Nusa Dua, Bali – Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2025 menggambarkan ekonomi yang lebih tangguh, inklusif, berorientasi pada rakyat, dan berpusat pada rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan saat ini menjadi prioritas di Asia Tenggara. Sebagaimana tertuang dalam SDGs 17 “Partnership for the Goal” yang telah diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN, kolaborasi antarpemangku kepentingan untuk mendorong bisnis yang inklusif, bertanggungjawab, dan berkelanjutan mutlak diperlukan. Menanggapi hal tersebut, pada tanggal 21-22 Agustus 2023, 59 Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dari berbagai negara ASEAN berkumpul di Nusa Dua Bali dalam acara Side Event Inclusive Business Summit 2023: “Collaboration for a More Inclusive ASEAN” yang diinisiasi oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), The PRAKARSA, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Asosiasi Pendamping Usaha Kecil Perempuan (ASPPUK), dan Oxfam di Indonesia.
Melalui diskusi yang dilaksanakan dalam empat sesi selama dua hari tersebut, OMS percaya bahwa model bisnis inklusif dan bertanggungjawab menawarkan masa depan yang sejahtera melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif di berbagai sektor di Asia Tenggara. Model-model ini memberdayakan petani skala kecil di sektor pertanian melalui peningkatan akses pasar, praktik berkelanjutan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim, dan transfer teknologi. Demikian pula, di sektor perikanan, bisnis inklusif dapat mendorong praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan pelestarian sumber daya. Mengatasi penangkapan ikan berlebihan, hak sumber daya, dan masalah kesehatan ekosistem sangat penting untuk keberhasilan implementasi. Dalam sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), bisnis inklusif dapat meningkatkan kesempatan kerja, inovasi, dan pengembangan masyarakat.
“Dalam mencapai bisnis inklusif yang ideal, tentu saja akan ada tantangan seperti akses keuangan, bantuan teknis, dan perubahan iklim. Hal ini memerlukan perhatian khusus agar kita dapat memastikan skala dan dampak dari inisiatif tersebut. Mengatasi hambatan terkait akses keuangan, dukungan teknis, masuk pasar, dan penyelarasan peraturan akan sangat penting untuk memanfaatkan potensi UKM inklusif sepenuhnya. Di semua sektor, kesetaraan gender, pengukuran dampak, dan kolaborasi antara pemangku kepentingan dan pemerintah sangat penting untuk pendekatan bisnis inklusif yang komprehensif dan efektif di Asia Tenggara,” ujar Emmy Astuti, Direktur Eksekutif ASPPUK, pada Selasa (22/8).
Hal ini juga senada dengan pesan yang disampaikan oleh Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki sebagai tuan rumah ASEAN Inclusive Business Summit 2023. “Untuk bergerak maju, kita harus mendorong pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah, pelaku sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan organisasi pembela hak-hak perempuan. Dengan menggabungkan kekuatan bersama, kita dapat menciptakan kebijakan dan inisiasi-inisiasi yang dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi saat ini, seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan kemiskinan. Kemitraan publik-swasta sangat penting untuk mendorong inovasi, memanfaatkan sumber daya, dan meningkatkan praktik bisnis yang inklusif dan bertanggung jawab,” ujar Menteri Teten.
Sejalan dengan hal tersebut Lily N Batara, Program Koordinator KRKP mengatakan bahwa “inclusive business perlu mengacu pada pendekatan bisnis yang megupayakan pelibatan masyarakat berpenghasilan rendah atau kelompok terpinggirkan sebagai mitra dalam rantai nilai. Di sektor pertanian, mereka paling terpengaruh oleh perubahan iklim karena sangat bergantung pada alam untuk menghasilkan produk mereka. Semua pelaku dalam rantai nilai dalam bisnis inklusif di sektor pertanian harus memiliki komitmen untuk menerapkan bisnis rendah karbon dan terbuka untuk bekerja sama dengan petani kecil. Selain itu, pemerintah harus hadir untuk memberikan perlindungan, khususnya kepada petani agar tujuan inklusivitas, kesetaraan, dan transparansi dapat terwujud”, terang Lily.
Sejumlah rekomendasi telah dihasilkan dari rangkaian diskusi yang dihadiri oleh 93 peserta dari Indonesia, Kamboja, Singapura, Laos, Thailand, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Timor Leste ini. Rekomendasi tertuang ke dalam Komunike yang diserahkan langsung kepada Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki. Beberapa rekomendasi yang diajukan oleh para perwakilan OMS tersebut adalah sebagai berikut:
- Menetapkan mekanisme pendanaan khusus atau instrumen keuangan yang menyediakan modal yang terjangkau untuk inisiatif bisnis yang inklusif. Hal ini dapat dilakukan melalui pelibatan kemitraan dengan lembaga keuangan, investor, dan bank pembangunan. Selain itu, pemerintah negara-negara Asia Tenggara harus menyediakan akses pembiayaan bagi petani kecil, petani kecil, dan nelayan kecil/nelayan perempuan, karena hal ini tetap menjadi tantangan kritis terutama bagi mereka yang dipimpin oleh kelompok marginal.
- Memperkuat pembangunan kapasitas yang komprehensif melalui peningkatan keterampilan dan adopsi teknologi. Program pelatihan dan pengembangan keterampilan yang menargetkan komunitas marginal dan kelompok rentan, membantu mereka memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam rantai nilai secara aktif. Kemitraan dengan lembaga pendidikan dan pusat pelatihan kejuruan juga akan menjadi kunci, begitu juga dengan mempromosikan penggunaan teknologi dan platform digital untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan model bisnis inklusif. Instrumen digital dapat membantu menghubungkan produsen yang terpinggirkan ke pasar, merampingkan rantai pasokan, dan meningkatkan operasi bisnis.
- Memperkuat lingkungan kebijakan bagi bisnis untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan kegiatan ekonomi. Hal ini termasuk menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung karyawan untuk dapat bekerja secara profesional dan secara bersamaan melakukan pekerjaan perawatan, sehingga pekerja perempuan secara khusus tidak mengalami hambatan kesetaraan di ruang kerja.
- Mendorong program-program uji coba (pilot initiatives) di berbagai negara agar model bisnis inklusif dan bertanggung jawab dapat dikontekstualisasikan sesuai negara-negara ASEAN. Uji coba model bisnis inklusif dan bertanggung jawab ini harus mencakup komitmen terhadap dukungan pekerjaan perawatan dan pekerjaan yang layak. Uji coba ini juga dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran antar negara. Keberhasilan pilot initiatives tersebut harapannya dapat membantu dalam mengidentifikasi serta memperkuat jaringan sektor swasta yang berkomitmen pada bisnis yang inklusif dan bertanggung jawab.
Penyerahan komunike ini merupakan aksi strategis dari masyarakat sipil untuk menyuarakan dorongan komitmen implementasi bisnis inklusif terhadap pemerintah ASEAN. “Besok pada 23-25 Agustus 2023, ASEAN akan mengadakan Inclusive Business Summit dan September nanti KTT ASEAN akan berlangsung di Jakarta. Kami sangat berharap dan akan terus mengawal agar komunike atau suara masyarakat sipil yang hari ini kami serahkan melalui Menteri Teten benar-benar menjadi keluaran komitmen Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini”, ujar Misthohizzaman, Direktur Eksekutif INFID.
Herni Ramdlaningrum, Program Manager The PRAKARSA mengatakan, “diperlukan kolaborasi yang lebih dalam antara pemerintah, bisnis, dan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi bisnis yang inklusif. Dalam hal ini pemerintah dapat memberikan insentif, kerangka peraturan, dan dukungan kebijakan untuk mendorong bisnis mengadopsi model bisnis inklusif. Bukan hanya itu, pelibatan organisasi masyarakat sipil perlu dilakukan dalam membangun alat pengukuran dampak serta kerangka pelaporan yang transparan dan terstandardisasi.” “Langkah ini juga perlu dilakukan dengan menyertakan pengalaman OMS dan praktik terbaik dalam mempromosikan kolaborasi dan pembelajaran lintasnegara dalam Inclusive Business Knowledge Hub yang akan diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dalam ASEAN IB Summit ke-6 tahun 2023. Selain itu, untuk memastikan prinsip bisnis inklusif ini terealisasikan di ASEAN, kita semua perlu memastikan adanya pelibatan dan partisipasi yang bermakna dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sektor swasta, OMS, organisasi pendukung hak-hak perempuan, petani, nelayan, serta careworker dan caregiver,” tutup John Samuel, Direktur Regional Oxfam di Asia.
Komunike bisa dibaca secara lengkap di sini: