Penguatan Semu Keuangan Berkelanjutan di Indonesia: Catatan Kritis Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan

Jakarta, ResponsiBank – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pada awal Januari 2023. Di hari sidang paripurna terakhir, Kamis 15 Desember 2022, undang-undang yang disusun menggunakan metode omnibus ini mengubah enam belas undang-undang sektor keuangan dan dilakukan dengan proses yang tergesa-gesa, tidak transparan, serta non partisipatif.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keuangan Berkelanjutan yang terdiri dari ICEL, Jikalahari, dan Responsibank Indonesia menganggap konsultasi publik yang beberapa kali telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jauh dari kata bermakna. Pasalnya, konsultasi publik tersebut hanya dilakukan terbatas kepada undangan tertentu dan naskah yang dibuka kepada publik hanyalah versi 20 September 2022. Selain itu, kanal pemberian masukan hanya dibuka dalam batas waktu yang minim dan tidak banyak yang mengetahui kanal ini, mengingat substansi rancangan UU yang banyak. “Pun pembahasan antara DPR dan pemerintah dilakukan secara tertutup dengan minimnya pengumuman pada agenda dalam website DPR dan penyiaran pada TV Parlemen, Youtube DPR, maupun pemberitaan lainnya,” kata Dwi Rahayu Ningrum, Sustainable Development Officer The PRAKARSA.

Selain permasalahan prosedural, UU P2SK juga dianggap memuat beberapa pasal yang berpotensi greenwashing dalam produk perundang-undangan. Bebrapa permasalahan yang di sorot oleh ResponsiBank diantaranya. Pertama, Keuangan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 224 masih belum berhasil mengamplifikasi prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan secara konkret. Aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan masih jauh dari norma yang aplikatif.

Mengacu pada Equator Principles dan United Guiding Principles on Business and Human Rights–sebagai standar internasional, dalam rangka melaksanakan keuangan berkelanjutan, institusi bisnis (dalam hal ini pembiayaan) berkewajiban untuk memiliki kebijakan lingkungan, sosial, dan tata kelola di internal bank. Serta melaksanakan uji tuntas HAM atau dikenal dengan human rights due diligence, mengatur keterbukaan informasi dalam laporan keuangan berkelanjutan, dan berkewajiban melaksanakan grievance mechanism dan perbaikan lingkungan yang rusak atas pembiayaan kotor. “Keempat langkah fundamental tersebut tidak tercermin di dalam UU P2SK, sehingga UU P2SK hanya menghadirkan frasa “keuangan berkelanjutan” sebagai jargon modern dalam pengelolaan keuangan yang tidak bermakna,” kata Dwi.

Kedua, ResponsiBank Indonesia menganggap UU P2SK belum secara khusus memberikan perlindungan untuk pelaksanaan bisnis yang ramah gender dan dianggap abai pada fakta bahwa perempuan dapat secara disproporsional terdampak dari pembiayaan yang merusak lingkungan dan melanggar HAM. Ketiga, absennya kewajiban lembaga jasa keuangan untuk melaksanakan transparansi dan akuntabilitas dalam aktivitasnya. Dalam keuangan berkelanjutan performa lembaga jasa keuangan terkait kebijakan berkelanjutan dan performa klien atau perusahaan peminjam harus dibuka kepada publik. Namun, UU P2SK luput mengatur prinsip dasar keuangan berkelanjutan yakni transparansi dan akuntabilitas. Hal ini juga mengacu pada keterbukaan informasi publik sebagai pelaksanaan pengawasan publik atas kegiatan yang berpotensi atau telah merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

Keempat, UU P2SK dipandang telah melanggengkan kesalahan penerapan keadilan restoratif sebagai bentuk penghapusan pidana dan menghentikan penyidikan. Hal ini diatur dalam Pasal 48B UU OJK yang mencampurkan kewenangan penyidik OJK dengan konsep penyelesaian sengketa (grievance mechanism). “Padahal, mekanisme keadilan restoratif dan konsep penyelesaian sengketa tidak bersifat meniadakan pidana,” tutur Dwi.

Kelima, UU ini juga disebut berpotensi menganggu independensi OJK, dengan didirikannya Badan Supervisi OJK dalam Pasal 38A. Badan Supervisi OJK merupakan badan yang diseleksi, dipilih, dan diberhentikan oleh DPR. Ia bertugas membantu DPR RI untuk melakukan pemantauan kinerja OJK dengan memanggil Komisioner OJK, meminta keterangan OJK, dan meminta tembusan laporan keuangan. Secara hukum ketatanegaraan, pembentukan Badan Supervisi ini dinilai berbahaya bagi keberlangsungan OJK yang merupakan lembaga negara independen karena memungkinkan DPR mengintervensi kebijakan yang diterbitkan OJK.

Selanjutnya, UU P2SK juga dinilai telah membatasi upaya penyelesaian sengketa dalam perlindungan konsumen dengan hanya membolehkan pengajuan gugatan melalui badan penyelesaian sengketa yang mendapatkan persetujuan dari OJK dalam Pasal 245 ayat (2) huruf b. Hal ini kemudian dianggap berpotensi menghambat independensi lembaga penyelesaian sengketa konsumen, karena OJK akan disupervisi oleh Badan Supervisi OJK. “Terlebih, UU P2SK menutup kemungkinan penggunaan UU Perlindungan Konsumen, UU 8 tahun 1999 dalam Pasal 248. Dengan demikian, lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang selama ini menjadi lembaga yang mengadvokasi perlindungan konsumen tidak berlaku dalam menyelesaikan persoalan konsumen dengan lembaga jasa keuangan,” tambah Dwi.

Berbagai permasalahan tersebut dinilai akan mempersulit implementasi keuangan berkelanjutan. UU P2SK seperti memberikan kemajuan semu atas pengaturan keuangan berkelanjutan. Lagi-lagi pembentukan undang-undang hanya menyasar pada kepentingan dan kebutuhan bisnis. Mimpi Indonesia untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan masih jauh api dari panggang melihat saat ini produk undang-undang yang mempromosikan keuangan berkelanjutan masih kalah menekan kepentingan bisnis.

Dengan demikian, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keuangan Berkelanjutan meminta pemerintah untuk meninjau kembali beberapa konsep dalam UU P2SK yang pengaturannya dapat menimbulkan masalah, seperti keuangan berkelanjutan, keadilan restoratif, grievance mechanism, dan supervisi OJK. Selain itu, pemerintah juga dianggap perlu menguatkan pengaturan keuangan berkelanjutan secara holistic, termasuk grievance mechanism dalam peraturan turunan UU P2SK.

Terakhir, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keuangan Berkelanjutan meminta pelaku bisnis dan institusi finansial untuk mengimplementasikan uji tuntas HAM, mulai dari membuat kebijakan di internal, melaksanakan asesmen risiko dan dampak, melakukan integrasi di internal, melakukan pengawasan dan pelaporan, serta melakukan remediasi.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.