Pandemi Memperlebar Ketimpangan Kaya-Miskin di Indonesia dan Dunia

Di masa pandemi, orang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Singkatnya, ketimpangan makin menganga. Demikian riset Oxfam.

tirto.id – Lembaga riset Oxfam menyatakan pandemi COVID-19 telah menyebabkan ketimpangan di dunia semakin meningkat. Pendeknya, virus Corona membuat yang kaya tetap bahkan semakin kaya sementara yang miskin akan semakin miskin.

Dalam riset bertajuk “Virus Ketimpangan”, Oxfam mencatat kekayaan 1.000 miliuner dunia sempat turun dari 9.150 miliar dolar AS pada Februari 2020 ke 6.432 miliar dolar AS pada Maret 2020. Akan tetapi, hanya dalam waktu sembilan bulan atau per November, kekayaan para miliuner sudah kembali ke level 9.139 miliar dolar AS.

Dengan kata lain, selama periode kurang dari satu tahun, miliuner dunia berhasil menambah kekayaan sebesar 2.707 miliar dolar AS. Tentu dengan catatan tebal bahwa itu terjadi saat ekonomi dan bisnis lesu dilanda pandemi.

Jika harta itu didistribusikan secara merata, maka jumlahnya lebih dari cukup untuk menahan penambahan kemiskinan akibat pandemi. Oxfam memperkirakan biaya untuk mencegah 226 juta orang jatuh di bawah garis kemiskinan (5,5 dolar AS per hari) sesuai prediksi Bank Dunia hanya berkisar 88 miliar dolar AS.

Pemerintah di berbagai belahan dunia harus bekerja keras mencegah ketimpangan memburuk akibat COVID-19, kata Oxfam. Mereka memprediksi jika gini ratio atau alat ukur ketimpangan memburuk 2 persen saja, ada potensi tambahan 501 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Dampaknya, akan butuh lebih dari 10 tahun agar angka kemiskinan bisa kembali ke level sebelum pandemi. Oxfam memprediksi tanpa intervensi memadai, jumlah orang miskin dunia tahun 2030 (3,4 miliar) akan tetap lebih tinggi dari level tahun 2019 (3,2 miliar).

“Kita menyaksikan lonjakan ketimpangan terbesar sejak perhitungannya dimulai. Kesenjangan antara yang miskin dan kaya terbukti sama mematikannya seperti virus COVID-19,” ucap Executive Director of Oxfam International Gabriela Bucher dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021) lalu.

Di Indonesia, indikasi ke arah sana telah terlihat. Menurut Forbes, kekayaan miliuner tetap meningkat per Desember 2020 dibanding Desember 2019. Hartono Bersaudara, misalnya, kekayaannya bertambah dari 37,7 miliar dolar AS ke 38,8 miliar dolar AS. Sementara Keluarga Widjaja di urutan kedua hartanya naik dari 9,6 miliar dolar AS ke 11,9 miliar dolar AS. Di sisi lain, BPS mencatat rata-rata upah gaji/buruh/karyawan per Agustus 2020 saja sudah turun 5,2 persen, dari Rp2,89 juta ke Rp2,76 juta.

Indikasi lain, data Gaikindo mencatat penjualan merek premium dan mewah relatif tak terpengaruh lantaran masyarakat kelas atas cukup kuat ekonominya. Penjualan seperti BMW hanya turun 16,7 persen. Sementara merek seperti Toyota yang lebih dominan digunakan masyarakat menengah-bawah turun hingga 44,8 persen.

Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan sebelum pandemi saja ketimpangan di Indonesia nyata, dilihat dari gini ratio yang masih cukup tinggi meski sudah mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir.

“Sebelum COVID-19 saja pemerataan lamban. Akibat pandemi tentu ketimpangan akan menganga lagi,” ucap Rizal kepada reporter Tirto, Rabu (27/1/2021).

Rasio gini per Maret 2020 masih berada di kisaran 0,381 setelah turun dari Maret 2011 di kisaran 0,410. Nilai yang sudah diturunkan susah payah itu tidak jauh berbeda dari posisi per Maret 2009 yang mencapai 0,376 poin.

Data BPS juga menunjukkan dalam lima tahun terakhir 20 persen penduduk teratas menguasai lebih dari 45 persen total pengeluaran nasional. Sementara 40 persen penduduk miskin konsisten menguasai hanya sekitar 17 persen.

Peneliti Kebijakan Sosial Perkumpulan PRAKARSA Eka Afrina Djamhari mengatakan pemburukan ketimpangan semakin sulit dihindari lantaran dampak pandemi yang memukul rata hampir semua sektor. Berbeda dengan krisis 1998 dan 2008 lalu, UMKM dan masyarakat menengah bawah benar-benar kesulitan memperoleh pendapatan lantaran pandemi mengharuskan adanya pembatasan aktivitas.

Ia pun tak heran bila di Maret 2020 kemiskinan sudah bertambah dari 9,22 persen menjadi 9,78 persen, padahal pandemi baru diumumkan pertengahan Maret. Kemiskinan tentu akan semakin menjadi bila memperhitungkan dampak dari lonjakan pengangguran dari 7,1 juta ke 9,77 juta per Agustus 2020 berikut penurunan pendapatan pekerja di Indonesia sebanyak 5,2 persen.

Sayangnya, berbagai fakta lapangan ini direspons dengan kurang maksimal oleh pemerintah. Misalnya, data bantuan sosial (bansos) yang baru menjangkau masyarakat miskin tetapi belum mencangkup mereka yang hampir menyentuh batas kemiskinan apalagi korban PHK. Belum lagi bansos yang diterima masyarakat pun dikurangi karena korupsi.

Mirisnya, pada tahun lalu, pemerintah justru memangkas pajak korporasi dari 25 persen ke 23 persen. Lalu berlanjut lagi tahun ini sebesar 21 persen. Bagi yang sudah terdaftar di bursa, pajaknya masih bisa turun lagi sampai 17 persen saja.

Menurut Eka, kebijakan ini jelas akan lebih banyak dinikmati masyarakat kelas atas. Di saat yang sama, penerimaan negara turun dan kemampuan pemerintah menahan pelebaran ketimpangan semakin terbatas. Belum lagi serangkaian relaksasi pajak dan kebijakan lain yang lama dimaksudkan untuk meringankan beban pengusaha.

“Ketimpangan sudah jelas-jelas akan semakin terjadi di Indonesia, bukan hanya negara Eropa. Pasti banget,” simpul Eka kepada reporter Tirto, Rabu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya demi mencegah dampak terburuk dari pandemi bagi masyarakat kelas bawah. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyatakan tanpa berbagai bantuan pemerintah, tingkat kemiskinan tentu dapat memburuk dari yang tercatat saat ini.

“Seandainya pemerintah tidak melakukan langkah itu, prediksi kemiskinan bisa melonjak di atas 10,2 persen,” ucap Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat virtual bersama Komisi XI DPR RI, Rabu.

Sebuah riset oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) juga mencatat bantuan pemerintah sudah berhasil menghambat anjloknya pengeluaran rumah tangga termiskin. Sebagai contoh, awalnya COVID-19 menyebabkan penurunan hingga 6,3 persen tetapi bantuan pemerintah mengangkat hingga 8,3 persen.

Sumber: Tirto.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.