BPS Sebut Angka Kemiskinan Turun, Tapi Apakah Masyarakat Benar-Benar Sejahtera?

Foto: Children collecting used goods for school money (Ridwan Abdurrohman/unsplash.com)

Jakarta, The PRAKARSA – Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The PRAKARSA menanggapi rilis angka kemiskinan nasional yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 25 Juli 2025. Rilis angka kemiskinan didasarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 yang mencatat kemiskinan turun menjadi 8,47 persen atau 23,85 juta, turun dari 8,57 persen dari hasil Susenas September 2024. 

PRAKARSA mengapresiasi langkah-langkah pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan secara nasional. Sekalipun, di beberapa indikator seperti angka kemiskinan perkotaan, angkanya justru naik. 

Beberapa catatan kritis 

Pierre Bernando Ballo, peneliti kebijakan sosial PRAKARSA, memberikan beberapa catatan kritis. Pertama, ketika seseorang dikategorikan sebagai tidak miskin berdasarkan Susenas, bukan berarti realitasnya mereka tidak hidup di dalam kemiskinan. Hal ini dikarenakan BPS masih menggunakan metode lama berbasis moneter yang mengukur garis kemiskinan makanan (GKM) dan non-makanan (GNKM), atau umumnya dikenal dengan metode Cost of Basic Needs (CBN). “Metode ini cukup oudated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah”. 

Pier menyarankan agar BPS merevisi metodologi penghitungan garis kemiskinan. “Salah satu yang bisa dipertimbangkan adalah Indikator Kemiskinan Multidimensi (IKM), supaya faktor-faktor non-moneter juga bisa diperhitungkan”. 

PRAKARSA sudah mengukur dan mengadvokasi Angka Kemiskinan Multidimensi (AKM) sejak tahun 2011. Terakhir, di tahun 2022, ada sekitar 14 juta masyarakat miskin multidimensi. Dalam AKM, tidak hanya angka kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran makanan dan non-makanan, tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti ketiadaan air minum bersih, kondisi rumah, dan tingkat morbiditas. “Sebagai contoh, ketika seseorang tinggal di rumah tidak layak huni, dia bisa dikatakan miskin. Tetapi karena indikator itu tidak bisa diubah menjadi pengeluaran, maka dia dikategorikan tidak miskin berdasar perhitungan BPS”. 

Pemerintah perlu untuk tidak hanya menaikkan garis kemiskinan, tetapi juga “melebarkan”. Terkhususnya, untuk menyoroti faktor-faktor kemiskinan yang seringkali tidak bisa dikuantifikasi sebagai pengeluaran, tetapi dapat menyebabkan seseorang miskin. 

PRAKARSA adalah lembaga think tank yang befokus di isu kebijakan sosial, ekonomi & finansial, dan pembangunan berkelanjutan. Sejak 2011 – 2021, PRAKARSA telah melakukan kajian mengenai Indikator Kemiskinan Multidimensi (IKM) di level nasional maupun 34 provinsi. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.