FPBI Dorong Reformasi Sistem Perpajakan yang Lebih Adil dan Transparan

Jakarta, The PRAKARSA – Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI) menggelar diskusi bertajuk “Proposal Kebijakan Pajak Berkeadilan: Reformasi Kelembagaan, Basis Pajak, dan Redistribusi”. Kegiatan ini juga menandai diluncurkannya white paper sebagai bentuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem perpajakan Indonesia yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan. Bertempat di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Jakarta, pada Selasa (27/05/2025).

Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif The PRAKARSA sekaligus Koordinator FPBI, menekankan pentingnya reformasi kelembagaan dan perluasan basis pajak sebagai langkah fundamental untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.

“Reformasi kelembagaan sangat penting. Kalau kita mau reformasi yang lebih fundamental, maka institusional reform itu harus kita lakukan, dan diejawantahkan dalam bentuk lembaga penerimaan negara, sebagaimana menjadi agenda Presiden Prabowo. Jika ini dilakukan, akan langsung berdampak pada perbaikan perpajakan Indonesia,” tuturnya.

Menurutnya, pembenahan kelembagaan menjadi kunci untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien dan akuntabel. Ia juga mendorong agar reformasi ini sejalan dengan visi pemerintahan saat ini.

Selain reformasi kelembagaan, Maftuchan juga menyoroti pentingnya memperluas basis pajak serta masalah redistribusi pajak untuk kesejahteraan rakyat. Ia menegaskan bahwa perluasan basis pajak harus diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang adil, sehingga manfaat dari penerimaan pajak dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok yang paling membutuhkan.

Terkait perluasan basis pajak, Yenti Nurhidayat dari Pusat Kanjian Hukum dan Anggaran Indonesia (PUSKAHA) dalam paparannya menyampaikan bahwa ada 2 persoalan besar dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pertama, kebijakan perpajakan. Kedua, terkait administrasi perpajakan.

Yenti Nurhidayat menyoroti bahwa postur perpajakan Indonesia masih sangat bergantung pada Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ia menjelaskan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, PPh berkontribusi lebih dari 49% terhadap total penerimaan perpajakan, dengan puncaknya mencapai 52,6% pada 2016. Sementara itu, PPN menyumbang minimal 33%, dengan kontribusi tertinggi sebesar 37,1% pada 2024. 

Menurut Yenti pemerintah belum optimal dalam memanfaatkan potensi pajak dari industri pertambangan dan orang super kaya. Meskipun sektor pertambangan menyumbang 8,78% terhadap PDB, penerimaan pajaknya hanya 2,49% pada 2023. Ia mengusulkan penerapan pajak produksi batu bara dan pajak laba mendadak (windfall tax) untuk meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, ia mengkritik belum adanya kerangka aturan untuk mengenakan pajak khusus bagi orang super kaya, padahal inisiatif ini telah dibahas dalam G20 Summit 2024.

Sebagai contoh, Yenti mengacu pada kebijakan Spanyol yang menerapkan pajak kekayaan (wealth tax) secara progresif. “Misalnya, kekayaan di atas ambang batas tertentu dikenakan tarif mulai dari 0,5% hingga 3,5%. Indonesia perlu mempertimbangkan instrumen serupa untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan keadilan fiskal. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada PPh dan PPN sekaligus mendorong kontribusi lebih besar dari kelompok berpenghasilan tinggi,” tuturnya.

Sementara itu, Lalu Hendri Bagus dari Transparency International Indonesia (TII) menembahkan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pajak merupakan fondasi utama untuk membangun sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan.

Dalam presentasinya, ia menyatakan bahwa memperkuat fiscal transparency dapat meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak (voluntary tax compliance) serta legitimasi kebijakan perpajakan. “Reformasi perpajakan tidak boleh berhenti pada pemungutan saja, kepercayaan publik dibangun ketika masyarakat melihat dana pajak digunakan secara bertanggung jawab,” ujarnya. 

Hendri juga mengidentifikasi sejumlah tantangan, seperti terbatasnya akses informasi fiskal, rendahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan anggaran, dan lemahnya mekanisme pengawasan alokasi dana negara. Ia juga menyoroti maraknya korupsi dan kesenjangan persepsi antara kontribusi pajak dengan manfaat yang dirasakan publik. “Tanpa transparansi dan partisipasi aktif masyarakat, upaya perluasan basis pajak tidak akan diimbangi dengan peningkatan tax morale,” tegasnya. 

Meskipun jumlah wajib pajak terdaftar meningkat 33% sejak 2020 menjadi 69,1 juta jiwa pada 2023, Hendri mencatat bahwa hal ini belum dibarengi dengan peningkatan kepercayaan terhadap institusi perpajakan. Ia menekankan perlunya langkah konkret, seperti penguatan mekanisme pengawasan dan keterbukaan informasi, untuk memastikan dana pajak dikelola secara akuntabel. “Peningkatan kuantitas wajib pajak harus sejalan dengan peningkatan kualitas tata kelola,” tandasnya.

Di akhir presentasi Hendri juga memaparkan berbagai rekomendasi FPBI dalam white paper berjudul “Agenda Reformasi Pajak: Jalan Menuju Keadilan Pajak dan Pemerataan Ekonomi”. Rekomendasi tersebut diantaranya pertama, pemerintah perlu melakukan transformasi digital sistem perpajakan dengan mengembangkan aplikasi berbasis mobile yang terintegrasi dengan sistem perbankan untuk memudahkan pelaporan, pembayaran, dan akses informasi real-time. Kedua, Indonesia harus aktif dalam negosiasi internasional, khususnya dalam perumusan UN Tax Convention, untuk meminimalkan praktik penghindaran pajak oleh individu super kaya dan korporasi global. Ketiga, peningkatan kapasitas SDM aparat pajak melalui pelatihan berkelanjutan sangat penting untuk menguasai teknologi dan kebijakan perpajakan terkini. 

Keempat, akuntabilitas aparat pajak harus ditingkatkan melalui audit internal berkala dan sistem penilaian kinerja yang transparan. Kelima, Kementerian Keuangan perlu menyusun rencana aksi reformasi pajak yang terukur dengan indikator kinerja jelas, selaras dengan tujuan pembangunan nasional. Keenam, revisi kebijakan tarif pajak progresif, termasuk pengenaan pajak kekayaan bagi individu berpenghasilan tinggi dan pengimbangan kenaikan PPN dengan perluasan basis pajak untuk kelompok super kaya, menjadi langkah krusial untuk menciptakan keadilan pajak. 

Ketujuh, partisipasi publik harus difasilitasi melalui forum konsultasi yang melibatkan masyarakat sipil, pelaku usaha, dan pakar dalam perumusan kebijakan perpajakan. Kedelapan, pembentukan satuan tugas khusus untuk penindakan penghindaran pajak, dilengkapi dengan teknologi mutakhir, akan memperkuat penegakan hukum. Kesembilan, transparansi data perpajakan harus ditingkatkan melalui pelaporan berkala tentang kinerja dan evaluasi kebijakan yang dapat diakses publik. Kesepuluh, sinergi antara Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Pusat Statistik perlu diperkuat untuk menyusun analisis kepatuhan pajak per sektor sebagai dasar pengambilan kebijakan berbasis data.

Forum Pajak Berkeadilan menegaskan bahwa reformasi pajak memerlukan kolaborasi multistakeholder, melibatkan pemerintah, DPR, sektor privat, akademisi, dan masyarakat sipil. Implementasi rekomendasi ini harus disertai pemantauan berkala untuk memastikan dampaknya terhadap keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Kami mengajak semua pihak untuk bersinergi mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. 

Forum Pajak Berkeadilan adalah koalisi masyarakat sipil yang berkomitmen mendorong kebijakan perpajakan yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Anggota FPBI diantanya The PRAKARSA, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Transparency International Indonesia (TII), Lokataru, Seknas FITRA, Celios, Puskaha, Aksi, Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Trend Asia.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.