
JAKARTA, The PRAKARSA – Lembaga riset dan advokasi kebijakan publik The PRAKARSA menyoroti pemblokiran rekening warga secara sepihak oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Baru-baru ini PPATK melakukan pemblokiran sementara sejumlah rekening dormant yakni rekening yang tidak menunjukkan aktivitas transaksi selama 3 bulan atau lebih. PPATK menyatakan aksi tersebut untuk mencegah kegiatan ilegal dan praktik pencucian uang.
Ari Wibowo, peneliti The PRAKARSA menilai tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum dan dapat memicu ketidakpercayaan publik terhadap lembaga keuangan. “Pemblokiran tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan hak asasi finansial warga negara, serta berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan”, ungkap Ari, Jumat (1/8/2025).
Lebih lanjut, Ari menyatakan bahwa status rekening dormant saja tidak bisa dijadikan dasar hukum pemblokiran. “PPATK memang memiliki wewenang untuk memblokir rekening jika ada indikasi tindak pidana, seperti pencucian uang. Namun, status rekening dormant atau tidak aktif saja tanpa adanya indikasi pidana yang jelas tidak dapat menjadi dasar hukum pemblokiran”, tambahnya.
Selain itu, pemblokiran sepihak tersebut bertentangan dengan sejumlah regulasi. “Pemblokiran rekening dormant bertentangan dengan regulasi diantaranya UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Peraturan PPATK Nomor 18 Tahun 2017, Pasal 12 ayat (2), dan Peraturan OJK Nomor 8 Tahun 2023, Pasal 53 ayat (4) dimana intinya regulasi tersebut memberi wewenang pemblokiran rekening kepada PPATK jika memang terdapat dugaan tindak pidana”, jelasnya.
Sementara itu, Roby Rushandie, ekonom The PRAKARSA menyatakan bahwa pemblokiran rekening ini telah mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat terdampak. “Kebijakan pemblokiran dormant yang tidak berhati-hati sudah menyulitkan masyarakat, apalagi beberapa yang terdampak yakni masyarakat pedesaan yang memang jarang bertransaksi karena keterbatasan infrastruktur. Roby menambahkan aksi pemblokiran ini rawan menyasar kelompok rentan. “Kelompok masyarakt rentan seperti lansia, pensiunan, pekerja informal, dan mereka yang terkena PHK berisiko terkena pemblokiran rekening”, katanya.
Untuk itu, Roby mendesak agar kebijakan ini dievaluasi secara komprehensif. “Pemerintah agar mengevaluasi peraturan dan prosedur PPATK untuk memastikan tidak ada celah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan tindakan pemblokiran didasarkan pada proses hukum yang adil, termasuk putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, tegas Roby.
Roby juga mengusulkan PPATK dan bank agar selektif dalam melakukan pemblokiran. “Supaya dikategorikan mana rekening-rekening dormant yang memiliki risiko tinggi disalahgunakan, agar tidak salah sasaran, selain itu hendaknya ada mekanisme pemberitahuan atau notifikasi bagi rekening yang akan diblokir, serta mekanisme reaktivasi yang tidak menyulitkan”, pungkasnya.