“Jangan semua mau menanam sawit. Tanaman lain bisa ditanami seperti kopi. Lahan tanam sawit di Indonesia sudah gede banget kurang lebih 13 juta hektare dan produksinya per tahun 42 juta ton. Kalau terlalu gede lagi, harganya nanti turun,” tutur Jokowi medio Januari lalu di Taman Pinus, Kenali, Kota Jambi saat menyerahkan Surat Keputusan Perhutanan Sosial untuk lahan seluas lebih dari 91 ribu hektare kepada 8.100 petani Provinsi Jambi.
Ajakan Jokowi itu sepertinya tidak berlebihan. Sebab, hasil penelitian Lembaga Swadaya Masyarakat Greenomics Indonesia menunjukkan total pelepasan kawasan hutan negara untuk izin perkebunan kepada pemain bisnis skala besar tertentu mencapai lebih dari 2,4 juta hektare. Luas itu lebih dari 36 kali ukuran Jakarta.
Lebih dari 90 persen dari izin perkebunan yang dikeluarkan telah diberikan kepada bisnis untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Tak heran jika proses ekstensifikasi atau perluasan lahan perkebunan kelapa sawit pada 2018 menurut catatan Kementerian Pertanian (Kemtan), seperti dilaporkan Kontan, mencapai 14,03 juta hektare, dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 10,31 persen setiap tahun.
Oversupply CPO
Kondisi tanah dan iklim di Indonesia memang sesuai untuk perkebunan kelapa sawit. Sumbangan ekspor sawit juga merupakan salah satu yang tertinggi di antara lima komoditas lainnya. Hasil riset Perkumpulan Prakarsa menyebutkan, minyak sawit menjadi komoditas penyumbang ekspor terbesar di Indonesia kurun 1989-2017, dengan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor minyak sawit per tahun mencapai 2.782 persen.
Produktivitas kelapa sawit lebih tinggi dibanding jenis tanaman lain dalam menghasilkan minyak nabati. Tingkat produksi minyak sawit mencapai 3,6 ton per hektar per tahun untuk periode 1970-2017. Saat ini, produksi CPO Indonesia sebesar 44 juta ton sampai dengan 46 juta ton per tahun, dengan luas lahan sebesar 14 juta hektare.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperkirakan produksi sawit akan mencapai 51,7 juta ton pada 2025. Jika ini terus berlanjut, kondisi oversupplyCPO bisa menimpa Indonesia pada 2030 mendatang. Kondisi ini menurut Kepala BPPT Hammam Riza, bagaikan pedang bermata dua.
Jika kelebihan produksi sawit bisa diserap oleh pasar, maka hal tersebut sangat baik untuk industri termasuk kesejahteraan petani. Di sisi lain, oversupply produksi sawit ini juga bisa mengakibatkan kelebihan pasokan yang pada akhirnya membuat harga jual produk ini menjadi lebih rendah.
Sebab, sebagaimana hukum ekonomi yang berlaku, “Apabila volume produksi melebihi kebutuhan pasar, maka kelebihan pasokan akan membuat harga jual menjadi jatuh. Tentunya hal itu merugikan petani maupun pengusaha perkebunan sawit,” jelas Hammam kepada Tirto.
Sebagai catatan, data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO dan produk turunannya, biodiesel dan oleochemical) secara keseluruhan mencapai 34,71 juta ton di 2018. Angka ini meningkat 8 persen dari 32,18 juta ton di 2017. Sementara itu, di dalam negeri, penyerapan biodiesel melalui program B20 mencapai 3,8 juta ton pada 2018, naik 72 persen dibandingkan 2017.
Inovasi dan Diversifikasi
Dengan perkiraan kelebihan produksi ini, maka pemerintah perlu melakukan berbagai cara termasuk diversifikasi dalam pengelolaan dan penggunaan minyak sawit. Cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam waktu dekat dan menengah adalah dengan mengendalikan tingkat produksi produk berbasis sawit agar sesuai dengan kebutuhan pasar.
“Diperlukan analisa yang rinci, agar kebutuhan pasar bisa diprediksi lebih akurat agar Indonesia bisa melakukan perencanaan produksi dengan lebih matang,” jelas Hammam.
Langkah selanjutnya adalah dengan membuka pasar-pasar baru. Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah, menurut Hammam, adalah dengan melakukan inovasi di sektor hilir, lanjutnya, yakni dengan memproses pengolahan minyak sawit menjadi produk-produk olahan yang bernilai tambah lebih tinggi. Misalnya, dengan memproduksi biodiesel lebih banyak lagi.
Jika hal ini bisa dilakukan, maka Indonesia bisa mengekspor biodiesel dengan harga disamakan dengan Mean of Platts Singapore (MOPS) ke negara-negara tujuan seperti Cina, India, Jepang, Arab Saudi serta Korea Selatan. Secara keseluruhan, negara-negara tersebut mampu mengonsumsi 28,8 juta barel per hari.
Konsumsi solar negara-negara tersebut mencapai 568 juta kiloliter per tahun. Oleh karena itu, lanjut Hammam, jika Indonesia mampu melobi negara-negara tersebut dan mempromosikan B1 produksi dalam negeri, maka ada serapan biodiesel setidaknya sebanyak 5,68 juta kiloliter.
“Akan lebih baik jika Indonesia bisa mempromosikan B-25, maka serapan biodiesel bisa bertambah 14,2 juta kiloliter lagi. Hampir di seluruh segmen industri tidak berkeberatan menggunakan biodiesel 2,5 persen. Dengan begitu, pabrik biodiesel yang saat ini idle, bisa dimanfaatkan secara penuh,” ungkap Hammam.
Penggunaan CPO untuk kilang green fuel, milsalnya, juga merupakan alternatif teknis yang layak untuk ditempuh sebagai langkah mitigasi oversupply CPO.
Selain melakukan diversifikasi pasar, pemerintah hendaknya melakukan hilirisasi dan diferensiasi produk terkait sawit, sebut Hammam. Langkah yang dapat ditempuh, misalnya, adalah dengan memanfaatkan pengelolaan sampah perkebunan sawit untuk selanjutnya diproses menjadi bahan bakar cair (Bio Crude Oil) hingga penggunaan lainnya, seperti bubur kertas atau pulp.
Selain itu, diversifikasi minyak sawit dalam bahan bakar minyak (BBM) juga akan menurunkan impor solar Indonesia. Konsumsi BBM Indonesia terus naik tiap tahunnya dan menciptakan defisit impor sebesar USD13,4 miliar. “Harus ada upaya mengurangi impor dengan melakukan diversifikasi,” sambung Hammam.
Saat ini pemerintah terus mengkaji penerapan biodiesel 30 persen (B30). Nantinya, B30 diprediksi akan menghemat impor solar 9 juta kiloliter (KL) setara dengan US$ 6 miliar.
Kondisi oversupply CPO, menurut Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono, sejatinya sudah terjadi selama dua tahun belakangan. Bahkan, GAPKI memperkirakan kelebihan produksi sawit akan berlangsung setidaknya sampai dengan 2023 mendatang, jika pemerintah Indonesia tidak melakukan sejumlah langkah pasti sebagai mitigasi.
Misalnya saja, kata Joko, dengan memastikan implementasi B20 secara keseluruhan atau 100 persen. Jika langkah ini benar-benar terwujud, maka ada harapan bahwa 5 juta CPO akan bisa terserap sebagai bahan baku B20.
Selain itu, mempercepat penyerapan CPO secara langsung oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga dapat membantu langkah mitigasi. Dilaporkan Kontan, terdapat empat pembangkit yang melakukan uji coba dengan menggunakan CPO sebagai bahan bakar secara langsung.
Kempat pembangkit itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Kanaan Bontang berkapasitas 10 megawatt (MW), PLTD Batakan Balikpapan (40 MW), PLTD Supa Pare-pare (62 MW), dan PLT Gas (PLTMG) Jayapura dengan kapasitas 10 MG. Untuk memasok keempat pembangkit tersebut, PLN memerlukan sekitar 190 ribu kiloliter CPO per tahun.
Langkah mitigasi lain untuk mengatasi oversupply CPO adalah juga dengan melakukan replanting atau peremajaan tanaman. Menurut Joko, di tengah kondisi harga CPO yang terus merosot saat ini karena kelebihan produksi dan juga larangan ekspor CPO di negara-negara Uni Eropa, langkah replanting merupakan hal yang tepat untuk dilakukan.
Replanting memiliki dua efek yaitu jangka pendek karena dapat mengurangi incrementable supply atau tambahan pasokan CPO, serta efek jangka panjang berupa produktivitas CPO yang lebih baik.
Terlepas dari itu semua, Joko mengatakan bahwa hal terpenting yang patut diperhatikan oleh Indonesia terkait sawit adalah keberlanjutan pasar CPO itu sendiri. “Ada atau tidak adanya oversupply CPO, yang perlu menjadi perhatian adalah sustainable market CPO Indonesia termasuk pasar ekspor, untuk jangka panjang,” sebut Joko.
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara
Source: Tirto.id