Elysium, sebuah film futuristik produksi tahun 2013, menggambarkan bagaimana kegagalan kebijakan sosial ekonomi pada akhirnya membelah umat manusia menjadi dua.
Di film itu, si kaya—kebanyakan berkulit terang—tinggal di habitat artifisial ruang angkasa berfasilitas mewah dengan sopan santun tinggi. Sementara si miskin, kebanyakan kulit berwarna, hidup di bumi yang kumuh, bak penampungan sampah raksasa dengan hukum rimbanya.
Laporan lembaga kemanusiaan Oxfam awal tahun ini, Wealth: Having it all and wanting more, memprediksi tren kesenjangan akan terus meningkat bila tidak ada intervensi pemerintah. Satu persen penduduk bumi akan menguasai 99 persen kekayaan, sebaliknya, 99 persen penduduk hanya akan memiliki 1 persen kekayaan pada tahun depan. Jika tren kesenjangan ini dibiarkan, mimpi buruk katastrofi imajiner Elysium bisa menjadi nyata.
Spicker (2006) menjelaskan, kesenjangan biasanya termanifestasi dalam pola kesenjangan hierarkis atau vertikal, yaitu kesenjangan pendapatan dan kekayaan, dan pola kesenjangan horizontal yang divisif. Pola kesenjangan itu karena perbedaan kelompok didasarkan atas kelas, ras, etnik, warna kulit, jender, umur, ataupun letak geografis.
Di Indonesia, kesenjangan vertikal ataupun horizontal masih jauh dari pembangunan yang inklusif. Kesenjangan vertikal meningkat, Rasio Gini mencapai 0,41 pada 2013. Bahkan, 0,43 di perkotaan, tertinggi dalam sejarah. Kekayaan 40 orang berpendapatan tertinggi setara 10 persen produk domestik bruto (PDB). Dalam era pertumbuhan ekonomi, kelompok pendapatan tertinggilah yang tumbuh paling cepat, kelompok menengah stagnan, dan yang paling bawah bahkan mengalami kontraksi.
Kesenjangan horizontal pun tak berubah sejak prakemerdekaan dalam banyak hal. Pada masa penjajahan, kesenjangan antara inlander, etnik Timur Jauh, dan penguasa kolonial serta turunan Eropa mengganggu rasa keadilan. Inlander minim akses, bahkan tidak ada akses sama sekali pada pendidikan, kesehatan ataupun sumber penghidupan, bahkan kesempatan bersuara.
Namun, setelah 70 tahun merdeka, negeri ini dinakhodai oleh kebijakan ekonomi yang memelihara dan bahkan memperparah kesenjangan. Sekitar 52 persen dana pihak ketiga perbankan saat ini ada di Jakarta, sedangkan daerah seperti Sulawesi Barat hanya 0,08 persen dan Maluku Utara 0,13 persen (OJK, 2015). Bunga kredit untuk nasabah premium bisa dinego, tetapi untuk pedagang kecil mencekik. Kelompok pendapatan rendah, menengah, dan atas membayar pajak pertambahan nilai yang sama saat membeli barang. Korporasi besar diberi keringanan pajak, tetapi UKM diimbau taat pajak.
Dalam Survei Barometer Sosial 2015 oleh INFID, responden menyebutkan ketimpangan penghasilan sebagai sumber ketimpangan terbesar. Hampir dua pertiga responden juga menyebutkan bahwa kesenjangan pendapatan antar-beberapa kelompok profesi ataupun jabatan sudah sangat tidak wajar.
Kebijakan transformatif
Kesenjangan di Indonesia tak hanya tampak dari kesenjangan pendapatan, tetapi juga dari konteks kesenjangan struktural. Kesenjangan struktural sering kali membandel dan sulit ditangani justru karena kesenjangan berbasis jender, warna kulit, disabilitas, suku, letak geografis, atau karakteristik kelompok lainnya tidak diakui sebagai hal yang signifikan atau tidak adil (Dani dan de Haan, 2008).
Kebijakan sosial untuk mengurangi kesenjangan harus bertujuan, pertama, kesetaraan perlakuan; misalnya dalam layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Kedua, kesetaraan dalam memperoleh kesempatan, tanpa berasumsi semua orang memiliki start yang sama: kelompok marjinal tidak memiliki modal awal sama sehingga butuh tindakan afirmatif. Ketiga, kesetaraan dalam capaian; dalam indikator-indikator, seperti harapan hidup, pendidikan, dan kesehatan.
Saat ini, Indonesia belum dalam kondisi ideal. Dari modal awal kualitas hidup, misalnya, kesenjangan karena letak geografis mencolok. Jika rata-rata anak Jakarta bersekolah sampai kelas VI SD, rekannya di Papua hanya sampai kelas II. Jika seorang dewasa di Jakarta hidup sampai 70 tahun, rekannya di Maluku Utara hanya sampai 63 tahun. Hampir seluruh penduduk Jakarta melek huruf, tetapi hanya tiga perempat penduduk Papua bisa baca-tulis. Kematian bayi dan anak balita di Papua empat kali lipat daripada Riau. Saat anak-anak Jakarta bercita-cita mau jadi apa, anak-anak Papua belum tentu bertahan hidup melewati masa balita.
Oleh karena itu, UNRISD (2010) menganjurkan kebijakan sosial harus bersifat transformatif sehingga, selain berupaya menciptakan pertumbuhan yang berkualitas dan berpusat pada penciptaan pekerjaan, juga mendobrak hambatan struktural. Artinya, hambatan karena jenis kelamin, suku, letak geografis, kelengkapan anggota tubuh untuk mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, jaminan sosial, dan sumber daya ekonomi harus ditiadakan. Kelompok yang selama ini ada di bawah marjin rata-rata populasi karena perbedaan karakteristik kelompok harus diakselerasi dengan berbagai kebijakan agar dapat memulai dari titik berangkat yang sama.
Keberhasilan Sri Lanka, Nepal, dan Kamboja dalam menekan angka kematian ibu adalah contoh kebijakan sosial bersifat transformatif dapat dilakukan dan relatif terjangkau untuk negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Mereka berhasil menjawab kesenjangan struktural, seperti jender, suku, dan letak geografis, dengan kebijakan sosial yang tepat.
Indonesia perlu mengambil haluan kebijakan sosial transformatif untuk tidak meneruskan jalur pembangunan yang senjang. Contoh di atas menunjukkan bahwa itu mungkin dilakukan. Dengan demikian, kita bergerak mencapai cita-cita pendiri bangsa: suatu equal society, masyarakat yang setara, bukan masyarakat yang terbelah seperti dalam film Elysium.
____________
*) VICTORIA FANGGIDAE, Manajer Riset pada Perkumpulan Prakarsa, Mitra Kerja INFID di Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul “Kebijakan Sosial yang Transformatif”.