Berita Baru, Jakarta – Koalisi Responsibank Indonesia menilai bank nasional di Indonesia belum serius dalam melakukan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) sebagai respon atas krisis ekologi secara global harus segera dijalankan di Indonesia.
Koordinator Koalisi Responsibank Indonesia Ah Maftuchan mengatakan lembaga keuangan di Indonesia harusnya dapat menghentikan pendanaannya kepada industri batu bara yang menghasilkan emisi dan kerusakan lingkungan.
Ia menyebutkan, mengacu pada laporan lembaga Urgewald yang berbasis di Jerman menunjukkan sebanyak enam bank nasional Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020, selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. Keenam bank nasional tersebut antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.
“Total pinjaman untuk industri batu bara dari Oktober 2018-Oktober 2020 oleh bank-bank nasional senilai 6,29 Miliar USD atau senilai 89 Triliun Rupiah dan underwriting atau penjaminan emisi sebesar 2,64 miliar USD atau 16,6 Triliun Rupiah. 6 bank nasional tersebut memberi pendanaan kepada perusahaan tambang batu bara dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang juga menggunakan batu bara sebagai bahan bakar listrik,” jelas Maftuchan.
Maftuchan menegaskan, lembaga keuangan harusnya mengacu pada Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjalankan praktik pemberian pinjaman kepada perusahaan yang menjalankan praktik bisnis yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip: perlindungan lingkungan, pemenuhan aspek sosial dan penerapan tata kelola perusahaan yang baik.
“Industri keuangan tidak saja sebagai entitas bisnis yang berorientasi profit semata namun sebagai aktor pembangunan. Oleh sebab itu, industri keuangan harus menghentikan pemberian kredit kepada perusahaan yang telah terbukti melakukan praktik bisnis yang tidak berkelanjutan yakni bisnis yang merusak lingkungan hidup, tidak bertanggung jawab secara sosial dan terlibat dalam praktik korupsi serta penghindaran pajak,” tambah Maftuchan.
Sementara itu Koordinator Kampanye Eksekutif Nasional WALHI Dwi Sawung menyampaikan, sektor batu bara masih menjadi sumber pendapatan industri keuangan Indonesia, walaupun pernah menjadi non-performing loan terbesar beberapa tahun lalu.
“ndustri keuangan indonesia masih belum juga memperhatikan kelestarian lingkungan. Industri keuangan di Indonesia harus segera menyusun peta dan kebijakan pengakhiran investasi atau pemberian pinjaman pada industri energi kotor batubara,” tuturnya.
Lebih lanjut, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho menjelaskan, pelaksanaan roadmap keuangan berkelanjutan harus jelas secara teknis dan partisipatif yakni melibatkan semua pihak yang memiliki perhatian terhadap energi baru-terbarukan.
“Hal ini agar pelaksanaan pembiayaan idustri berkelanjutan dapat dilakukan secara komprehensif dan integratif,” tegas Aryanto.
Koalisi ResponsiBank Indonesia merupakan forum organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang memiliki konsen terhadap pelaksanaan keuangan berkelanjutan. Koalisi Responsibank melakukan kajian, kampanye dan advokasi agar OJK memperkuat regulasi dan pengawasan keuangan berkelanjutan. Koalisi Responsibank Indonesia terdiri dari: The PRAKARSA, ICW, INFID, WALHI, YLKI, PWYP Indonesia, TuK Indonesia, INDIES.
Sumber: Beritabaru.co