The PRAKARSA bersama Oxfam di Asia menggelar side event berupa diskusi pada gelaran Fifth ASEAN Inclusive Business Summit 2022 di Kamboja. Kegiatan ini megangkat tema ‘Creating Shared Value in The ASEAN Through Inclusive and Responsible Business (Menciptakan Nilai Bersama di ASEAN Melalui Bisnis yang Inklusif dan Bertanggung Jawab)’, pada Selasa (25/10/2022).
Selain dari The PRAKARSA dan Oxfam di Asia, kegiatan ini juga dihadiri oleh Under Secretary of State and Spokesman Ministry of Commerce of Cambodia H.E. Penn Sovicheat, Direktur Perundingan Perdagangan ASEAN Kementerian Perdagangan Indonesia Dina Kurniasari, dan Rice Program Manager Rikolto Indonesia Nana Suhartana.
Pada kesempatan ini, Manajer Penelitian dan Pengetahuan The PRAKARSA Eka Afrina mengawali diskusi dengan paparan hasil penelitian PRAKARSA terkait Global Value Chain (GVC) yang berjudul ‘Tracking Global Value Chains (GVCs) on Palm Oil, Fisheries, Rice and Coffee Commodities in Indonesia, Thailand, The Philippines, and Vietnam’. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola dan pola pergeseran GVC kelapa sawit, perikanan, beras dan kopi di Indonesia, Thailand, Vietnam dan Filipina dan untuk mengetahui apakah sistem rantai pasokan untuk empat komoditas di empat negara tersebut sudah inklusif dan bermanfaat bagi aktor marjinal seperti petani dan nelayan kecil, serta pekerja perempuan.
Pedoman bisnis inklusif merupakan pedoman yang telah disahkan oleh para Menteri Ekonomi ASEAN pada 2020. Pedoman tersebut memberikan garis besar tentang bagaimana bisnis inklusif dapat didukung di tingkat nasional, dan pengaturan kelembagaan apa yang diperlukan untuk menerapkannya.
Pedoman tersebut juga memberikan rekomendasi tentang bagaimana para pembuat kebijakan ASEAN dapat secara kolektif mempromosikan bisnis inklusif di tingkat regional. Selain itu, adopsi prinsip bisnis inklusif juga diyakini dapat mendukung penghidupan yang berkelanjutan. Jaringan Filantropi Ventura Asia (AVPN) pada 2019 memperkirakan bisnis inklusif di ASEAN berpotensi menciptakan 1,8 juta lapangan kerja.
Namun, menurut Eka, penerapan pedoman bisnis inklusif menemui berbagai tantangan. Berdasarkan penelitian PRAKARSA, secara umum nelayan dan petani kecil di ASEAN merupakan aktor yang menerima nilai paling kecil dari rantai nilai yang ada sehingga masih harus berhadapan dengan permasalahan berupa resiko kemiskinanan multidimensi.
“Nelayan tradisional umumnya hidup dalam kondisi perumahan yang buruk, pemukiman padat, minimnya akses air bersih, kondisi sanitasi yang buruk serta kondisi kerja yang tidak layak. Sedangkan petani kecil menghadapi masalah berupa asuransi pertanian dan masalah perubahan iklim,” jelas Eka.
Masalah perubahan iklim yang dihadapi meningkatkan kerugian dan kerusakan, sehingga petani tidak mendapatkan keuntungan dan tidak bisa menabung karena biaya produksinya yang tinggi. Slain itu, suhu panas yang meningkat, kekeringan dan banjir telah mempengaruhi volume dan kualitas hasil panen. “Bahkan petani padi di Thailand dan Filipina mengalami kesulitan dalam memprediksi awal musim tanam dan menghadapi gagal panen akibat perubahan iklim selama beberapa dekade terakhir dan nelayan di Indonesia kesulitan menentukan musim tangkap ikan dan menentukan jarak melaut karena perubahan cuaca dan iklim.” tutur Eka.
Eka menambahkan, selain berbagai pemasalahan tersebut petani dan nelayan kecil juga menghadapi permalahan berupa diskriminasi gender seperti yang dialami para pekerja sawit perempuan, kurangnya peningkatan daya saing bagi pelaku marginal seperti kurangnya peningkatan teknologi bagi petani kecil dan nelayan tradisional.
“Serta permasalahan berupa minimnya akses permodalan karena minimnya literasi keuangan dan pelaku perbankan umumnya enggan menyalurkan kredit kepada para petani kecil karena tingginya tingkat kredit macet ,” kata Eka
Untuk itu, menurut Eka, pemerintah harus meningkatkan akses bagi aktor marjinal untuk berpartisipasi secara substansial dalam GVC. Semlain itu, komunitas bisnis juga harus mematuhi kebijakan dan peraturan terkait hak dan standar hidup pekerja.
“Serta organisasi masyarakat sipil (OMS) juga harus bekerja sama untuk memantau implementasi kerangka bisnis inklusif ASEAN pada rantai nilai global dan pedoman bisnis inklusif ASEAN harus memperhitungkan kebijakan sensitif gender dan perlindungan sosial,” ucap Eka.
Sejalan dengan hal tersebut, Lead Private Sector Engagement Team, Oxfam in Asia Jacques Chai Chomthongdi menyebut, Pedoman bisnis Inklusif ASEAN harus mampu berkontribusi dalam menangani dampak sosial, isu-isu yang relevan bagi perempuan, pemberdayaan ekonomi dan perlindungan sosial, serta ketahanan iklim.
“UMKM harus menjadi inti dari promosi bisnis inklusif, dalam kemitraan dengan UMKM dan badan pengembangan usaha negara-negara anggota ASEAN yang berada dalam posisi terbaik untuk mempromosikan dan mendukung bisnis inklusif di yurisdiksi masing-masing,” kata Jacques.
Jacques juga menyebut, ASEAN harus mempertimbangkan mekanisme akreditasi yang lebih inklusif yang idealnya dipimpin oleh sektor swasta melalui konsorsium atau multi-stakeholder, dengan pertimbangan utama pada keterjangkauan dan aksesibilitas, terutama bagi UMKM.
“ASEAN juga harus mendorong negara-negara anggotanya untuk melakukan koordinasi dan menyusun pedoman bisnis inklusif ASEAN melalui dialog kebijakan, dan dalam menjalin kemitraan dengan lembaga pemerintah terkait serta melakukan percepatan penerapan pedoman melalui kementerian terkait yang fokus menangani bisnis inklusif,” tutup Jacques.