Koalisi ResponsiBank Indonesia Melakukan Audiensi dengan OJK Terkait Pemutakhiran Taksonomi Indonesia

Koalisi ResponsiBank Indonesia bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesaat setelah audiensi terkait pemutakhiran Taksonomi Indonesia, di Jakarta, pada Rabu (15/11). 

Jakarta, The PRAKARSA – Koalisi ResponsiBank Indonesia melakukan audiensi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membahas pemutakhiran Taksonomi Indonesia yang bertempat di Kantor OJK, Menara Radius Prawiro Kompleks Perkantoran BI, Jakarta, pada Rabu (15/11). 

Pada kesempatan ini para anggota koalisi yang hadir diantaranya Herni Ramdlaningrum Program Manager PRAKARSA, Dwi Rahayu Ningrum Sustainable Development Officer PRAKARSA, Linda Rosalina Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Agung Budiono plt Direktur Indonesia CERAH, Dwi Sawung Manager Infrastructure and Spatial Planning WALHI, Pius Ginting Koordinator AEER, Muhammad Aulia Green Finance Researcher AEER, dan Dia Mawesti Sustainable Finance Lead Oxfam Indonesia bertemu langsung dengan Jarot Suroyo selaku Deputi Direktur Keuangan Berkelanjutan DSKT OJK yang didampingi Analis DSKT OJK Amanda dan Budiman Eka. 

Membuka pertemuan ini, Herni Ramdlaningrum mengapresiasi OJK yang telah berinisiatif dalam melakukan pemutakhiran Taksonomi Hijau menjadi Taksonomi Berkelanjutan serta membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk turut memberikan masukan dan berharap agar pertemuan semacam ini bisa dilakukan secara regular kedepannya.  

Menurut Dwi Rahayu Ningrum pemutakhiran ini penting dilakukan terutama untuk memastikan masuknya kriteria aspek sosial dan taksonomi berkelanjutan dengan informasi yang lebih detail. Dwi menyampaikan masukan beberapa elemen di tema pemeringkatan bank yang dilakukan ResponsiBank dapat menjadi pelengkap dan dapat diintegrasikan dalam kriteria aspek sosial, seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan hak pekerja. “Taksonomi Hijau juga perlu memperjelas tujuan sosial, seperti penghormatan hak asasi manusia, hak pekerja dan hak masyarakat adat, kesetaraan gender dan perlindungan sosial,” katanya. 

Selain itu, Dwi juga menambahkan pentingnya untuk memasukkan standar internasional yang digunakan sebagai indikator untuk memenuhi kriteria hijau, bukan hanya peraturan nasional.

Sementara itu Manager Infrastructure and Spatial Planning WALHI, Dwi Sawung, menyoroti tentang mekanisme keluhan (grievance mechanism) yang diatur dalam taksonomi. “Bagaimana alur keluhan dapat disampaikan, apakah ke perusahaan, atau ke lembaga keuangan. WALHI banyak mendapatkan keluhan dari masyarakat bahwa tidak adanya mekanisme keluhan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan dan dampak buruk yang dialami karena pembangunan proyek,” jelasnya. 

Senada dengan hal itu, Agung Budiono plt. Direktur Indonesia CERAH, menekankan pentingnya taksonomi bisa mendorong implementasi prinsip Lingkungan Sosial dan Tatakelola (LST) untuk mengakomodir keluhan dari masyarakat. 

Menurut Herni selama ini ResponsiBank Indonesia banyak menemukan keluhan masyarakat akibat adanya praktik pembiayaan yang tidak bertanggungjawab. “Perlu adanya guidance bagaimana perbankan memiliki grievance mechanism,” tuturnya. 

Menanggapi hal tersebut Jarot Suroyo selaku Deputi Direktur Keuangan Berkelanjutan DSKT OJK menjelaskan bahwa OJK saat ini menjadi principle representative dalam ASEAN Taxonomy Board untuk kriteria aspek sosial. “Di situ kita juga membahas pilar sosialnya apa saja di ASEAN Taxonomy, lalu kita juga membahas bagaimana technical screening criteria untuk pembiayaan real estate, pembangkitan dan transportasi,” jelasnya. 

Selain itu konsep sosial yang telah ada di ASEAN Taksonomi diantaranya HAM, community engagement, dan workforce. Namun ada juga pipeline sosial yang lain seperti poverty alleviation, dan gender equality. “Taksnomi Indonesia secara umum align dengan ASEAN Taxonomy. Aspek sosial ini akan semakin dimutakhirkan seiring berjalannya waktu,” kata Jarot. 

Jarot juga mengatakan bahwa Taksonomi kedepannya akan embedded ke entitas serta kategori yang digunakan dalam taksonomi tidak lagi mengunakan traffic light, tetapi non eligible, transisi, dan hijau. “Menggunakan konsep ASEAN plus-plus,” tambahnya. 

Amanda, Analis DSKT OJK menambahkan, dalam penyusunan taksonomi, tujuan sosial sudah didefine dan ada di essential criteria. Seperti poverty saat ini sudah diselaraskan pada aspek ketiga. “Perusahaan harus punya program untuk pemberdayaan masyarakat sekitar untuk pengentasan kemiskinan,” ungkapnya. 

Sementara pada aspek gender equality, Amanda menjelaskan memang belum didefinisikan sebagai indikator khusus, tetapi dalam dokumen taksonomi ini sudah memasukkan aspek non-diskriminasi, perlindungan pekerja perempuan dan anak yang dianggap sudah menangani isu kesetaraan gender. 

Terakhir, Amanda mengapresiasi masukkan dari Koalisi ResponsiBank terkait penggunaan standar internasional dalam Taksonomi. “Masukan untuk menggunakan standar internasional sangat baik, mohon dapat memberikan masukan tersebut secara tertulis dan menyampaikan apa saja standar yang perlu diadopsi,” tutupnya. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.