Mengatasi Kombinasi Mematikan: PHK dan Turunnya Kelas Menengah

Sejumlah pencari kerja antre saat mengikuti Pameran Bursa Kerja di Depok Town Square, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (30/7/2024). Dinas Tenaga Kerja Kota Depok menggelar bursa kerja yang diikuti 40 perusahaan dengan 2.105 lowongan pekerjaan yang bertujuan untuk mengurangi angka pengangguran. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya) – Kompas.com

Oleh: Setyo Budiantoro (Peneliti Senior The PRAKARSA, Dosen Fellow IDEAS Global Program, Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Pengajar Pasca Sarjana Universitas Udayana)

Indonesia saat ini berada di persimpangan yang sangat menentukan dalam sejarah ekonominya. Di tengah ketidakpastian global yang semakin meningkat, negara kita dihadapkan pada kombinasi mematikan yang berpotensi mengancam stabilitas sosial dan ekonomi: meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menyusutnya jumlah kelas menengah.

Fenomena ini bukan hanya sekadar angka statistik; ini adalah cerminan dari tantangan mendasar yang dihadapi oleh perekonomian kita. Data menunjukkan bahwa pada paruh pertama 2024, lebih dari 32.000 pekerja kehilangan pekerjaan, terutama di sektor-sektor padat karya seperti tekstil dan manufaktur, dengan gelombang PHK yang kini juga merembet ke startup.

PHK ini tidak hanya merusak ekonomi keluarga, tetapi juga mengurangi daya beli masyarakat secara keseluruhan, yang pada akhirnya memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi ribuan pekerja yang kehilangan mata pencaharian mereka, dampaknya terasa langsung dan keras, menciptakan ketidakpastian yang mendalam dalam kehidupan sehari-hari.

Pelemahan kelas menengah dan dampaknya

Di sisi lain, kelas menengah yang selama ini menjadi penopang utama konsumsi domestik juga mengalami penurunan signifikan. Pada 2019, jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai sekitar 57 juta orang. Namun, pada tahun 2024, jumlah ini menyusut menjadi sekitar 47,85 juta.

Penurunan ini bukan sekadar angka; ini adalah sinyal bahwa ada masalah struktural dalam perekonomian kita. Berkurangnya kelas menengah berarti melemahnya daya beli masyarakat, menurunnya konsumsi domestik, dan meningkatnya kerentanan ekonomi terhadap guncangan eksternal. Ketika kelas menengah menyusut, pilar penting stabilitas ekonomi kita ikut terancam.

Mengatasi kombinasi mematikan ini memerlukan strategi yang lebih cermat dan berani. Kita tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang telah ada. Diperlukan langkah-langkah komprehensif yang mampu mengatasi masalah saat ini sambil membangun fondasi yang kuat untuk masa depan.

Salah satu pendekatan yang perlu dipertimbangkan adalah penguatan ekosistem industri yang mampu menciptakan produk bernilai tinggi dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Namun, kita harus realistis dalam menentukan fokus strategis ini.

Sektor pertanian dan produk berbasis sumber daya alam mungkin menjadi titik awal yang lebih logis mengingat kondisi geografis dan ketersediaan sumber daya di Indonesia.

Namun, ini bukanlah solusi instan. Membangun industri yang kompetitif memerlukan waktu, investasi, dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Misalnya, upaya untuk meningkatkan produksi lokal di sektor pertanian dapat membantu mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi ini memerlukan dukungan kebijakan yang konsisten serta pembangunan infrastruktur memadai. Ini bukan sekadar langkah teknis, tetapi upaya menyeluruh untuk memperkuat daya tahan ekonomi.

Langkah menuju masa depan lebih kuat

Pendekatan bertahap adalah kunci dalam menerapkan strategi ini. Perubahan besar tidak terjadi dalam semalam, dan langkah-langkah kecil yang penuh perhitungan akan memungkinkan kita untuk belajar, beradaptasi, dan menghindari gejolak yang tidak diinginkan.

Setiap kebijakan harus diuji dan dievaluasi secara ketat sebelum diperluas, memastikan bahwa kita mengambil langkah-langkah yang benar menuju tujuan jangka panjang kita.

Misalnya, program-program pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja yang terkena PHK dapat menjadi langkah awal penting untuk memastikan mereka tetap memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berkembang. Dengan demikian, kita tidak hanya mengurangi dampak langsung dari PHK, tetapi juga mempersiapkan tenaga kerja untuk masa depan lebih kompetitif.

Dalam konteks lebih luas, pembangunan ekonomi yang merata harus menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan inklusif. Data menunjukkan bahwa 60 persen PDB Indonesia berasal dari Pulau Jawa, sementara wilayah-wilayah di luar Jawa, terutama Indonesia Timur, masih tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur dan investasi.

Ketimpangan ini harus diatasi dengan kebijakan yang mendorong redistribusi pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia. Pengembangan infrastruktur transportasi di wilayah-wilayah strategis dapat membuka akses pasar baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Namun, hal ini memerlukan perencanaan yang matang dan keterlibatan aktif bukan hanya dari sektor swasta melalui skema kemitraan publik-swasta, namun secara lebih luas melalui pentahelix. Ini bukan hanya tentang pemerataan pembangunan, tetapi juga tentang menciptakan potensi pertumbuhan ekonomi baru di seluruh negeri.

Tantangan global yang kita hadapi saat ini menuntut kita untuk lebih tanggap terhadap ketidakpastian yang ada. Tidak ada negara yang kebal terhadap dampak fluktuasi harga komoditas, kebijakan perdagangan internasional, atau dinamika geopolitik. Oleh karena itu, strategi berbasis risiko harus menjadi bagian integral dari perencanaan ekonomi kita. Pemerintah harus siap dengan berbagai skenario, dari yang paling optimistis hingga yang paling pesimistis, dan memiliki strategi mitigasi yang tepat.

Diversifikasi pasar ekspor dan sumber impor juga menjadi prioritas untuk memastikan bahwa kita tidak tergantung pada satu atau dua negara saja, yang bisa menjadi sumber kerentanan dalam perekonomian kita. Dengan begitu, kita dapat memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan melindungi diri dari guncangan eksternal.

Menghadapi masa depan dengan keberanian

Di tengah semua tantangan ini, kelas menengah Indonesia, yang pernah menjadi simbol stabilitas dan kemajuan ekonomi, kini menghadapi tekanan signifikan. Penurunan jumlah kelas menengah menunjukkan adanya masalah mendasar yang harus segera diatasi.

Namun, ini bukan akhir dari cerita; ini adalah panggilan untuk bertindak lebih berani dan cerdas. Kita perlu menciptakan kebijakan yang tidak hanya melindungi, tetapi juga memperkuat kelas menengah, memberikan mereka akses yang lebih luas ke pembiayaan, pelatihan ulang, dan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

Kelas menengah adalah motor penggerak utama perekonomian kita, dan menjaga mereka tetap kuat berarti menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Namun, untuk mencapai semua ini, reformasi struktural yang mendalam harus menjadi agenda utama. Kita harus memberantas korupsi, meningkatkan efisiensi birokrasi, dan membangun kualitas tenaga kerja yang mampu bersaing di pasar global. Pertumbuhan yang kita kejar bukan hanya soal angka, tetapi tentang bagaimana kita membangun masa depan lebih adil, lebih inklusif, dan lebih berkelanjutan.

Pada akhirnya, tantangan ini memaksa kita untuk membuat pilihan: apakah kita akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membawa perubahan, ataukah kita akan menunggu hingga keadaan memaksa kita untuk bertindak?

Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu bangkit dari kesulitan, bukan dengan menghindarinya, tetapi dengan menghadapinya dengan keberanian, tekad, dan inovasi.

Inilah saatnya bagi Indonesia untuk menulis babak baru dalam sejarah ekonominya—babak yang penuh dengan peluang, kemajuan, dan harapan bagi semua. Mari kita maju dengan keyakinan bahwa setiap langkah yang kita ambil akan membawa kita lebih dekat kepada cita-cita besar: Indonesia kuat, mandiri, dan berdaya saing di panggung dunia.

***

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di kompas.com dengan judul “Mengatasi Kombinasi Mematikan: PHK dan Turunnya Kelas Menengah”. Klik untuk membaca: kompas.com

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.