
Penulis : Prisma Ardianto
JAKARTA, investor.id – Tiga lembaga pemikir terkemuka—Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dan The Prakarsa—menyatakan bahwa gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah mencerminkan kegagalan fundamental dalam pengelolaan ekonomi. Ketiga lembaga ini mendesak pemerintah untuk segera melakukan reformasi fiskal yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.
“Gelombang demonstrasi yang terjadi mencerminkan kegagalan fundamental dalam pengelolaan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia,” ungkap Core Indonesia, Indef, dan The Prakarsa dalam pernyataan resmi bersama pada Senin (1/9/2025).
Mereka menyebut kegagalan tersebut terjadi akibat kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat dan perlindungan pekerja, yang justru memperlebar kesenjangan ekonomi. Ada beberapa indikasi kuat yang menjadi pemicu gelombang protes.
Pertama, pajak yang memberatkan rakyat. Di saat banyak pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akibat pemangkasan transfer dari pemerintah pusat, anggota DPR justru dirancang menerima tunjangan perumahan yang sangat besar.Advertisement
Kedua, prioritas fiskal yang keliru. Sebagai gambaran, anggaran Kepolisian pada 2026 dirancang mencapai Rp 145,65 triliun (naik dari Rp 138,54 triliun pada 2025), melampaui anggaran Kementerian Kesehatan sebesar Rp 114 triliun (naik dari Rp 86,08 triliun). Selain itu, alokasi (pertumbuhan) anggaran pendidikan yang dikurangi untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan rendahnya komitmen pada substansi pendidikan.
“Alokasi MBG tersebut juga berpengaruh pada pemangkasan dana riset, yang selanjutnya menyebabkan iklim pembuatan kebijakan berisiko dibuat mengabaikan data dan bukti ilmiah yang kuat (evidence-based),” jelas tiga lembaga think-tank itu.
Ketiga, krisis di sektor ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran Indonesia masih tertinggi di Asean (5,2%), dan 59% pekerja berada di sektor informal tanpa perlindungan memadai. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga kian menggulung.

Saat ini terdapat sekitar 4,6 juta pekerja di platform digital, termasuk pengemudi ojek online (ojol), dengan rata-rata penghasilan hanya Rp 2,5 juta per bulan dan baru 12% yang tercakup jaminan sosial ketenagakerjaan. Meninggalnya seorang pengemudi ojek online saat demo membuka tabir rapuhnya perlindungan bagi pekerja rentan.
“Tragisnya, meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang dilindas kendaraan taktis atau rantis Brimob, menjadi simbol rapuhnya perlindungan terhadap pekerja prekariat sekaligus kegagalan negara merespon kondisi struktural yang mereka hadapi,” beber Core Indonesia, Indef, dan The Prakarsa.
Keempat, gelombang demonstrasi dalam beberapa hari belakangan ini juga disebabkan pemerintah memilih respons yang represif terhadap protes, alih-alih membuka dialog dan mengatasi akar masalah struktural ekonomi. Pendekatan semacam ini hanya akan memperburuk citra pemerintah.
Atas dasar itu dan guna mencegah semakin buruknya kondisi tersebut, Core Indonesia, Indef, dan The Prakarsa mendesak pemerintah bersama dengan DPR segera mengatasi kondisi genting saat ini. Mereka melontarkan lima tuntutan kepada pemerintah dan DPR.
5 Tuntutan
Tuntutan pertama, menjalankan keadilan fiskal dan transparansi anggaran. Dalam hal ini, pemerintah harus menerapkan moratorium kenaikan pajak (seperti PPN dan PBB), memberlakukan pajak kekayaan pada kelompok super kaya, merevisi kebijakan pemotongan transfer ke daerah (TKD), dan melibatkan publik dalam proses perencanaan anggaran (participatory budgeting).
Kedua, menuntut pemerintah melakukan reorientasi belanja negara. Realokasi anggaran yang tidak produktif (seperti tunjangan pejabat dan belanja militer) ke sektor produktif yang menciptakan lapangan kerja, seperti pendidikan, kesehatan, dan riset. Termasuk mengevaluasi kenaikan anggaran pertahanan sebesar 35% menjadi Rp 335,2 triliun.
Sementara efisiensi anggaran diarahkan untuk menstimulasi konsumsi dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja berkualitas, bukan sekadar penghematan. Reorientasi belanja juga ditujukan terkait dengan anggaran MBG dan Koperasi Merah Putih agar digeser ke bansos tunai untuk warga miskin dan tidak mampu.
Tuntutan ketiga, memberikan perlindungan komprehensif kepada pekerja dan masyarakat terdampak aktivitas bisnis. Melalui tuntutan ini, Core Indonesia, Indef, dan The Prakarsa meminta pemerintah mengembangkan kerangka kerja yang menjamin upah, jam kerja, dan keselamatan. Pemerintah juga didesak untuk mempercepat regulasi perlindungan pekerja platform digital dan mengintegrasikan mereka secara luas ke dalam skema BPJS.Advertisement
Keempat, pemerintah dituntut untuk mengoreksi arah ekonomi. Di sini, pemerintah diminta untuk mengalihkan fokus dari ekonomi sentralistik dan ekstraktif menuju ekonomi kerakyatan dan demokratis yang menciptakan lapangan kerja formal dan layak.

Kebijakan lain yang diharapkan dari koreksi arah ekonomi ini yaitu, menstimulasi sektor riil dengan mengurangi dominasi ekonomi informal dan realokasi investasi dari sektor ekstraktif yang merusak lingkungan menuju industri berkelanjutan.
Tuntutan kelima, mengedepankan akuntabilitas dan transparansi kebijakan. Pemerintah dituntut membangun kembali kepercayaan publik melalui transparansi kebijakan fiskal dan mengevaluasi RAPBN 2026 secara menyeluruh dengan partisipasi publik. Ini dimaksudkan guna memastikan alokasi anggaran benar-benar berpihak kepada kesejahteraan rakyat.
“Kami menekankan bahwa stabilitas sosial-ekonomi hanya dapat tercapai melalui kebijakan fiskal yang responsif dan berkeadilan. Pemerintah harus memahami bahwa investasi pada kesejahteraan rakyat, bukan pada aparatur koersif, adalah kunci pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tulis ketiga lembaga think-tank tersebut.
Core Indonesia, Indef, dan The Prakarsa menambahkan bahwa republik ini membutuhkan kepemimpinan yang berani mentransformasi prioritas anggaran, dari logika koersif menuju investasi produktif berkelanjutan. Sebab, hanya dengan fondasi ekonomi yang berkeadilan, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita kemakmuran bersama–yang merupakan hakikat sejati sebuah republik.
Sumber: Investor.id