Cukupkah Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen?

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (SHUTTERSTOCK/THAPANA_STUDIO)

Oleh: Setyo Budiantoro (Peneliti Senior The PRAKARSA)

INDONESIA baru saja mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11 persen pada kuartal pertama 2024. Angka yang menunjukkan kemajuan dan stabilitas ekonomi di tengah turbulensi ketidakpastian global.

Namun, pertumbuhan ini sebenarnya menyembunyikan kompleksitas lebih dalam dan memunculkan pertanyaan kritis: Apakah angka ini benar-benar mencerminkan kemajuan dan kesejahteraan nasional yang sejati?

Meskipun banyak pihak merayakan angka ini sebagai pencapaian besar, analisis lebih mendalam akan mengungkapkan realitas yang lebih beragam.

Produk Domestik Bruto (GDP), yang telah lama menjadi barometer utama pertumbuhan ekonomi global, kini semakin dipertanyakan sebagai ukuran terbaik untuk menilai kesehatan sejati ekonomi di dunia yang semakin menuntut keadilan sosial, inklusivitas dan keberlanjutan.

GDP, dengan segala kegunaannya, tidak mengukur faktor-faktor penting seperti distribusi kekayaan, kualitas lingkungan hidup, ketimpangan sosial, dan kesenjangan pendapatan. Ini menimbulkan perdebatan tentang seberapa jauh angka pertumbuhan ekonomi benar-benar mencerminkan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

Meskipun terjadi pertumbuhan signifikan, kemajuan ekonomi yang tinggi bisa terjadi, sementara masalah seperti kemiskinan tetap bertahan atau bahkan meningkat.

Wilayah yang dihela pertumbuhan ekonominya hanya dengan eksploitasi sumber daya alam, terkadang menunjukkan hal tersebut.

Di banyak kasus, pertumbuhan ekonomi yang cepat juga tidak selalu disertai dengan penciptaan lapangan kerja memadai, yang berarti bahwa tidak semua lapisan masyarakat mendapatkan kesempatan sama untuk berkontribusi dan memanfaatkan hasil pertumbuhan tersebut.

Lebih jauh lagi, pertumbuhan yang tidak diatur dengan baik dapat menyebabkan kerusakan lingkungan parah. Pada akhirnya dapat mengurangi kualitas hidup dan menimbulkan biaya sosial dan ekonomi jangka panjang yang tinggi.

Konsep “Beyond GDP” muncul sebagai advokasi untuk penggunaan indikator yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk mengukur pembangunan dan kemajuan.

Konsep ini didasarkan pada pengakuan bahwa keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan harus diperhitungkan untuk memberikan gambaran lebih akurat tentang kesejahteraan negara.

Ini mendapat momentum sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk model pertumbuhan yang lebih bertanggung jawab, inklusif dan berkelanjutan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diadopsi oleh PBB pada 2015 mencakup serangkaian target luas yang dirancang untuk mengatasi berbagai tantangan pembangunan yang saling terkait, seperti kemiskinan ekstrem, kesenjangan, krisis iklim, dan kehilangan keanekaragaman hayati.

SDGs tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga meliputi aspek kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial, memberikan jawaban untuk pendekatan pembangunan yang lebih holistik.

Beberapa negara, termasuk Kanada dan Perancis, telah mengadaptasi strategi pembangunan mereka untuk menyelaraskan dengan SDGs.

Kanada, misalnya, telah meluncurkan strategi nasional untuk Agenda 2030 yang tidak hanya berkomitmen untuk memenuhi kewajiban internasionalnya, tetapi juga untuk memperbaiki kesejahteraan ekonomi, sosial, dan lingkungan penduduknya secara holistik.

Ini menunjukkan bagaimana SDGs dapat digunakan sebagai alat ukur yang lebih representatif dan adil dalam menilai kemajuan dan pembangunan negara.

Indonesia telah mengintegrasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke dalam kerangka kebijakan nasional melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang diterapkan sampai ke tingkat daerah dan desa.

Dengan menerapkan indikator yang lebih komprehensif untuk mengukur kemajuan sejati—yang tidak hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mencakup peningkatan kualitas hidup, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan—Indonesia berusaha mengembangkan model pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Mengutip John Maynard Keynes, “Kesulitan terbesar bukanlah dalam menerima ide baru, tetapi dalam melepaskan yang lama.” Dalam konteks ini, kita ditantang untuk merenungkan dan mengubah cara kita mengukur kemajuan secara lebih holistik dan bermakna.

Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi 5,11 persen patut diapresiasi. Namun, penting untuk melihat lebih dalam dan menilai kualitas pertumbuhan tersebut serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan, Indonesia tidak hanya akan mampu mencapai pertumbuhan lebih inklusif dan berkelanjutan, tetapi juga memastikan kemajuan tersebut dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, sekarang dan di masa yang akan datang.

Editor : Sandro Gatra
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Cukupkah Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen?”, Klik untuk baca: Kompas.com.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.