan ini semakin menguatkan tekad warga desa menggelar aksi protes atas keberadaan tambang tersebut. Puncak protes warga terjadi pada Jumat, 9 November lalu. Sekitar 40 warga menggelar aksi unjuk rasa di poros jalan desa dan memblokade jalan tersebut agar truk-truk tambang tak bisa melintas. Dua hari kemudian, polisi membuka blokade jalan itu setelah menerima laporan dari pemilik tambang.
Bukan hanya membuka blokade jalan, polisi juga merespons laporan sang pengusaha dengan membuka penyelidikan berkaitan dengan aksi protes warga. Menggunakan ketentuan pasal 162 Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, polisi mengusut kasus ini dan memanggil para peserta aksi. Sampai sekarang, penyelidikan kasus tersebut masih berjalan. Maslikan dan lima warga lainnya termasuk yang diperiksa polisi. “Saya pasrah saja menghadapi kasus ini,” ujar Maslikan, masygul.
Bekas kubangan tambang feldspar (berizin) di Desa Clering Kecamatan Donorojo Kab Jepara.
Maslikan dan warga Desa Pancur bukan satu-satunya pihak yang memprotes keberadaan tambang galian c di Jepara. Sebagian tambang galian c di Jepara menimbulkan keresahan masyarakat karena keberadaan tambang menghasilkan dampak lingkungan yang buruk. Selain debu yang beterbangan ke rumah warga, dampak buruk lingkungan lainnya adalah timbulnya longsoran material yang menghasilkan debu saat kemarau dan menutup sungai serta saluran irigasi dan meninggalkan kubangan bekas galian tak direklamasi. Dari sisi ekonomi, warga juga tidak merasakan kontribusi sama sekali. “Sejauh ini memang tak ada kontribusinya,” ujar Hartoyo, Kepala Desa Bungu, Kecamatan Mayong, Jepara, yang merupakan kawasan yang menjadi salah satu lokasi tambang galian c.
Bukan hanya di tingkat desa, keberadaan tambang galin c di Jepara juga ternyata tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah kabupaten yang terletak di sebelah utara Jawa Tengah itu. Menurut data kantor cabang Dinas ESDM Wilayah Jawa Tengah yang meliputi Jepara, Kudus, dan Pati, terdapat 23 galian c berizin di kabupaten sentra penghasil kerajinan ukiran kayu tersebut. Komoditas tambangnya berupa pasir dan batu, andesit, feldspar, hingga tanah urukan.
Dari 23 lokasi tambang tersebut, menurut catatan Badan Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah (BPKAD) Jepara, pendapatan pajak yang masuk ke kas daerah dari Januari sampai pertengahan Desember 2020 ini, misalnya, hanya menyumbang Rp 1,47 miliar. Dari jumlah itu, pajak tambang feldspar menyumbang Rp 1,05 miliar; pajak andesit sebesar Rp 300 juta; pajak pasir dan kerikil sebesar Rp 72,9 juta; dan pajak tanah urukan mencapai Rp 54 juta.
Menurut data BPKAD Jepara, kontribusi pendapatan galian c ini menempati urutan keenam dari 11 pajak dan retribusi daerah yang dikelola pemerintah kabupaten itu. Peringkat di bawah pajak galian c ditempati pajak yang memang potensinya minim di Jepara atau belum digarap maksimal. Semisal pajak sarang burung walet atau pajak air bawah tanah. Pajak yang berkontribusi besar menyokong pendapatan asli daerah (PAD) adalah pajak penerangan jalan yang realisasinya mencapai Rp 42,7 miliar; pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 35,2 miliar; pajak bea perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB) Rp 28,9 miliar; hingga pajak restoran Rp 7,7 miliar. Di luar pajak yang dikelola BPKAD Jepara, ada retribusi yang juga ikut menyokong PAD. Kontribusi pajak galian c ternyata masih di bawah setoran retribusi pasar di Jepara yang hingga pertengahan Desember ini realisasinya sudah mencapai Rp 3,01 miliar.
Kepala Bidang Pendapatan BKPAD Jepara, Kendar Pratomo, mengatakan kecilnya pendapatan daerah yang bersumber dari tambang galian c ini karena tarifnya tersandera ketentuan harga patokan yang ditetapkan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah. Ketentuan yang dimaksud adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 543/30 tahun 2018 tentang Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Bukan Logam dan Batuan. Bupati Jepara kemudian membuat ketentuan teknis atas peraturan itu dengan menerbitkan Peraturan Bupati Jepara Nomor 70/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan tanggal tanggal 31 Desember 2019.
Aktivitas tambang galian C (batu belah) ilegal atau tak berizin di Desa Pancur Kecamatan Mayong, Jepara
Rumus perhitungan pajak dalam peraturan gubernur adalah jumlah volume (dalam meter kubik) dikalikan harga patokan penjualan sesuai SK Gubernur Jateng lalu dikalikan lagi dengan tarif pajak berdasar Peraturan Bupati Jepara sebesar 20 persen. Ambil contoh, untuk tambang tanah uruk, harga patokan penjualan Rp 15.000 per meter kubik, maka setelah dihitung tarif pajaknya hanya Rp 3 ribu per meter kubik. Sedangkan untuk batu andesit tarif pajaknya Rp 10 ribu per meter kubik, besaran pajak untuk pasir kerikil atau pasir dan batu Rp 12 ribu per meter kubik, dan tarif pajak untuk feldspar sebesar Rp 16 ribu per meter kubik.
“Kita hanya mengikuti aturannya seperti apa. Sebelum SK Gubernur tahun 2018, harga patokan penjualan tanah uruk Rp 25.000 per meter kubik, jadi yang sekarang berlaku nominalnya malah lebih kecil. Itu juga salah satu alasan mengapa target pajak galian c tidak tercapai,” ujarnya.
Jepara menargetikan pajak dari galian c setiap tahun rata-rata Rp 5 miliar, tapi selalu meleset tak sampai Rp 2 miliar. Apalagi di era pandemi tahun 2020 ini. Pada 2018, misalnya, target pendapatan pajak galian c ditetapkan Rp 5,4 miliar, tapi realisasinya hanya Rp 1,3 miliar. Pada tahun berikutnya realisasinya sempat naik sebesar Rp 2,7 miliar.
Kepala Seksi Geologi Mineral dan Batu Bara Cabang Dinas ESDM Jawa Tengah Wilayah Kendeng Muria, R. Gautama, punya pendapat berbeda soal kecilnya pajak dari galian c di Jepara. Menurut dia, minimnya pajak galian c sebenarnya tergantung harga tarif pajak yang ditetapkan setiap daerah. Setiap daerah, kata dia, bisa menentukan sendiri besarannya. “Jadi tergantung masing-masing daerah besaran tarif pajaknya, maksimal 25 persen karena itu ketentuan dari pusat. Jangan provinsi yang disalahkan,” ujarnya.
Agar setoran pajak galian c di Jepara naik, Gautama menyarankan agar BPKAD atau instansi lain di kabupaten tersebut rajin melakukan pengecekan di lapangan. Langkah itu dianggap penting untuk memastikan apakah laporan produksi galian c yang dilakukan pelaku usaha tambang sesuai dengan kondisi di lapangan. Apalagi sistem pajak berdasarkan self assesment. Pelaku usaha tambang bisa menghitung sendiri dan sekaligus membayar langsung ke bank yang telah ditentukan. “Jangan-jangan malah ada oknum petugas yang main mata dengan pengusaha tambang,” kata dia.
Oleh karena itu, Gautama berharap pemerintah kabupaten juga rajin menggelar razia untuk menertibkan galian c ilegal. Sebab, menurut dia, pajak dari galian c semuanya masuk ke kabupaten. Provinsi malah tidak menerima pajak dari sektor itu.
Menurut Gautama, pihaknya juga melakukan berbagai langkah untuk membantu meningkatkan realisasi pajak galian c di kabupaten atau kota maksimal. Dia mencontohkan, pihaknya rutin menggelar pertemuan tiga bulan sekali dengan pelaku usaha tambang. Gautama berjanji, pihaknya akan menindak keras pelaku usaha tambang yang terbukti curang dalam hal pembayaran pajak dengan tidak memproses perpanjangan izin operasi. “Pemerintah kabupaten juga harus bekerja sama dengan pihak kepolisian setempat rajin menggelar razia agar semuanya berizin sehingga ada tambahan pemasukan untuk daerah,” katanya.
Fenomena menjamurnya tambang galian c ilegal juga terjadi di Jepara. Bahkan, jumlah tambang galian c tak berizin ini lebih banyak dari yang resmi. Banyaknya tambang galian c ilegal, misalnya, terjadi di Desa Bungu, Kecamatan Mayong, Jepara. Menurut Kepala Desa Bungu, Kecamatan Mayong, Hartoyo, saat ini ada belasan tambang galian c. Dari jumlah itu, hanya satu tambang galian c yang berizin. Sisanya ilegal meski skalanya kecil dan digarap dengan manual. “Memang tambang resmi baru beroperasi sekitar tiga bulanan, kalau tambang rakyat sudah berjalan sepuluh tahunan lebih. Tapi sejauh ini memang tidak ada kontribusinya,” ujarnya.
Pemerhati tambang galian c Kabupaten Jepara, W Khoiruz Zaman, mengatakan berdasar pemetaan yang pernah dilakukannya pada 2018 — 2019, ada lebih dari 100 tambang galian c ilegal di Jepara, baik skala besar maupun kecil yag tersebar di sejumlah kecamatan. Mayoritas merupakan galian c tanah uruk serta pasir dan batu. Dia menilai pemerintah setempat terkesan tak melakukan tindakan tegas. Padahal hal itu memicu persaingan usaha yang tak sehat antara pelaku usaha tambang legal dan ilegal. Harga galian c hasil ilegal lebih murah dari tambang resmi. “Praktik ilegal bisa beroperasi diduga karena ada pembiaran,” ujar Koordinator Forum Aktivis Bersama (FAB) Jepara ini.
Salah seorang pelaku usaha tambang galian c berizin di Desa Pancur, Kecamatan Mayong, Jepara, juga menyayangkan masih maraknya tambang ilegal. Ia kerap melaporkan aktivitas tambang ilegal ke pemerintah daerah agar dilakukan penertiban. Namun sayangnya, kata dia, laporan itu banyak yang tidak ditindaklanjuti. “Ini yang dilematis. Saya rajin bayar pajak galian c. Tiap meter kubik Rp 3000. Itu belum berbagai biaya untuk mengurus izin dan lain sebagainya. Tapi ternyata yang ilegal juga tetap bisa beroperasi,” ujar pemilik tambang yang tak mau disebutkan namanya ini.
Sumber: Interaktif TEMPO.CO