Pemerintah Diminta Tak Tinggi Naikkan Iuran Kelas Rawat Inap Standar BPJS

Warga mengakses aplikasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di perangkat telepon pintarnya di Bogor, Jawa Barat. Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO

Kumparan.com – Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan akan mulai berlaku di semua rumah sakit selambatnya Juni 2025. Kebijakan ini disambut baik organisasi masyarakat sipil, salah satunya Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan Publik The PRAKARSA.

Risiko kenaikan iuran perlu diperhatikan sebagai dampak yang penerapan kelas standar. Risiko kenaikan iuran akan berdampak pada kelompok rentan dan miskin yang sebagian besar berada di kelas 3, sehingga penetapan iuran kelas yang diputuskan untuk menjadi standard KRIS tidak boleh terlalu tinggi seperti ke kelas 1, karena dapat memunculkan kenaikan yang signifikan pada iuran kelas 3, terutama peserta mandiri.

The PRAKARSA telah mendorong adanya kebijakan kelas standar dalam Jaminan Kesehatan Nasional sejak awal SJSN disahkan. Pada tahun 2020, gagasan ini disampaikan kembali dalam Webinar Konsultasi Publik Konsep Kebijakan Rawat Inap JKN yang diselenggarakan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Republik Indonesia, pada September 2020.

Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan, melihat ada enam pokok persoalan yang diatasi dengan adanya kebijakan KRIS ini. Mulai dari KRIS dapat menghilangkan stigmatisasi kelas miskin dan kurang mampu peserta JKN-PBI, menghilangkan diskriminasi layanan kesehatan, menghilangkan ketimpangan ketersediaan fasilitas kesehatan (termasuk jumlah tempat tidur) antar kelas – ‘kelas kaya X kelas miskin’.

“Lalu, pemerataan kualitas fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan, sebagai upaya mencapai universal health coverage (UHC) 100 persen. Terakhir, dapat memberikan ‘insentif’ kepada pengembangan dunia bisnis,” ujar Maftuch dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (15/5).

Enam pokok persoalan tersebut juga didasarkan pada hasil temuan penelitian PRAKARSA tahun 2017 mengenai Ekuitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin di Indonesia (JKN).

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan JKN di RS/PUSKESMAS/Klinik menghadapi kendala seperti fasilitas yang kurang layak, kualitas layanan kurang baik, dan jenis layanan yang tidak lengkap. Selain itu, persoalan akses terhadap layanan seperti transportasi menuju layanan kesehatan semakin menyulitkan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan.

PRAKARSA melihat pelaksanaan KRIS yang diatur dalam Peraturan Presiden tersebut merupakan langkah maju untuk mewujudkan akses jaminan kesehatan yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia.

PRAKARSA juga mengapresiasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang telah membuka ruang dialog dengan aktor non-pemerintah dalam proses penyiapan kebijakan dan implementasi Kelas Standar Rawat Inap ini.

“Pelibatan kelompok masyarakat sipil dalam proses penyusunan kebijakan KRIS merupakan wujud konkret kolaborasi multisektor dapat mendorong terwujudnya kebijakan yang berbasis bukti di Indonesia”, katanya.

Di sisi lain, PRAKARSA melihat kebijakan KRIS bukanlah akhir dari upaya meningkatkan keadilan JKN bagi masyarakat. Maftuch menekankan agar penerapan KRIS dengan kelas standar disetarakan dengan layanan kelas 2.

“Adanya penerapan KRIS dapat memunculkan dua dampak nyata, yakni risiko kenaikan iuran dan risiko hilangnya peserta BPJS Kesehatan terutama yang sudah bergabung di kelas 1 sebelumnya,” tutur Maftuch.

Meskipun begitu, penerapan kelas standar sesuai kelas 2 ini maksimal adalah 5 tahun, karena ada risiko penurunan kepesertaan, terutama para peserta JKN Kelas 1 yang telah membayar lebih tinggi.

Standardisasi ke kelas 2 dapat membuat segmen kelas ini enggan melanjutkan kepesertaan BPJS Kesehatan dan standar yang diambil dalam KRIS harus dinaikkan. Kemudian, menaikkan standar kelas setelah penerapan KRIS juga harus ditunjang dengan kemudahan akses layanan kesehatan seperti fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau dan ketersediaan transportasi penunjang.

Pemerintah juga perlu memberikan dukungan kepada organisasi masyarakat sipil yang menyelenggarakan layanan kesehatan. Upaya ini perlu dilakukan, karena penyedia layanan kesehatan, terutama yang bukan dikelola oleh pemerintah akan kesulitan dalam mewujudkan amanat peraturan tersebut.

Hal ini perlu dilakukan sebelum adanya kewajiban penerapan sistem KRIS di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia per 30 Juni 2024. Setelah hampir lima tahun proses realisasi kelas standar JKN, Pemerintah Indonesia akhirnya telah mengesahkan kebijakan Kelas Rawat Inap Standard (KRIS) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang mulai berlaku per 8 Mei 2024.

Sumber: Kumparan.com

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.