Jakarta, DDTCNews – Melalui penelitian terbaruya, The PRAKARSA memperkirakan total penerimaan negara yang hilang akibat praktik misinvoicing pada sektor perikanan dan batu bara mancapai Rp74 triliun. Angka tersebut diperoleh pada rentang 2012 hingga 2021.
Secara terperinci peneliti The PRAKARSA Rizky Deco Praha mengatakan kehialangan penerimaan negara akibat misinvoicing pada sektor perikanan mencapai Rp2,7 triliun dalam 10 tahun, sedangakan pada sektor batu bara mencapai Rp71,4 triliun.
“Ini hanya dari 2 komoditas. Kita kehilangan penerimaan rata-rata senilai Rp7,41 triliun. Perdagangan kita tidak hanya 2 sektor komoditas ini saja. Jadi, pemerintah sebenarnya memiliki potensi penerimaan yang besar terkait dengan aliran dana gelap yang selama ini terjadi,” ujar Deco. Rabu (31/1/2023).
Secara lebih terperinci, The PRAKARSA mengestimasikan tren under-invoicing ekspor pada sektor perikanan cenderung mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Barbanding terbalik, under-invoicing impor pada sektor tersebut justru mengalami peningkatan.
Deco mengatakan tidak ada potensi penerimaan negara yang hilang dari under-invoicing ekspor perikanan mengingat tidak ada pungutan pajak dan nonpajak atas ekspor komoditas tersebut.
Dalam hal impor, Indonesia mengenakan PPN dengan tafir sebesar 10% dan PPh Pasal 22 Impor sebesar 2,5% untuk importir yang memiliki angka pengenal impor (API). Akibat under-invoicing impor, The PRAKARSA mengestimasikan adanya kehilangan penerimaan senilai Rp2,7 triliun atau Rp270 miliar per tahun.
Kemudian, terkait dengan sektor batu bara, Deco mengatakan nilai under-invoicing ekspor dan impor pada sektor ini tercatat meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir terutama pada rentang 2020-2021.
Perlu dicatat bahwa atas ekspor batu bara, Indonesia mengenakan PPh sebesar 1,5% dan royalti sebasar 5%. Akibat under-invoicing, terdapat kehilangan penerimaan dari ekspor batu bara senilai Rp6,7 triliun per tahun.
Selanjutnya, The PRAKARSA mencatat impor batu bara dikenai PPN sebesar 10% dan PPh Pasal 22 Impor sebasar 2,5% bila importir batu bara memiliki API. Akibat under-invoicing, terdapat kehilangan penerimaan dari aktivitas impor batu bara senilai Rp486,6 miliar per tahun.
Sebagai catatan, estimasi kehilangan penerimaan negara akibat praktik invoicing yang dilakukan oleh The PRAKARSA ini dihitung berdasarkan data perdagangan yang diperoleh dari UN Comtrade Database.
Berdasarkan data tersebut, ditemukan adanya selisih antara nilai ekspor Indonesia dan nilai yang dictatat oleh negara tujuan ekspor. Bila nilai yang dicatat oleh negara tujuan ekspor lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspor yang dicatat oleh Indonesia, hal ini mengindikasikan adanya praktik under-invoicing ekspor.
Adapun under-invoicing impor terjadi bila niali impor yang tercatat di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan nilai ekspor yang dicatat oleh negara lain.
“Dari selisih itu seringkali ada pajak dan PNBP yang seharusnya bisa dikenakan atas produk tersebut, tetapi karena tidak dikenakan maka itu kami hitung sebagai potensi kerugian yang hilang,” ujar Deco. (sap)
Sumber: DDTC News