Merdeka Dari Sakit: Refleksi Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional

Berdasarkan laporan The Legatum Prosperity Index 2017  (mengukur kesehatan dengan tiga pilar yaitu, kesehatan fisik dan mental mendasar, infrastruktur kesehatan, dan tindakan preventif), Indonesia berada di posisi 101 dari 149 negara, jauh di bawah Vietnam yang berada di posisi 69. Padahal, jika dibandingkan PDB perkapita kedua negara, Indonesia jauh di atas Vietnam. Pada April 2018, PDB perkapita Indonesia US$ 13.160, sedangkan Vietnam hanya US$ 7.560 (IMF, 2018).

Universal Healthcare Coverage (UHC) di Indonesia hingga tahun 2017 baru mencapai 72,9% dari jumlah penduduk Indonesia, dengan jumlah peserta 183 juta jiwa (BPJS Kesehatan, 2018). Target kepesertaan JKN 100% di tahun 2019 sulit dicapai karena masih ada 27,1% jumlah penduduk yang belum menjadi peserta JKN. Bahkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada tahun 2019 memprediksikan capaian kepesertaan JKN sebesar 82,4%.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya akselerasi pencapaian UHC. Salah satunya melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diamanahkan oleh UU No 40/2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN menekankan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak atas jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak dan meningkatkan martabatnya sebagai manusia. Prinsip penyelenggaraan JKN ialah asuransi sosial dan ekuitas (kesejajaran). Namun, capaian belum sesuai target dari sisi kepesertaan dan belum merefleksikan layanan yang berkualitas.

Prakarsa (2017) melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana ekuitas kesehatan diterima oleh peserta JKN. Survei dilakukan kepada 1.343 peserta BPJS Kesehatan Kelas III, baik peserta mandiri maupun PBI di 11 Kabupaten/Kota. Beberapa temuan penting dalam survey ini antara lain: (i) pasien merasa bahwa dokter kurang peduli, (ii) Moral hazard kerap dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan, baik swasta maupun milik pemerintah, (iii) sistem rujukan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) yang birokratis, (iv) keterbatasan obat, dan (v) terdapat biaya tambahan yang besar untuk mengakses layanan kesehatan, baik di FKTP maupun di FKTL (Out of Pocket).

Permasalahan lainnya adalah keberlanjutan pembiayaan. Selain pelayanan JKN yang belum maksimal, Dana Jaminan Sosial (DJS) pun dilanda defisit. Hingga akhir tahun 2017, defisit DJS mencapai Rp 9 triliun. Besar kemungkinan terjadinya defisit disebabkan oleh biaya klaim yang lebih besar dibanding pendapatan iuran peserta. Jika tidak ada upaya yang luar biasa maka penduduk akan kehilangan hak-hak kesehatan yang semestinya diterima. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan pentingnya implementasi UHC di mana semua orang akan dapat menerima pelayanan kesehatan berkualitas sesuai kebutuhan tanpa menyebabkan kesulitan keuangan akibat kewajiban untuk membayar pelayanan kesehatan tersebut (WHO, 2014). Dalam rangka pencapaian UHC yang berkualitas dan berkelanjutan pada penyelenggaraan JKN maka diperlukan adanya diskursus opsi-opsi kebijakan guna mengakselerasi perbaikan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.

Unduh Tor Lengkapnya di sini

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.