Koalisi Masyarakat Sipil Mendesak Reformasi Sistem Keuangan Global lewat G20

Jakarta, The PRAKARSA Manajer Riset dan Pengetahuan The PRAKARSA, Roby Rushandie, menjadi narasumber dalam acara diskusi publik yang bertajuk “Menguatkan Peran Indonesia di G20 untuk Tatanan Global yang Adil dan Seimbang: Dorongan untuk Reformasi Keuangan, Transisi Energi, dan Arah Kebijakan Global di Tengah Ketidakpastian Geopolitik” yang diselenggarakan oleh koalisi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Civil 20 (C20) pada hari Senin, (17/11/2025) di Hotel Aryaduta Jakarta.

Roby hadir menjadi narasumber pada sesi panel 1 dengan tema Arsitektur Keuangan Global dan Arah Diplomasi Indonesia di G20. Turut hadir menjadi panelis pada sesi ini yaitu Masni Eriza (Kepala Pusat Strategi Kebijakan Multilateral, Kementerian luar Negeri RI), dan Siti Khoirun Ni’mah (Direktur Eksekutif INFID), dan Irvan Tengku Harja (Manajer Program The Habibie Center) selaku moderator.

G20 belum menyelesaikan tantangan ketimpangan global

Pada kesempatan ini, Roby menyampaikan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2025 bisa menjadi momentum untuk mendorong agenda reformasi sistem perpajakan global yang adil dan inklusif. Ia memandang G20 sejauh ini belum menyelesaikan permasalahan ketimpangan. Mengutip data UBS Global Wealth Report 2025 yang menunjukkan bahwa meskipun dunia semakin kaya dengan pertumbuhan kekayaan global 3,4 persen per tahun, distribusi kekayaan semakin terkonsentrasi pada kawasan tertentu. Amerika Utara tercatat memiliki wealth per adult tertinggi, yaitu USD 593.347, sementara Amerika Latin berada di posisi terendah dengan USD 34.694. Begitu pula piramida kekayaan global menunjukkan pertumbuhan paling cepat terjadi pada kelompok teratas.

Roby menyebut kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Mengutip temuan Jeffrey Winters mengenai Material Power Index (MPI), ketimpangan kekayaan ekstrem meningkat tajam karena 40 orang terkaya semakin menguasai aset nasional. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia bahkan naik dari peringkat ketimpangan ekstrem kedua pada 2011 menjadi peringkat pertama pada 2023. Roby juga menyoroti bahwa ketimpangan distribusi kekayaan juga merupakan hasil dari sistem perpajakan global yang dinilai lebih berpihak pada negara maju dan orang-orang ultra kaya, merujuk studi EU Tax Observatory 2025 yang menemukan bahwa dari beberapa negara yang menjadi sampel studi, kelompok berpendapatan di atas USD 1 juta hanya dikenakan tarif pajak efektif antara 20–26 persen, sementara kelompok masyarakat lainnya harus menanggung tarif 45–60 persen. Hal ini memperjelas bahwa G20 belum menjalankan perannya secara optimal untuk mengurangi ketimpangan.

Pengaruh arsitektur keuangan global dalam kerangka G20 terhadap ruang kebijakan Indonesia

Roby menekankan bahwa negara-negara berkembang menghadapi tekanan berlapis berupa beban utang, kebutuhan pendanaan SDGs, dan kebutuhan pembiayaan iklim yang terus meningkat. Dari sisi perpajakan, sejak 2009 G20 menggunakan OECD sebagai kanal kebijakan, namun rancangan perpajakan global yang dihasilkan OECD seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan Two-Pillar Solution masih bias terhadap negara-negara maju. Roby menyoroti bahwa Two-Pillar Solution hanya memberi tambahan penerimaan setara 0,026 persen PDB bagi negara berkembang, dan justru memicu race to the bottom dalam tarif pajak. Akibat praktik tax abuse secara global, negara-negara diperkirakan kehilangan USD 492 miliar per tahun, sementara Indonesia sendiri berpotensi kehilangan sekitar USD 2,47 miliar.

Pada aspek pendanaan iklim, Roby menilai agenda G20 masih inkonsisten dan belum memberikan hasil yang memadai bagi Indonesia. Ia menyinggung perkembangan JETP yang meski menjadi komitmen pendanaan dari Amerika Serikat dan Jepang, tetap menempatkan Indonesia pada posisi dilematis sebagai financial blind spot atau “too advanced to receive concessional climate finance, yet too risky for large-scale financing”. Kondisi ini, menunjukkan desain arsitektur perpajakan dan pendanaan iklim global masih menciptakan ketimpangan dan membatasi kemampuan negara berkembang untuk mendorong pembangunan inklusif dan industrialisasi hijau.

Peluang Strategis Indonesia dalam Mendorong Arsitektur Keuangan Global yang Lebih Adil di G20

Roby menegaskan bahwa posisi Indonesia sebagai negara berkembang sekaligus anggota BRICS memberi keuntungan strategis untuk menjadi “bridge builder antara global north dan global south”. Melalui kerja sama dengan BRICS, Indonesia dapat mendorong sinergi agenda BRICS pada G20 seperti mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Praktik local currency settlement (LCS), seperti yang sudah dijalankan antara Bank Indonesia dan bank sentral negara lain, disebut sebagai langkah konkret yang dapat diperluas. Roby juga melihat peluang sinergi yang besar karena sejak 2022 kepemimpinan G20 secara berturut-turut berada di negara-negara BRICS seperti Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan, sehingga membuka ruang bagi agenda global south untuk lebih menonjol.

Selain itu, Roby menilai reformasi perpajakan global harus menjadi prioritas Indonesia, terutama untuk mengatasi ketimpangan kekayaan dan desain perpajakan internasional yang masih cenderung pro kepada golongan super kaya dan negara-negara maju. Ia menekankan bahwa instrumen wealth tax menjadi peluang signifikan, baik sebagai langkah keadilan pajak maupun sebagai sumber pendanaan pembangunan.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.