
- Penulis: Danur Lambang Pristiandaru
KOMPAS.com – Kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah masih belum selaras dengan tujuan lingkungan untuk menangani plastik yang ingin dicapai.
Temuan tersebut mengemuka berdasarkan studi terbaru lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The Prakarsa yang berjudul Plastik dan Ketidakadilan dalam Insentif Pajak yang dirilis pada 2 Desember 2024.
Saat ini, pemerintah memiliki tujuan untuk mengurangi limbah plastik melalui ekonomi sirkular dengan larangan plastik sekali pakai.
Beberapa daerah di Indonesia yang sudah resmi menerapkan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai melalui regulasi daerah.
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019, pemerintah menargetkan dapat mengurangi sampah plastik 30 persen pada 2029.
Untuk memuluskan target tersebut, produsen perlu menyusun, mengumpulkan, dan melaksanakan peta jalan untuk mencapai target pengurangan sampah.
Di sisi lain, The Prakarsa dalam studinya menyebutkan pemerintah masih memberikan sejumlah kebijakan insentif kepada industri plastik seperti tax holiday hingga 20 tahun dan pembebasan bea masuk bahan baku.
Kebijakan tersebut diambil untuk mendorong pertumbuhan industri dan meningkatkan daya saing di pasar global.
Imbasnya, kebijakan-kebijakan tersebut membuat produksi barang dari plastik virgin menjadi lebih murah dibandingkan plastik daur ulang.
Karena itu, produksi barang dari platik virgin menjadi lebih dominan karena harganya lebih kompetitif.
“Situasi ini berpotensi memperburuk polusi plastik dan menghalangi upaya pengelolaan limbah secara berkelanjutan,” tulis peneliti dalam studi tersebut, dikutip Selasa (11/2/2025).
Insentif pajak bagi industri plastik juga menimbulkan dampak finansial yang signifikan bagi pendapatan negara.
Potensi pendapatan pajak yang hilang dari insentif tersebut rata-rata mencapai 54 juta dollar AS atau sekitar Rp 810 miliar per tahun.
Kebijakan tersebut juga secara tidak langsung berkontribusi terhadap dampak eksternalitas negatif yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.
Merusak ekosistem
Plastik sendiri terbukti merusak ekosistem dan membahayakan kesehatan manusia karena menjadi bahan kimia berbahaya yang mencemari lingkungan.
Menurut The Prakarsa, kerugian ekonomi akibat polusi plastik diperkirakan mencapai 450 juta dollar AS atau Rp 6,75 triliun per tahun.
Sektor-sektor yang terdampak langsung dari polusi plastik seperti perikanan, transportasi, dan pariwisata, mengalami kerugian besar.
Beban ini menambah tekanan pada anggaran pemerintah yang harus dialokasikan untuk mitigasi dampak polusi, serta mengurangi kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak.
Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan mengatakan, plastik telah mencemari lingkungan secara signifikan.
Dia menambahkan, kerugian ekonomi akibat polusi plastik sangat signifikan dan menambah beban pada anggaran pemerintah.
“Insentif pajak yang diberikan pemerintah untuk alasan pertumbuhan ekonomi justru menciptakan eksternalitas negatif bagi lingkungan dan masyarakat,” tulis Maftuchan dalam pengantar studi tersebut.
***
Sumber: Kompas.com