Kemiskinan Turun, Ketimpangan Melebar

Tenda-tenda semi permanen dengan latar gedung-gedung bertingkat di Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (2/6). Penanganan ketimpangan ekonomi perlu menjadi agenda prioritas pemerirntah. Peningkatan ketimpangan dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 02-06-2016

Oleh: Setyo Budiantoro – Peneliti Senior The PRAKARSA

Pertumbuhan ekonomi memungkinkan lebih banyak orang keluar dari kemiskinan, tetapi keuntungan terbesar tetap dinikmati mereka yang sudah berada di puncak piramida.

Kabar baik sering datang dengan catatan kaki yang muram. Pada September 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat kemiskinan Indonesia 8,57 persen, titik terendah dalam sejarah. Lebih dari satu juta orang berhasil keluar dari kemiskinan dalam waktu enam bulan.

Di tengah ketidakpastian global dan dampak ekonomi pascapandemi, pencapaian ini patut dirayakan. Namun, pertanyaannya, mengapa kesenjangan sosial justru melebar ketika angka kemiskinan menurun?

Rasio gini, indikator ketimpangan distribusi pendapatan, justru naik dari 0,379 pada Maret jadi 0,381 pada September. Angka ini, meski kecil, mencerminkan dinamika ekonomi yang jauh lebih kompleks.

Di kota besar seperti Jakarta, di mana rasio gini mencapai 0,431, ketimpangan terlihat mencolok. Menara apartemen mewah berdiri menjulang di atas permukiman kumuh, menjadi lambang kontras tajam dalam distribusi kesejahteraan.

Sementara itu, daerah perdesaan menunjukkan situasi yang lebih baik secara relatif, dengan rasio gini 0,308. Namun, tantangan di sana berbeda: kemiskinan absolut masih menjadi persoalan akut. Ini paradoks pembangunan yang sulit diabaikan: meski pertumbuhan ekonomi mengangkat banyak orang keluar dari kemiskinan, manfaatnya belum terdistribusi secara merata.

Meski pertumbuhan ekonomi mengangkat banyak orang keluar dari kemiskinan, manfaatnya belum terdistribusi secara merata.

Mengapa melebar?

Data BPS menunjukkan penurunan signifikan populasi kelas menengah. Dalam lima tahun terakhir, angkanya menyusut drastis lebih dari 10 juta orang, dari 57,33 juta (2019) menjadi hanya 47,85 juta (2024). Sebaliknya, kelompok rentan miskin—mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan—bertambah dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta.

Ini sinyal serius bahwa jutaan orang hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Mereka mungkin tak lagi terhitung sebagai miskin secara statistik, tetapi hidup jauh dari stabil.IklanIklan

Kenaikan biaya kebutuhan pokok, mulai dari pangan hingga pendidikan, mempersempit kesejahteraan, sementara pendapatan stagnan atau bahkan menurun dalam banyak kasus.

Ini alasan mengapa deflasi terjadi beberapa waktu lalu. Paradoks pembangunan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memungkinkan lebih banyak orang keluar dari kemiskinan, tetapi keuntungan terbesar tetap dinikmati oleh mereka yang sudah berada di puncak piramida sosial.

Infografik-Angka Kemiskinan di Indonesia 2014-2024 *** Local Caption *** Infografik-Angka Kemiskinan di Indonesia 2014-2024

Kelompok kaya semakin memperkuat posisi mereka melalui akses lebih baik terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang bisnis. Sementara itu, kelas menengah dan kelompok rentan justru menghadapi tekanan yang semakin besar.

Banyak keluarga yang sebelumnya menikmati kenyamanan sederhana kini terpaksa memangkas pengeluaran, tidak hanya untuk barang-barang sekunder, tetapi juga kebutuhan primer.

Situasi ini mencerminkan bagaimana pertumbuhan ekonomi belum berhasil mendistribusikan manfaatnya secara merata. Dalam teori, pertumbuhan seharusnya menjadi alat untuk mengurangi ketimpangan, tetapi dalam praktiknya, peluang ekonomi sering terkonsentrasi pada kelompok kaya.

Data BPS menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terkaya menguasai hampir separuh dari total pengeluaran nasional, sementara 20 persen kelompok termiskin hanya memiliki 18,41 persen. Ketimpangan ini lebih dari sekadar angka: ia mencerminkan struktur sosial-ekonomi yang semakin kaku, mengunci kelompok rentan dalam siklus ketidakberdayaan.

Ketimpangan ini lebih dari sekadar angka: ia mencerminkan struktur sosial-ekonomi yang semakin kaku, mengunci kelompok rentan dalam siklus ketidakberdayaan.

Eric Hoffer dalam bukunya, The True Believer, memperingatkan bahwa gerakan massa sering digerakkan bukan oleh orang miskin, melainkan oleh mereka yang pernah menikmati kesejahteraan, tetapi terenggut. Penurunan kelas menengah Indonesia adalah peringatan bahwa ketimpangan bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga ancaman sosial yang perlu segera ditangani.

Pajak dan redistribusi pendapatan

Pemerintah telah mencoba menahan laju ketimpangan dengan kebijakan fiskal, seperti membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Langkah ini layak diapresiasi karena membantu menjaga daya beli masyarakat sekaligus meredam keresahan di ruang publik.

Namun, sifat regresif PPN tetap menjadi masalah: pajak konsumsi seperti ini membebani kelompok berpenghasilan rendah secara proporsional lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Oleh karena itu, kebijakan pajak penghasilan yang lebih progresif menjadi kebutuhan mendesak.

Struktur pajak penghasilan saat ini juga memiliki celah besar dalam redistribusi pendapatan. Tarif tertinggi 35 persen hanya dikenakan pada pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun, sementara kelompok dengan penghasilan Rp 2,5 miliar hingga Rp 5 miliar dikenai tarif 30 persen.

Menaikkan tarif pajak menjadi 35 persen untuk kelompok berpenghasilan Rp 2,5 miliar hingga Rp 5 miliar, dan 40 persen untuk mereka yang menghasilkan lebih dari Rp 5 miliar, tidak hanya mendukung redistribusi dan meningkatkan pendapatan pajak, tetapi juga memberikan ruang bagi daya beli kelompok rentan untuk pulih.

Kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi, pada dasarnya, bersedia menerima kenaikan pajak karena mereka menyadari bisa menjadi korban jika terjadi keresahan sosial, juga selama kontribusi mereka digunakan secara transparan dan tidak disalahgunakan.

Mereka juga menginginkan timbal balik berupa pelayanan publik yang baik—mulai dari birokrasi yang bersih dan efisien, aparat keamanan yang andal, hingga layanan publik yang mendukung kesejahteraan bersama. Tanpa tata kelola yang baik, kebijakan seperti ini hanya akan menimbulkan resistensi.

Menambah pajak tanpa memperbaiki tata kelola hanya seperti menuang air ke ember bocor. Peningkatan rasio pajak selalu berkaitan erat dengan trust masyarakat terhadap pemerintah. Jika kepercayaan ini terbangun, dukungan terhadap pajak progresif dan kebijakan redistribusi akan meningkat.

Transformasi struktural

Ketimpangan di Indonesia bukan hanya soal kebijakan fiskal yang kurang adil, melainkan juga mencerminkan struktur ekonomi yang belum inklusif.IklanIklan

Sektor informal, yang menyerap lebih dari separuh tenaga kerja nasional, adalah potret ekonomi yang rentan. Pekerja sektor ini sering kali terjebak dalam pendapatan rendah tanpa akses memadai ke jaminan sosial atau perlindungan ketenagakerjaan.

Tanpa reformasi struktural, mereka akan terus berada di pinggiran, membatasi peluang untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Pengalaman negara-negara Nordik menunjukkan bahwa ketimpangan bukanlah takdir. Dengan menerapkan pajak progresif, investasi besar dalam pendidikan, dan perlindungan sosial yang menyeluruh, mereka berhasil menciptakan masyarakat yang lebih setara tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Meski pendekatan negara-negara Nordik tidak dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia, keadilan sosial melalui redistribusi dan pembangunan manusia tetap relevan.

Digitalisasi sektor informal juga dapat meningkatkan efisiensi, memperluas pasar, dan menciptakan peluang baru. Platform ecommerce membantu pelaku usaha kecil menjangkau konsumen lebih luas, sementara fintech dapat memberikan akses kredit mikro. Pelatihan literasi digital, terutama di perdesaan, juga penting untuk memastikan masyarakat memanfaatkan potensi ini.

Pada akhirnya, penurunan kemiskinan adalah pencapaian besar, tetapi meningkatnya ketimpangan menjadi pengingat bahwa pekerjaan besar masih menanti. Pemerintah harus berani membangun sistem ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Keberhasilan sejati bukan hanya soal angka kemiskinan, melainkan juga tentang menciptakan masyarakat di mana setiap warga negara memiliki peluang setara untuk hidup sejahtera.

***

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas.id dengan judul “Kemiskinan Turun, Ketimpangan Melebar“. Baca selengkapnya di sini: Kompas.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.