Dialog Kebijakan: Upaya Mewujudkan Keadilan Pajak Global

Jakarta, The PRAKARSA The PRAKARSA bersama INDEF menyelenggarakan Policy Dialogue bertajuk “Asia Pacific Contribution on International Tax System: Current UN Tax Convention Negotiation and Beyond”. Diselenggarakan di Hotel DoubleTree, Jakarta, pada Kamis (25/9/2025). Kegiatan ini diselenggarakan sebagai wadah diskusi terbuka mengenai keadilan pajak regional serta memperkuat peran dan keterlibatan dalam proses internasional, khususnya UN Tax Convention, demi tercapainya sistem pajak global yang lebih adil.

Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA dalam sambutan pembukanya mengungkapkan, “Kita memiliki momentum bersejarah melalui inisiatif PBB untuk merumuskan Konvensi Kerangka tentang Kerja Sama Pajak Internasional. Ini adalah pergeseran penting dari dominasi OECD menuju pendekatan multilateral yang lebih inklusif. Momentum ini bukan hanya relevan bagi negara-negara Asia Pasifik, tetapi juga bagi seluruh dunia untuk membangun sistem perpajakan yang lebih adil dan setara. Dialog ini menjadi ruang penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk berbagi pengalaman, memperkuat kerja sama regional, serta mendorong transparansi demi kebijakan perpajakan yang progresif dan berpihak pada masyarakat.”

Riset terbaru The PRAKARSA tentang dinamika rasio pajak di Indonesia, Thailand, dan Vietnam, telah melakukan berbagai reformasi perpajakan dengan fokus pada penyesuaian Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Penghasilan Badan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, hal itu masih belum mampu meningkatkan angka rasio pajak karena adanya tantangan berupa tingginya tingkat informalitas ekonomi, ketimpangan dalam efektivitas redistribusi pajak, serta ketergantungan pada basis pajak yang sempit.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Bintang Aulia Lutfi, Ekonom The PRAKARSA, menekankan perlunya reformasi pajak yang inklusif dan berbasis digital. “ASEAN perlu memperluas basis pajak secara proporsional, memperkuat kepatuhan dengan teknologi, meninjau ulang insentif, serta mengembangkan instrumen baru seperti pajak digital dan karbon. Langkah ini penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, efisien, dan mendukung pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.

Roby Rushandie, Ekonom The PRAKARSA, menilai Konvensi Pajak PBB membuka peluang besar untuk memperbaiki tata kelola perpajakan global. Menurutnya, inisiatif ini merupakan terobosan transformatif yang penting karena mengedepankan prinsip inklusivitas dan kesetaraan. “Konvensi ini menjamin partisipasi sipil, menerapkan mekanisme satu suara satu negara, serta memiliki legitimasi politik yang kuat karena lahir dari proses multilateral di bawah PBB” jelas Roby. Roby berharap langkah ini mampu menjawab tantangan perpajakan global, termasuk mencegah praktik penghindaran pajak dan arus keuangan gelap baik oleh korporasi maupun individu super kaya.

Mekar Satria Utama, Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI, yang juga hadir sebagai pembicara dalam acara ini menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia menyambut positif dan mendukung penuh inisiatif Konvensi Pajak PBB sebagai langkah menuju tata kelola perpajakan global yang lebih inklusif dan adil. Indonesia menekankan pentingnya pengakuan atas hak pemajakan berbasis sumber (source-based taxation) serta partisipasi ekonomi digital dalam kerangka konvensi, khususnya melalui penerapan konsep significant economic presence untuk memastikan keadilan bagi negara berkembang.

“Selain itu, Indonesia mendorong mekanisme penyelesaian sengketa yang memperhatikan kesenjangan kapasitas antarnegara, dengan tetap menghormati kedaulatan hukum nasional dalam penyelesaian sengketa domestik,” ungkap Mekar.

Komisi Independen untuk Reformasi Perpajakan Internasional (ICRICT), Kim Jacinto Henares pada kesempatan ini juga menegaskan pentingnya UN Tax Convention sebagai tonggak baru keadilan fiskal global. Ia menyoroti perlunya pajak minimum global, aturan pajak digital berbasis Significant Economic Presence, serta pajak kekayaan bagi individu super kaya.

“PBB memberi kita kesempatan untuk memperbaiki masalah bersama. Kita harus melangkah lebih jauh agar kita bisa melindungi negara kita. Ada begitu banyak pendapatan yang bisa kita dapatkan, tetapi kita harus berjuang untuk kebaikan kita sendiri” ujar Kim.

Sementara itu Imaduddin Abdullah, Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, mengungkapkan pentingnya kolaborasi masyarakat sipil dalam mendukung dan memastikan Konvensi Pajak PBB selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan dan untuk kepentingan masyarakat luas.

“Konvensi Pajak PBB adalah kesempatan bagi negara-negara berkembang Asia Pasifik untuk melakukan kolaborasi regional dan menjalankan beberapa target-target yang telah diusulkan. Political will dan bagaimana ini bisa diimplementasi, yang mana standar di level global disepakati berbagai pihak sehingga menjadi standar yang disepakati bersama, kata kuncinya adalah kolaborasi,” jelas Imad.

Jason Ward, Principal Analyst Center for International Corporate Tax Accountability and Research (CICTAR), Australia juga turut mempertegas pernyataan-pernyataan yang telah dilontarkan sebelumnya. Jason menjelaskan bahwa pentingnya menekankan keadilan pajak dalam menjaga stabilitas masyarakat.

“Pemerintah di tingkat nasional maupun regional perlu menunjukkan bahwa sistem perpajakan bekerja dengan baik. Saat perusahaan-perusahaan terbesar di dunia terus meraup keuntungan yang luar biasa besar dengan margin laba yang semakin meningkat serta individu-individu berpenghasilan sangat tinggi mampu menghindari kewajiban melalui skema bebas pajak maupun struktur trust yang dapat melemahkan basis kepercayaan publik dan menimbulkan keresahan sosial. Jika kita ingin memiliki masyarakat demokratis yang stabil, maka negara harus mampu mengumpulkan pendapatan yang cukup untuk membiayai layanan sosial, layanan publik, serta infrastruktur yang kita semua butuhkan untuk mendorong masa depan negara yang lebih berkeadilan,” ungkap Jason.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.