Mengapa Unit Layanan Disabilitas Belum Optimal untuk Ketenagakerjaan Inklusif di Indonesia?

Jakarta, The PRAKARSA (Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan) – The PRAKARSA bersama Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) terus memperkuat advokasi terkait kuota ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas melalui pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di bidang ketenagakerjaan. 

Dalam Rapat Koordinasi Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) yang digelar di YELLO Hotel Manggarai, Jakarta. Pada Kamis (5/12/2024). Pembahasan mengenai kerangka hukum, tugas, perkembangan terkini ULD, serta strategi advokasi yang dapat diterapkan menjadi fokus utama. 

Ketua Umum Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Norman Yulian dalam sambutannya menjelaskan pentingnya implementasi sistem kuota ketenagakerjaan yang mengharuskan setidaknya 1% karyawan di sektor swasta dan 2% di sektor publik berasal dari penyandang disabilitas. “Meskipun sudah ada regulasi, seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, tantangan dalam pelaksanaan masih dihadapi, termasuk kurangnya pembentukan ULD di berbagai daerah,” jelasnya. 

Norman menyampaikan pentingnya advokasi bersama untuk pemenuhan kuota ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas, agar setiap individu mendapatkan kesempatan yang sama di dunia kerja. “Kita harus bersama-sama mengadvokasi pemenuhan kuota ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas untuk memastikan setiap individu mendapatkan kesempatan yang sama di dunia kerja,” kata Norman.  

Turut hadir, Amanda Putri Rahayu Koordinator Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menekankan pentingnya mendorong pemerintah daerah untuk segera membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) di seluruh kabupaten/kota, agar penyandang disabilitas dapat terhubung dengan peluang kerja yang tersedia.  

“Penting bagi kita untuk mendorong pemerintah daerah segera membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) di seluruh kabupaten/kota agar penyandang disabilitas dapat terhubung dengan peluang kerja yang ada,” jelas Amanda. 

Lebih lanjut Amanda menjelaskan bahwa keberadaan ULD didasarkan pada beberapa regulasi penting, termasuk UU No. 8 Tahun 2016, PP No. 60 Tahun 2020, dan Permenaker No. 21 Tahun 2020. “ULD bertujuan untuk memastikan upah setara dan akomodasi bagi kebutuhan tenaga kerja disabilitas. LSM atau NGO memiliki peran penting dalam mengawasi pelaksanaan ULD dan dukungan dari sektor swasta untuk menyediakan alat yang diperlukan,” paparnya. 

Hingga akhir tahun 2024, terdapat 239 ULD yang sudah didirikan di provinsi, kabupaten, dan kota, dan telah menyerap sebanyak 804 penyandang disabilitas yang telah ditempatkan di pasar kerja. Namun, Amanda mengingatkan bahwa fasilitas ULD di daerah masih perlu ditingkatkan, karena seringkali hanya tersedia meja tanpa ruangan yang memadai. 

Aqilatul Layyinah, peneliti dari The PRAKARSA, menyampaikan bahwa “Penting bagi kita untuk memperkuat kolaborasi antara organisasi disabilitas dan masyarakat sipil agar pengoptimalan ULD dapat tercapai. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan penyandang disabilitas mendapatkan akses yang setara dalam dunia kerja,” tegasnya 

Dari pertemuan ini, jaringan solidaritas yang terdiri dari organisasi disabilitas dan organisasi masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan bersama untuk mendorong pembentukan dan pengoptimalan ULD di bidang ketenagakerjaan.  

Pernyataan ini mengkritisi beberapa isu penting, antara lain: 

  1. Penyerapan kuota kerja 2% di instansi pemerintah dan 1% di sektor swasta belum optimal, dengan banyak penyandang disabilitas yang bekerja di sektor informal. 
  1. Pemerintah diharapkan untuk melindungi hak bekerja tanpa diskriminasi, serta menghapus persyaratan yang memberatkan pencari kerja disabilitas. 
  1. Meskipun sudah ada 770 pekerja disabilitas yang ditempatkan melalui ULD, masih banyak daerah yang belum memiliki ULD aktif. Diharapkan seluruh kabupaten/kota dapat memiliki ULD yang berfungsi pada tahun 2025. 
  1. Beberapa daerah telah menerapkan praktik baik dalam mengelola ULD, namun banyak yang masih menghadapi tantangan dalam implementasi layanan yang inklusif. 
  1. Rekomendasi kepada pemerintah untuk mendirikan ULD di daerah yang belum ada, serta melakukan sosialisasi dan pelatihan yang lebih luas kepada penyandang disabilitas dan pemberi kerja. 

Beberapa organisasi penyandang disabilitas yang bergabung dalam pernyataan bersama ini diantaranya Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Yayasan Autisma Indonesia (YAI), Perhimpunan Tuli Buta (Pelita), Yayasan Advokasi Inklusi Disabilitas (AUDISI), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Cebol Indonesia Komuniti (CIKI), Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi), dan Sehati Sukoharjo. 

Selain itu, dari elemen OMS selain The PRAKARSA terdapat juga organisasi masyarakat sipil lain yang mendukung pernyataan bersama ini diantaranya Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Institut KAPAL Perempuan, Trade Union Rights Centre (TURC), Kerjabilitas, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.