Menyoal Arah Taksonomi Hijau Indonesia

Koalisi ResponsiBank Indonesia Menilai bahwa Taksonomi Berkelanjutan Indonesia V.1 yang dikeluarkan OJK Masih Menyediakan Celah untuk Pembiayaan Energi Fosil

Dari kiri ke kanan, Agung Budiono (Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH), Dwi Rahayu Ningrum (Sustainable Development Officer, The PRAKARSA), Linda Rosalina (Direktur Eksekutif TuK INDONESIA), Muhammad Aulia (Peneliti Keuangan Hijau AEER). Foto: Tim Media The PRAKARSA

Jakarta, The PRAKARSA Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan serangkaian konsultasi publik untuk menjaring masukan dari berbagai pihak terkait penyusunan dokumen Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI) V.1 2023. Langkah OJK membuka konsultasi publik ini kami apresiasi sebagai upaya bersama dalam mendorong praktik transparansi dan akuntabilitas. Di balik itu semua, kami berharap dengan keterlibatan publik, khususnya kami dari pihak organisasi masyarakat sipil, OJK bisa menerima usulan-usulan dan kritik yang konstruktif terhadap dokumen tersebut.

Sebagai koalisi yang bekerja dalam advokasi sektor keuangan berkelanjutan, ResponsiBank telah membuat satu dokumen kajian terhadap draft dokumen TBI. Koalisi melihat bahwa dokumen TBI tidak bisa disebut pengkinian dari Taksonomi Hijau Indonesia (THI). Koalisi menilai pentingnya OJK untuk memperjelas bagaimana kedudukan/status THI dan TBI, implementasi THI dan TBI, juga sejauh mana masing-masing dokumen ini mengatur pembiayaan pada sektor yang telah ditentukan. Draft TBI memuat sektor energi dan pertambangan, menunjukan upaya OJK untuk memberikan label secepatnya pada sektor energi dan pertambangan, mengejar pendanaan iklim terhadap sektor tersebut.

Dwi Rahayu Ningrum, Sustainable Development Officer, The Prakarsa menyampaikan apresiasi dengan integrasi aspek sosial dalam dokumen taksonomi berkelanjutan. Ini menunjukkan komitmen OJK memperhatikan dan mempertimbangkan bagaimana perusahaan menghormati hak asasi manusia, ketenagakerjaan dan masyarakat terdampak kegiatan investasi. Dwi menambahkan “Integrasi aspek sosial dalam taksonomi sudah tepat dilakukan, hanya di dalamnya juga perlu lebih detail mengatur bagaimana perusahaan melakukan uji tuntas HAM, memastikan keadilan gender dan masyarakat rentan, memastikan transisi berkeadilan, serta grievance mechanism yang transparan untuk mengakomodir kelompok rentan ini.” Pada Jumat (8/12).

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menyampaikan perbedaan yang secara signifikan dapat dilihat dalam 3 kategori Hijau, Kuning dan Merah pada THI kemudian menjadi 2 kategori Hijau dan Transisi pada TBI. ‘Transisi’ memberi kesan bahwa selain kategori ‘Hijau’ selalu ada intensi perbaikan, padahal kenyataannya tidaklah demikian. “Kajian Tuk Indonesia menunjukkan bahwa implementasi penyelarasan pembiayaan bank dengan taksonomi hijau v1 masih banyak dengan kategori kuning dan merah. Pada TBI ini, terdapat bahaya greenwashing ketika semua yang belum ‘Hijau’ dinyatakan sebagai ‘Transisi’. Kriteria non eligible perlu tetap dimunculkan agar TBI ini menjadi kredibel,” ungkap Linda.

Sebagai sebuah capaian saat ini secara regional kita telah memiliki dokumen ASEAN Taxonomy, dimana Indonesia tampil sebagai negara leader dalam implementasi THI, maka sudah sebaiknya atau bahkan seharusnya TBI merujuk pada dokumen tersebut. Dengan memberikan konteks Indonesia untuk mewujudkannya, dan bukannya menjadi taksonomi keuangan berkelanjutan yang berbeda sama sekali. Mengingat Indonesia adalah negara dengan ancaman krisis iklim yang tertinggi di Kawasan Asia Tenggara, maka yang logis adalah TBI yang lebih ketat dan lebih ambisius dibandingkan dengan ASEAN Taxonomy.

Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, menilai TBI masih terlalu longgar dengan menjadikan sumber energi dari bahan bakar fosil seperti Gas dan juga PLTU (captive) yang terintegrasi dengan industri.  “Meskipun telah dikategorisasi sebagai “Transisi” dari awalnya “Hijau” – namun captive power plant sebenarnya tidak menjadi hal positif, karena menunjukan langkah abu-abu OJK dalam penyusunan TBI. Dalam pengalaman di banyak negara, PLTU sudah dikeluarkan dari dokumen taksonomi,” tuturnya.

Selain itu, menurut Agung, OJK perlu menyusun early coal phase-out framework menjadi bagian dari taksonomi berkelanjutan. Kendati telah disebut dalam tujuan lingkungannya bahwa PLTU yang akan yang masuk early coal phase-out harus memiliki rencana just transition namun perlu didetilkan konsep dan kerangka kerja implementasinya. Di sisi lain, Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), menyoroti masuknya beberapa aktivitas pertambangan dan penggalian, terutama mineral kritis, ke dalam kategori ‘hijau’. Beberapa aktivitas pertambangan dan penggalian yang dapat diberikan kategori ‘hijau’ merupakan beberapa hasil tambang yang dianggap dapat menjadi bahan baku produk ‘hijau’ atau pendukung upaya transisi. “Aktivitas pertambangan dan penggalian pasir kuarsa dan nikel, misalnya, masih dapat dikategorikan sebagai aktivitas ‘hijau’ jika terbukti mampu menyuplai bahan baku untuk produk hijau. Padahal, secara umum aktivitas pertambangan lingkungan memiliki dampak negatif bagi lingkungan sekitar sehingga menimbulkan kontradiksi dalam pemenuhan EO (Environmental Objectives) yang disebutkan dalam TBI” kata Pius. Selain itu, ia juga menyinggung aktivitas pertambangan/penggalian yang masih masuk kategori ‘transisi’ walaupun memiliki jejak emisi karbon yang intensif, misalnya pertambangan lignit. “Aktivitas pertambangan lignit seharusnya bahkan tidak masuk dalam kategori ‘transisi’, lignit adalah jenis atau rank batu bara paling intensif karbon – mencapai 101,2 tCO2/TJ.”  tambahnya.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.