Jakarta, The PRAKARSA – Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN dengan potensi ekonomi yang besar, memiliki peran yang penting untuk memperkuat posisinya dalam kerangka pajak ASEAN dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
ASEAN Forum on Taxation (AFT) dibentuk dengan tujuan untuk terus memperkuat kerja sama internasional dalam meningkatkan transparansi perpajakan di kawasan. Melalui pertemuan di Luang Prabang – Laos, April 2024, negara-negara anggota ASEAN bersepakat untuk menyelesaikan perjanjian pajak bilateral dan memperkuat pertukaran informasi otomatis (AEOI). Langkah ini bertujuan untuk menekan penghindaran pajak dan meningkatkan iklim investasi di kawasan.
Meski langkah-langkah ini penting namun langkah ini dianggap belum cukup responsif terhadap dinamika global yang lebih kompleks. Prinsip OECD yang berfokus pada Base Erosion and Profit Shifting sering dianggap menemui jalan buntu, terutama karena prinsip-prinsipnya lebih menguntungkan negara maju. Kondisi ini menimbulkan penolakan dari Tiongkok dan India.
Farhan Medio Yudantyo, Peneliti The PRAKARSA menyatakan, meskipun inisiatif ini telah diterapkan secara bertahap di ASEAN, dampaknya bagi negara-negara berkembang tidak sepenuhnya optimal.
“ASEAN harus lebih proaktif dalam mengadopsi langkah-langkah yang tidak hanya mengikuti OECD, tetapi juga mempertimbangkan inisiatif yang lebih progresif dan adil seperti UN Tax Convention dalam kerjasama. Inisiatif PBB ini dapat membuka ruang bagi negara berkembang untuk lebih berperan dalam menentukan aturan perpajakan global yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujar Farhan.
Inisiatif UN Tax Convention menawarkan pendekatan yang lebih inklusif, memungkinkan partisipasi yang setara antara negara maju dan berkembang. Hal ini berbeda dengan OECD yang selama ini cenderung mendominasi pembahasan perpajakan global. ASEAN, sebagai kawasan dengan banyak negara berkembang, harus melihat peluang ini untuk memperjuangkan keadilan perpajakan di tingkat internasional.
Dalam konteks ini, langkah ASEAN yang mengadopsi BEPS Pilar 1 dan Pilar 2 untuk mengurangi penghindaran pajak perlu dikaji kembali. Pilar 1 bertujuan untuk memindahkan hak perpajakan dari negara dengan tarif pajak rendah ke negara tempat transaksi ekonomi terjadi. Sementara Pilar 2 menetapkan pajak minimum global sebesar 15% untuk perusahaan multinasional, justru akan menurunkan basis pengenaan pajak saat ini sebesar 22%.
Samira Hanim, Peneliti PRAKARSA menambahkan bahwa langkah tersebut masih menimbulkan keraguan mengenai seberapa efektif kebijakan ini dapat mengurangi penghindaran pajak oleh perusahaan besar ditengah keterbatasan kemampuan administratif perpajakan yang dialami negara berkembang di ASEAN dan justru mengurangi potensi pajak yang diterima.
“Tanpa pendekatan yang komprehensif, risiko penghindaran pajak tetap tinggi, dan keadilan redistribusi akan sulit dicapai. Tarif batas bawah 15% justru lebih rendah dibanding tarif di beberapa negara ASEAN sebelum kesepakatan ini, sehingga mengurangi potensi pajak yang dapat diterima. Penerapan BEPS Pilar 2 di ASEAN harus disertai dengan evaluasi yang lebih dalam, terutama terkait dampaknya untuk memobilisasi pendapatan negara”, kata Samira.
Beberapa negara ASEAN, seperti Indonesia, telah menyelesaikan perjanjian pajak bilateral dengan negara-negara anggota lain untuk menghindari pajak berganda. Langkah ini penting untuk meningkatkan iklim investasi di kawasan. Namun, agar lebih efektif, kebijakan ini harus didukung oleh pendekatan yang lebih luas dan progresif di tingkat internasional.
ASEAN Forum on Taxation (AFT) harus lebih responsif dalam menangkap momentum global untuk memastikan sistem perpajakan yang adil. Usaha ini akan memperkuat posisi ASEAN dalam menghadapi tantangan perpajakan global, termasuk penghindaran pajak dan aliran dana ilegal. Perluasan basis pajak baru yang menciptakan asas keadilan dan inklusivitas juga perlu menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan di ASEAN.
“AFT sebagai forum yang fokus pada transparansi dan kerja sama internasional, perlu terus mendorong negara-negara anggota untuk mengadopsi standar global yang lebih adil. Perpajakan yang lebih adil tidak hanya akan bermanfaat bagi negara-negara maju, tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan di kawasan ASEAN,” tutup Samira.