Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan yang diklaim paling rendah sepanjang sejarah Indonesia yakni sebesar 9,82 persen. Pemerintah menyatakan keberhasilannya dalam menurunkan persentase penduduk miskin hingga tinggal satu digit.
Dalam berita Resmi Statistik BPS dinyatakan bahwa jumlah penduduk miskin mencapai 9,82 persen pada Maret 2018, berkurang dibandingkan pada September 2017 yang mencapai 10,12 persen. Tercatat sebanyak 633,2 ribu orang yang terdiri atas 128,2 ribu orang di perkotaan dan 505 ribu orang di perdesaan berhasil lepas dari label penduduk miskin.
Tentu saja, keberhasilan ini perlu diapresiasi sebagai hasil jerih payah semua pihak, baik pemerintah pusat-daerah-desa maupun aktor pembangunan non-pemerintah (LSM, swasta, ormas dan lain-lain.
Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa menyatakan bahwa apa yang dirilis BPS merupakan data pemerintah, artinya sebagai data resmi. Secara akademik atau metodologi dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan.
Namun, data tersebut masih melihat kemiskinan dari kaca mata ekonomi saja (satu dimensi), yakni dari sisi pengeluaran per kapita. Artinya, BPS mendefinisikan kemiskinan hanya dengan mengukur kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar. Konsep ini melihat bahwa penduduk dikatakan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
“Kita harus bergerak lebih maju, melampaui sekadar penurunan kemiskinan menuju penciptaan kesejahteraan yang lebih substantif. Kita harus membuat ukuran “kemiskinan relatif”, yakni ukuran yang dinamis dan mengacu pada standar kualitas hidup yang multi-dimensi misalnya dimensi kesehatan, pendidikan, perumahan, akses terhadap air bersih dan energi” kata Ah Maftuchan.
Sudah semestinya momentum capaian angka kemiskinan satu digit ini harus digunakan untuk melakukan lompatan-lompatan kebijakan yang lebih progresif dalam penurunan kemiskinan. Agenda pembangunan perlu dipertegas melampaui penurunan garis kemiskinan yaitu dengan menciptakan kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik. Agar dapat mengarah kesana, diperlukan sebuah konsep yang dapat melihat kemiskinan secara lebih holistik.
Pendekatan multi-dimensi dalam melihat kemiskinan akan membantu pemerintah dan pihak lain yang terlibat dalam agenda ini untuk bisa melihat kemiskinan yang mendekati kenyataan riil di lapangan. Upaya ini dapat membantu penyusunan kebijakan program yang lebih terukur dan sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh penduduk miskin.
Perkumpulan Prakarsa telah melakukan penghitungan Indeks Kemiskinan Multidimensi di Indonesia pada tahun 2012-2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan angka kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan multidimensi lebih besar dibandingkan dengan angka kemiskinan moneter. Sebagai contoh pada tahun 2014, Prakarsa menghitung penduduk yang miskin mencapai 29,7 persen, sementara angka kemiskinan moneter tercatat hanya 11,3 persen. Hal ini menunjukkan terdapat gap penduduk miskin yang tidak terpotret oleh pemerintah karena indikator penentuan penduduk miskin yang hanya satu dimensi.
Oleh karenanya, pemerintah perlu mulai melakukan penghitungan kemiskinan secara multidimensi tidak hanya dari sisi pemenuhan kebutuhan dasar. Mengingat bahawa hal ini bukan hanya tugas pemerintah, kami Perkumpulan Prakarsa, sebagai bagian dari masyarakat sipil siap membantu jika pemerintah memerlukan dalam penyusunan Indeks Kemiskinan Multidimensi.
Ah Maftuchan juga menambahkan bahwa untuk percepatan kesejahteraan, pemerintah harus segera memperkuat program sosial semisal basic income, padat karya, jaminan kesehatan semesta sekaligus mendorong pembangunan SDM sehingga dapat menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan pendapatan.