
Foto: BPMI Setpres/Cahyo
Jakarta, The PRAKARSA – Kebijakan Efisiensi Anggaran yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak yang mempertanyakan efektivitas kebijakan ini dalam mengatasi pemborosan APBN dan APBD. Perlu dipastikan realokasi anggaran hasil efisiensi benar-benar dialokasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran pejabat.
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Presiden Prabowo telah tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Keuangan No. S-37/ MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja K/ L dalam Pelaksanaan APBN 2025.
Pengamat Kebijakan Publik dari The PRAKARSA, Ah Maftuchan, melihat bahwa penggunaan APBN dan APBD selama ini memang boros, kurang efektif-efisien, kurang akuntabel, kurang transparan dan kurang berdampak dalam pembangunan kesejahteraan rakyat serta kurang berdampak bagi pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
“Total APBN yang digunakan untuk belanja gaji pegawai mencapai rata-rata 15-18%. Total Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dari APBN sebesar lebih kurang 30% pemanfaatannya juga masih didominasi oleh belanja gaji pegawai di daerah. Rata-rata Pemda membelanjakan APBD-nya untuk belanja gaji pegawai masih tinggi, antara 25%-40%,” ungkapnya. Pada Rabu (12/2/2025).
Selain belanja gaji pegawai yang tinggi, Maftuchan mengatakan inefisiensi pengelolaan APBN/APBD juga terjadi pada pembelanjaan barang/jasa untuk kegiatan-kegiatan K/L dan Dinas yang tidak penting. Tidak jarang belanja kegiatan sangat tinggi ongkosnya sementara dampaknya sangat rendah.
Dampak Positif bagi Pengelolaan Anggaran Negara
Ah Maftuchan, menilai bahwa agenda efisiensi anggaran yang digagas oleh Presiden Prabowo membawa sejumlah sisi positif. Menurutnya kebijakan ini dapat memberikan dampak positif bagi pengelolaan anggaran negara. Di mana pemerintah menyadari bahwa pemborosan anggaran tidak dapat diterus-teruskan. Hal ini penting agar pemerintah di semua tingkatan punya kehendak yang sama untuk berubah dalam pengelolaan keuangan negara yang lebih efisien.
Selain itu, agenda ini juga menjadi salah satu bukti konkrit bahwa pemerintah hendak bertindak untuk melakukan peningkatan efisiensi penggunaan uang negara. “Jika dilihat dari persentase efisiensi anggaran yang terdiri dari anggaran Kementerian/Lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan anggaran daerah sebesar Rp50,59 triliun, maka hal ini memperlihatkan bahwa Presiden Prabowo masih mempertimbangkan pentingnya menjaga stabilitas daerah di mana selama ini sebagain besar daerah masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat,” tegasnya
Catatan Kritis dari Agenda Efisiensi Anggaran
Hanya saja, Maftuch juga menambahkan bahwa kebijakan ini juga berpotensi terjadinya pengurangan alokasi anggaran untuk rakyat, baik yang melalui program kegiatan maupun yang melalui subsidi atau bantuan. Artinya, jika pemerintah tidak hati-hati dalam melakukan budget-refocusing, program peningkatan pemenuhan hak rakyat justru tidak mendapatkan alokasi yang memadai. Misalnya potensi penambahan kepesertaan BPJS Kesehatan melalui skema pemberian bantuan iuran oleh pemerintah (Peserta PBI) berpotensi turun, subsidi energi berpotensi turun, subsidi kesehatan berpotensi turun dan lain-lain.
Lebih lanjut, menurutnya pemerintah juga perlu melihat dampak langsung dari kebijakan efisiensi ini bagi pelaku UMKM. “Ini juga akan berpotensi terjadinya stagnasi ekonomi di sektor-sektor usaha yang terdampak dari agenda efisiensi. Misalnya pemangkasan pengadaan ATK sebesar 90% dan percetakan-souvenir sebesar 75,9%, pemerintah perlu mengintervensi dampak negatif terhadap sektor ekonomi yang terhubung dengan bidang ATK (alat tulis kantor), usaha percetakan dan usaha pembuatan souvenir. Apalagi pembuatan souvenir biasanya merupakan usaha UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah antisipatif agar tidak terjadi eksternalitas negatif pada kegiatan ekonomi yang terhubung dengan agenda efisiensi,” imbuhnya.
Kementerian PU, Kemendiktisaintek, Kemendikdasmen, Kemenkes, Kementan dan Kementerian Perumahan merupakan beberapa kementerian yang terkena efisiensi anggaran yang besar. Misalnya Kementerian PU terkena pemangkasan sebesar 73,35% (Rp81,38 triliun) dan Kemenkes terkena pemangkasan sebesar Rp19,63 triliun. Beberapa kementerian ini merupakan kementerian yang berhubungan dengan agenda pemenuhan hak-hak dasar warga: infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertanian dan perumahan. Perlu ada pengecekan ulang komponen anggaran yang dikenakan pemotongan guna memastikan kehati-hatian agar tidak berdampak buruk kepada nasib rakyat.
Bukan hanya pada masyarakat, kebijakan ini dapat berpengaruh terhadap menurunnya pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making). “Saat ini, agenda efisiensi yang menyasar pada kegiatan kajian dan analisis sebesar 51,5%. Padahal, kajian dan analisis merupakan kegiatan penting untuk memastikan suatu program atau kebijakan didasarkan pada bukti-bukti empirik. Jika tidak ada kajian dan analisis, maka kebijakan-program akan lebih ditentukan oleh intuition dan political preferences,” ucap Maftuchan.
Di sisi lain, pemerintah justru tidak memotong anggaran Kementerian Pertahanan, POLRI, Kejagung dan MA. KEMHAN bahkan menjadi kementerian yang paling besar anggarannya yakni Rp166,26 triliun. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah sangat getol dan memprioritaskan pembelian Alutsista.
Padahal, Presiden Prabowo telah menetapkan arah kebijakan politik luar negerinya adalah good-neighbour policy (kebijakan bertetangga baik). Pembelian alutsista yang massif akan memancing negara tetangga untuk pasang kuda-kuda dan tidak percaya dengan garis good-neighbour policy. Artinya, kebijakan alutsista yang mencolok merupakan kebijakan yang bertolak belakang dengan good-neighbour policy.
Presiden Prabowo perlu melakukan efisiensi anggaran pertahanan agar ada tambahan anggaran untuk program pro-rakyat. Anggaran POLRI, Kejagung dan MA juga perlu di-scrutiny agar tidak terjadi inefisiensi yang berkepanjangan di lembaga penegak hukum. Seperti yang kita ketahui, performance penegakan hukum masih belum memuaskan. Pemotongan anggaran untuk lembaga penegak hukum diperlukan agar ada semangat pembenahan yang mendasar.
Langkah Tambahan yang Perlu Segera Dilakukan Pemerintah
Dalam catatannya mengenai dampak efisiensi anggaran, Ah Maftuchan menekankan pentingnya alokasi yang tepat. Ia menyatakan, “Tersedianya tambahan anggaran untuk program prioritas Presiden Prabowo harus memastikan bahwa realokasi ini benar-benar untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk memperkaya pejabat.”
Maftuchan juga menyoroti perlunya mengurangi praktik inefisiensi di berbagai kementerian dan Pemda. “Pemerintah perlu melakukan pengukuran dan tracking realokasi anggaran secara terbuka dan transparan,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan adanya potensi stagnasi di sektor-sektor usaha akibat agenda efisiensi. “Langkah-langkah antisipatif harus diambil untuk mencegah eksternalitas negatif yang parah pada kegiatan ekonomi,” tambahnya.
Maftuchan kemudian mengusulkan beberapa langkah tambahan yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah, antara lain pertama, melakukan perampingan struktur kementerian hingga eselon 3 di setiap Kementerian/Lembaga negara. Kedua, pelaksanaan skema “gonden handsake” (pensiun dini dengan kompensasi) secara bertahap kepada pejabat atau pegawai yang tidak produktif atau yang mangkir dan bermasalah. Hal ini juga perlu ditambah dengan agenda rekrutmen CPNS yang terukur, baik di pusat maupun di daerah.
Ketiga, menggunakan pendekatan “money follow program” dalam sistem perencanaan-penganggaran. Dalam hal ini pemerintah tidak bisa lagi menggunakan pendekatan “money follow structure” atau “money follow function”.
Keempat, melakukan mobilisasi pendapatan negara dari sumber-sumber baru (eksternsifikasi), pajak kekayaan bagi wajib pajak orang super kaya, pajak karbon bagi produsen energi fosil, sensus pajak nasional, cukai plastik, cukai minuman berpemanis buatan, dan lainnya. Dengan ini, maka pemerintah akan punya tambahan pendapatan negara yang dapat digunakan untuk pendanaan program pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara berkelanjutan.
Mobilisasi pendapatan ini juga harus diiringi dengan penataan kelembagaan otoritas pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan bea-cukai menuju otoritas yang terintegrasi, inovatif dan akuntabel menjadi Badan Penerimaan Negara.
“Kebijakan untuk mobilisasi pendapatan negara dari sumber baru seperti pajak kekayaan dan pajak karbon sangat penting. Ini akan memberikan tambahan pendapatan untuk program pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara berkelanjutan,” tutupnya.