Dialog Agama Melalui Praksis SDGs

Ilustrasi: KOMPAS/HERYUNANTO

Oleh: Setyo Budiantoro (Peneliti Senior The PRAKARSA)

Kunjungan Paus Fransiskus pada awal September 2024 merupakan momentum strategis untuk meningkatkan peran agama dalam praksis pembangunan berkelanjutan. Ini juga meomentum untuk memperkuat soft power Indonesia di kancah global melalui leading by example.

Sebagai pemimpin agama yang diakui dunia atas dedikasinya, Paus menghadirkan pesan mendalam untuk mendengarkan rintihan Ibu Bumi (listen to the cry of Mother Earth) dan merasakan kemanusiaan yang terluka hebat. Ini direalisasikan melalui beberapa inisiatifnya, termasuk penerbitan ensiklik Laudato Si’ dan Fratelli Tutti, serta inisiatif Economy of Francesco yang mengajak dunia menginisiasi era baru ekonomi berbasis solidaritas dan keadilan sosial, dengan menekankan pentingnya transformasi lingkungan melalui ”pertobatan ekologis”.

Pada pembukaan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2015, Paus Fransiskus menyampaikan dukungan peluncuran Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati 193 negara. Ia menyatakan bahwa SDGs adalah sebuah harapan baru dunia (an important sign of hope).

Baca juga: Panggilan Pertobatan Laudato Si

Paus juga menjadi perintis perjanjian Abu Dhabi dengan Imam Besar Al Azhar, Sheikh Ahmed El-Tayeb, yang menegaskan pentingnya perdamaian antar-agama dan persahabatan manusia yang selaras dengan Tujuan 16 dan 17 SDGs.

Dalam dinamika global yang tak menentu, makin penuh konflik, kecurigaan, dan bahkan kebencian, kedatangan Paus Fransiskus bukan hanya berharga bagi umat Katolik di Indonesia. Spotlight dunia juga perlu diarahkan pada negeri ini, sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar serta memiliki begitu banyak perbedaan suku dan agama, tetapi bersatu dalam ikatan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Serta, bagaimana dalam perbedaan bekerja sama melaksanakan SDGs, termasuk menghadapi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim.

Di Indonesia, upaya ini juga dapat dilihat melalui pendekatan unik yang dilakukan institusi agama dalam menelaah kesesuaian filosofi dan ajarannya dengan SDGs.

17 poin tujuan pembangunan berkelanjutan.
PRADIPTA PANDU17 poin tujuan pembangunan berkelanjutan.

Fikih SDGs

Komitmen kalangan Muslim di Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan membawa terobosan dunia, dengan adanya fikih SDGs. Fikih tersebut disusun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Dalam buku fikih tersebut, Ketua Umum PB NU KH Yahya Cholil Tsaquf menyampaikan pandangan Islam yang juga menjadi jantung SDGs, yaitu tentang keberlanjutan dan keadilan lintas generasi.

Diuraikan, konsep kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam Islam tidak hanya untuk manusia, tetapi seluruh makhluk (mashalih al-ibad). Kemaslahatan yang harus diperhatikan tidak hanya ”kemaslahatan saat ini” (maslahah dunyawiyyah), tetapi juga ”kemaslahatan masa mendatang” (maslahah ukhrawiyah).

Lebih lanjut, fikih zakat untuk SDGs juga telah disusun Baznas, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Agama, UIN Syarif Hidayatulah, dan Filantropi Indonesia. Buku fikih tersebut menjelaskan bahwa kesempurnaan Islam seseorang baru tercapai setelah dia mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya, baik sebagai ibadah wajib (zakat) maupun derma sosial. Juga dibahas secara mendalam, bagaimana zakat dapat dikelola untuk pelaksanaan 17 Tujuan SDGs.

Kedermawanan Indonesia sangat tinggi dan potensi zakat sangat besar, mencapai Rp 327 triliun per tahun. Ini belum memperhitungkan wakaf sebesar Rp 180 triliun per tahun. Artinya, potensi filantropi berbasis Islam mencapai lebih dari Rp 500 triliun per tahun, belum lagi ditambahkan dari agama lain berupa perpuluhan, kolekte, dana punia, dan dana kebajikan. Tak mengherankan, Indonesia selama lima tahun berturut-turut menjadi negara paling dermawan dunia menurut Charities Aid Foundation (CAF).

Komitmen kalangan Muslim di Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan membawa terobosan dunia, dengan adanya fiqih SDGs.

Tri Hita Karana

Dalam pandangan kosmologis masyarakat Hindu di Bali, Tri Hita Karana menjadi falsafah hidup yang menjadi prinsip terciptanya kebahagiaan. Prinsip itu adalah hubungan harmonis antara manusia dan sesamanya, manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan (dimensi spiritual). Pandangan holistik dan multidimensi Tri Hita Karana sangat berkontribusi dalam memaknai SDGs.

Dari keseluruhan 17 Tujuan SDGs, disusun sesuai ”Tiga Kebahagiaan” yang mencerminkan prinsip Tri Hita Karana. Ini meliputi harmoni antara manusia (SDGs 1 sampai 10), yang menyoroti keadilan dan kesejahteraan sosial; keberlanjutan ekologis (SDGs 11 sampai 15), yang menekankan pada pelestarian dan perlindungan lingkungan; serta harmoni spiritual (SDGs 16 dan 17), yang mempromosikan perdamaian dan kemitraan.

Struktur itu membentuk apa yang disebut Piramida Kebahagiaan SDGs. Falsafah Tri Hita Karana membuka cakrawala pemikiran, pencapaian SDGs perlu dimaknai sebagai pemahaman holistik keseimbangan dan harmoni yang berakar dalam setiap aspek kehidupan.

Dalam perjalanannya, filosofi Tri Hita Karana beresonansi dalam skala dunia dengan dimensi makin kompleks yang menginspirasi adanya Tri Hita Karana Roadmap for Blended Finance. Platform tersebut didukung Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), beberapa negara, serta lembaga keuangan internasional sebagai panduan peta jalan pembiayaan SDGs.

Inilah yang turut mendukung modalitas Indonesia menghasilkan komunike blended finance dalam Development Working Group G20, serta pendirian Global Blended Finance Alliance dalam pertemuan G20 di Bali.

Diskusi panel dalam rangka mengenalkan program terbaru pemerintah bernama SDGs Indonesia One di pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali, Kamis (11/10/2018). Program pembiayaan dengan skema <i>blended finance</i> itu dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur.
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWANDiskusi panel dalam rangka mengenalkan program terbaru pemerintah bernama SDGs Indonesia One di pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali, Kamis (11/10/2018). Program pembiayaan dengan skema blended finance itu dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur.

Dialog agama melalui praksis

Dari uraian di atas, agama-agama di Indonesia memiliki filosofi yang sejalan dengan SDGs. Pada tataran operasional, berdasarkan pengalaman penulis memfasilitasi pelaksanaan dan pemetaan SDGs, institusi keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Walubi, Permabudhi, dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), terutama berfokus pada kesehatan dan pendidikan (SDGs 3 dan 4).

Organisasi yang lebih besar, jaringan lebih luas, dan sumber daya lebih besar cenderung menargetkan tujuan SDGs lebih beragam. Namun, meskipun mempunyai tujuan yang relatif sama dan inklusivitas adalah salah satu prinsip SDGs, kerja sama antarinstitusi keagamaan dalam pelaksanaan SDGs masih terbatas. Kolaborasi yang signifikan biasanya hanya bersifat insidentil dan ketika terjadi bencana.

Dalam konteks ini, kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia membuka peluang berharga untuk memperkuat kerja sama antaragama yang lebih strategis dalam praksis untuk mempercepat pencapaian SDGs di Indonesia. Ini penting tidak hanya bagi negeri ini, tetapi juga berfungsi sebagai sumber inspirasi dan model bagi dunia yang kini menghadapi tantangan kemanusiaan, konflik, dan lingkungan yang hebat.

Baca juga: Agama dan Perdamaian Global

Selain itu, sebagai inisiator pembentukan Religion 20 (R20) dalam Presidensi G20 dua tahun lalu, Indonesia berhasil mengumpulkan pemimpin agama dari berbagai belahan dunia berdialog mengenai peran agama dalam menghadapi tantangan global. Keberhasilan ini menuntut tanggung jawab moral dan pembuktian bahwa Indonesia telah walk the talk dengan mewujudkannya dalam karya nyata di dalam negeri. Langkah ini sangat penting untuk menjaga dan memperkuat kredibilitas Indonesia di panggung internasional.

Oleh karena itu, dengan memanfaatkan platform R20 dan kehadiran Paus Fransiskus, Indonesia berada dalam posisi unik untuk menunjukkan kepemimpinan global yang tidak hanya inspiratif, tetapi juga memberi dampak nyata. Hal ini tidak hanya akan mengukuhkan posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam pelaksanaan SDGs, tetapi juga menegaskan kembali pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam membentuk masa depan lebih cerah bagi umat manusia dan planet Bumi.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id dengan judul “Dialog Agama Melalui Praksis SDGs”. Klik untuk membacakompas.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.