Belum lama ini muncul sebuah terobosan baru dalam hal transportasi umum, yaitu ojek online yang bisa dipesan melalui ponsel pintar kita. Ojek online ini sangat berbeda dengan sistem ojek tradisional yang sudah ada sejak tahun 1960an. Pada ojek tradisional, harga harus disepakati antara penumpang dan pengemudi. Namun, ojek online menawarkan penggunaan tarif sesuai dengan jarak tempuh.
Sejak diperkenalkannya aplikasi ojek online “Go-Jek” pada tahun 2014, perusahaan ini mendominasi pasar ojek di perkotaan. Hal tersebut dipengaruhi dengan layanan dengan tarif relatif murah dan pengendara yang terdaftar. Para pelanggan dapat memesan ojek dan layanan lainnya melalui aplikasi di ponsel pintar mereka. Menurut Go-Jek (2017), saat ini ada sekitar 300 ribu supir Go-Jek, di kota-kota besar di Jawa dan Bali.
Keberadaan Go-Jek dan perusahaan aplikasi transportasi lain sejenis, seperti GrabBike Bike dan Uber di kota-kota besar cukup menimbulkan kontroversi. Masalah yang timbul, misalnya, perdebatan sampai kalangan pejabat tinggi yang sempat menyebabkan dibatalkannya salah satu peraturan Menteri Perhubungan terkait pelarangan aplikasi transportasi online yang disebabkan pemerintah belum mampu menyediakan transportasi massal yang cepat dan layak bagi warga. Alasan lain yang menjadi perdebatan, seperti penyerapan tenaga kerja juga digunakan walau banyak pendapat yang menyatakan bahwa pelanggan moda transportasi baru ini hanyalah pindahan dari penyedia transportasi publik yang sudah stabil ke penyedia yang lebih tidak teregulasi.
Terkait fenomena tersebut, terdapat penelitian dari Robbie Peters (antropolog dari University of Sydney) yang dilakukan pada awal tahun 2016 di beberapa kantong kemiskinan di Jakarta dan Surabaya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak diantara laki-laki berusia antara usia 18-60 tahun yang sebelumnya menganggur dan setengah menganggur telah menjadi pengemudi Go-Jek dalam enam bulan terakhir. Meskipun wajar bagi pekerja sektor informal untuk berganti-ganti pekerjaan ketika kesempatan yang lebih baik muncul, fenomena menjadi pengemudi Go-Jek cukup signifikan dilihat dari skala pergeseran dan waktu yang sangat cepat serta guncangan politik yang disebabkannya.
Perkumpulan Prakarsa juga telah melakukan survei cepat di wilayah sekitar Jabodetabek pada bulan Mei 2016 terhadap 250 responden pengemudi ojek online untuk menggambarkan profil mereka yang bekerja di sektor ini. Hasil sementara dari survei ini menunjukkan bahwa mereka yang tergabung menjadi pengemudi ojek online adalah laki-laki berusia 20 sampai 60 tahun dengan latarbelakang pendidikan mayoritas SMA, serta sebelumnya bekerja sebagai pekerja sektor informal dan formal yang sedang mencari pendapatan lebih baik.
Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, peneliti University of Sydney, Perkumpulan Prakarsa dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupaya melakukan penelitian mengenai para pekerja di sektor transportasi online di Jakarta dan Surabaya pada awal tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana isu perkembangan layanan ojek online sehubungan dengan isu ketenagakerjaan di kota- kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat persepsi warga komuter yang menggunakan jasa mereka. Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan argumen untuk mendorong kebijakan berbasis bukti dengan melihat tren transportasi online di Jakarta dan Surabaya.
Penelitian ini menghasilkan studi-studi kasus yang dilakukan dengan beberapa metode. Metode tersebut, antara lain wawancara, survei dan pengamatan terhadap pengemudi ojek, serta perbandingan praktik dan kondisi pekerja transportasi online yang sedang merebak. Penelitian ini juga dilakukan dengan mewawancarai konsumen transportasi tentang persepsi mereka mengenai penggunaan jasa transportasi ini serta wawancara dengan beberapa narasumber kunci yang penting.