FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Perkumpulan Prakarsa, lembaga kajian di bidang kebijakan fiskal, kebijakan sosial, dan pembangunan berkelanjutan, kembali melakukan penghitungan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) untuk periode 2015-2018. Penghitungan ini menggunakan metode Alkire-Foster dan berbasis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari 2015 sampai 2018 dengan cara menghitung deprivasi pada dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup.
Tren jumlah penduduk miskin multidimensi di Indonesia mengalami penurunan signifikan pada periode 2015-2018 jika dibandingkan dengan periode 2012-2014. Penduduk miskin multidimensi turun drastis selama 4 tahun terakhir.
Penduduk miskin sebanyak 34 juta orang (2015), 30 juta orang (2016), 24,9 juta orang (2017), dan 21,5 juta orang atau hanya sekitar 8,17 persen (2018). Turunnya angka kemiskinan multidimensi sejalan dengan turunnya angka kemiskinan moneter bahkan lebih rendah.
Pada September 2018, angka kemiskinan moneter menunjukkan angka 25,67 juta orang (9,66 persen dari total penduduk Indonesia) yang merupakan angka terendah sejak krisis moneter pada tahun 1998.
“Capaian ini patut diapresiasi sebagai hasil kerja pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat dalam penurunan kemiskinan,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan, Kamis (11/4).
Hasil penghitungan IKM menunjukkan semua provinsi di Indonesia mengalami penurunan jumlah penduduk miskin multidimensi dimana rasio penduduk miskin terbanyak terkonsentrasi di pedesaan. Karakteristik kemiskinan multidimensi di Indonesia selama kurun waktu 2015-2018 didominasi permasalahan sanitasi, air minum tidak layak, dan bahan bakar memasak.
Berdasarkan wilayah, jumlah penduduk miskin multidimensi pada tahun 2018 tertinggi terdapat di Papua sebesar 60,56 persen (67,10 persen pada tahun 2015), Nusa Tenggara Timur sebesar 35,64 persen (49,35 persen pada tahun 2015) dan Papua Barat sebesar 32,66 persen (41,96 persen pada tahun 2015).
“Sedangkan jumlah penduduk miskin multidimensi terendah pada tahun 2018 terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 2,17 persen (3,18 persen pada tahun 2015), Jogjakarta sebesar 2,22 persen (4,70 persen pada tahun 2015) dan Jawa Tengah 3,74 persen (6,79 persen pada tahun 2015),” tambah Dwi Rahayu Ningrum, peneliti Perkumpulan Prakarsa. (JPC)
Sumber: Fajar.co.id