Kebijakan KRIS BPJS, Waspada Hilangnya Peserta BPJS Menengah Atas

(Foto: MNC Media)

IDXChannel – Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana akan menghapus kelas perawatan yang terdapat di sistem BPJS kesehatan dan diganti menjadi kelas rawat inap standar (KRIS).

Namun, beberapa pengamat mengatakan adanya standardisasi kamar akan memiliki konsekuensi baik bagi peserta maupun manajemen keuangan rumah sakit.

Selama ini, rumah sakit bergantung pada sistem INA CBGs, yakni cara pembayaran yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dengan sistem paket yang dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, artinya suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai. Persoalannya, tarif INA CBGs ini belum naik sejak 2016.

Sementara, tarif iuran masih baru saja dinaikkan di mana pemerintah secara resmi telah menaikkan iuran BPJS Kesehatan sejak 1 Juli 2020. Untuk iuran kelas I ditetapkan sebesar Rp 150 ribu per bulannya. Sedangkan untuk kelas II ditetapkan sebesar Rp 100 ribu per bulan.

Adapun iuran kelas III ditetapkan sebesar Rp 42 ribu per bulan. Namun, masyarakat tetap membayar sebesar Rp 25.500 per bulan, karena adanya subsidi pemerintah Rp 16.500 per bulan.

Potensi Hilangnya Peserta BPJS Kesehatan Kelas Menengah Atas

Darmawan Prasetya, peneliti kebijakan sosial dari Perkumpulan Prakarsa menjelaskan, penetapan KRIS ini akan berpotensi menimbulkan kehilangan kepesertaan, terutama di kalangan kelas menengah atas.

“Masalahnya jika standarisasi juga turun, ada kemungkinan kelas menengah atas yang memang sengaja mengambil iuran kelas 1 tidak akan melanjutkan program BPJS nya karena menganggap manfaat BPJS flat,”kata Darmawan saat dihubungi tim IDX Channel, Jumat (3/3).

Menurut Darmawan, kelas menengah atas ini akan sulit bertahan dengan sistem standarisasi KRIS BPJS.

“Mereka mau ikut BPJS kan karena mau mendapat manfaat lebih, tidak perlu antri lama dan mendapat kamar yg lebih baik daripada kelas 2 atau 3. Harus ada sistem tambahan buat yang kelas menengah atas supaya mau bertahan pakai BPJS,”imbuh Darmawan.

Di sisi lain, BPJS Kesehatan mencatat aset bersih dana jaminan sosial (DJS) mengalami surplus Rp 56,51 triliun pada akhir 2022. Nilai itu setara 5,98 bulan dari estimasi pembayaran klaim ke depan.

Sebelumnya, berdasarkan laporan DJS kesehatan, BPJS sempat mengalami defisit sepanjang 2017 hingga 2019. Adapun defisit pada 2019 tercatat mencapai Rp17,4 triliun. Di tahun berikutnya pada 2020 BPJS mencatatkan surplus sebesar Rp45,36 triliun dan pada 2021 surplus sebesar Rp44,45 triliun.

Di lain pihak, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti pada pertengahan 2022 mengatakan terdapat tiga alasan mengapa BPJS Kesehatan tidak dalam kondisi defisit kembali pasca 2019.

Pertama, BPJS Kesehatan telah melakukan langkah untuk penguatan sistem kendali biaya dan mutu, termasuk di dalamnya mengenai deteksi fraud. Kedua, adanya penyesuaian tarif yang telah dilakukan sebelumnya. Ketiga, kondisi Covid-19 yang menyebabkan utilisasi turun, sehingga orang tidak datang ke rumah sakit jika tidak benar-benar membutuhkan.

Kontras, menurut Darmawan, masalah BPJS Kesehatan hari ini sudah tidak lagi pada tarif iuran. Menurutnya, anggaran BPJS selama ini bisa surplus karena adanya bantuan alokasi anggaran Covid-19 yang diatur secara khusus. Dampaknya dapat meringankan beban keuangan BPJS namun hanya bersifat sementara.

Tidak adanya kenaikan INA CBGs sejak 2016 juga menjadi persoalan. Padahal, alat kesehatan dan pengobatan selama ini juga telah terdampak adanya inflasi. Untuk itu, ia mengusulkan agar anggaran kesehatan harus dinaikkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Sampai sekarang anggaran INACBGs itu belum naik dari anggaran Kemenkeu. Pembiayaan kesehatan harus naik jika ingin sistem BPJS bertahan, proyeksinya kan sampai 2027 itu tidak akan naik sampai 5%, padahal standar universal health coverage (UHC) WHO, anggaran kesehatan minimal harus 5% dari PDB,”imbuhnya

Menurut Darmawan, BPJS defisit bukan serta merta salah manajemen. Pasalnya, karena sistem BPJS Kesehatan tidak diperbolehkan mencari untung.

“Udah ngga boleh cari untung, anggarannya juga ngga pernah dinaikkan,” pungkasnya. (ADF)

Sumber: idxchannel.com

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.