Tokyo, The PRAKARSA – The PRAKARSA berkesempatan membagikan hasil penelitiannya mengenai isu Lansia di Indonesia pada kegiatan Asian Conference on Aging & Gerontology ke 10 di Tokyo, Jepang. Rabu (27/3/2024).
Victoria Fanggidae, Deputi Direktur The PRAKARSA dan Eka Afrina Djamhari, Research and Knowledge Manager The PRAKARSA pada sesi break out menyampaikan hasil penelitiannya mengenai “Hidup sendiri di masa Lansia: perlunya meningkatkan dukungan kelembagaan untuk mengurangi ketergantungan Lansia pada masyarakat di wilayah dengan sumber daya rendah.”
Victoria dan Eka menyampaikan bahwa pergeseran tren demografi Indonesia yang saat ini mulai menjadi Aging Population telah meningkatkan rasio ketergantungan. Artinya proporsi individu yang berpotensi bergantung pada dukungan penduduk usia kerja akan meningkat. Selain itu Victoria menambahkan, sayangnya 1 dari 10 penduduk Indonesia saat ini hidup dalam kemiskinan.
“Meskipun terdapat upaya terpadu dan berbagai intervensi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, namun tingkat kemiskinan di Indonesia masih relatif stagnan, sekitar 10% sejak tahun 2016,” ucap Victoria.
Tren demografi selanjutnya yang muncul adalah adanya peningkatan prevalensi individu lanjut usia yang berada di dalam keluarga. Pada tahun 2023, tiga dari setiap sepuluh rumah tangga kini memiliki Lansia sebagai bagian dari struktur keluarga mereka. Sedangkan pada tahun 2019, setidaknya dua dari setiap sepuluh rumah tangga memiliki anggota keluarga Lansia.
Tren-tren ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk mengatasi tantangan dan implikasi yang terkait dengan Aging Population di Indonesia.
Eka menyampaikan saat ini, berdasarkan data BPS (2022) terdapat sekitar 18 provinsi yang memiliki proporsi populasi Lansia yang lebih dari 10% dari total penduduknya. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar penduduk sedang bertransisi ke kelompok usia yang lebih tua.
Di sisi lain, dukungan kelembagaan seperti ketersediaan rumah perawatan Lansia masih terbatas. “Tidak ditemukan data pasti berapa jumlah seluruh rumah perawatan Lansia yang ada di Indonesia. Namun jika dilihat jumlah rumah perawatan milik pemerintah jumlahnya terbatas, ini menunjukkan bahwa Lansia di Indonesia memiliki ketergantungan terhadap lembaga dan inisiatif swasta,” imbuh Eka.
Padahal, sambung Eka, dominasi kepemilikan swasta juga mungkin menunjukkan standar pelayanan dan aksesibilitas yang berbeda-beda, khususnya bagi individu berpenghasilan rendah dan komunitas yang terpinggirkan yang mungkin tidak punya banyak pilihan.
Melihat permasalahan tersebut, Victoria menyampaikan sejumlah rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. “Untuk mengatasi permasalahan kurangnya lembaga perawatan Lansia, baik dari segi jumlah maupun kualitas – termasuk standarisasi tenaga kerja perawatan, maka pemerintah perlu berinvestasi secara signifikan dalam membangun fasilitas perawatan seperti panti werdha atau panti jompo, terutama di daerah dengan jumlah Lansia yang lebih besar dan angka kemiskinan yang tinggi. Selain itu, pemerintah juga perlu mengintegrasikan program dan layanan bantuan negara di fasilitas perawatan, khususnya milik negara,” tutup Victoria.