Penilaian Kebijakan Bank Menujukkan Bank di Indonesia Masih Fokus Pada Inklusi Keuangan dan Mengabaikan Isu Perubahan Iklim

Jakart, The PRAKARSA – Koalisi ResponsiBank Indonesia sebagai koalisi masyarakat sipil yang bekerja untuk mendorong kebijakan dan praktik pembiayaan yang bertanggungjawab menyelenggrakan Diskusi Publik dan Talkshow bertajuk “Implementasi Keuangan Berkelanjutan dalam Pembiayaan dan Investasi di Indonsia: Sudah Sampai Mana?”. Bertempat di Gran Melia Hotel, Jakarta, kegiatan ini sekaligus melaunching laporan pemeringkatan bank yang ke-lima “Mengukur Kemajuan Kebijakan Keuangan Berkelanjutan Perbankan di Indonesia” yang dilakukan oleh The PRAKARSA sebagai Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia. Pada Kamis (14/9).

Laporan ini menilai kinerja perbankan dari berbagai aspek sesuai panduan/metodologi keuangan internasional yang dikembangkan oleh Fair Finance Guide International (FFGI). Penilaian dilakukan pada 11 bank di Indonesia, yang mewakili kelompok bank umum/komersial terbesar di Indonesia baik dalam hal besaran total aset maupun modal inti. Ke-11 bank tersebut adalah Bank BNI, BRI, Mandiri, BCA, CIMB Niaga, Danamon, Maybank, BJB, Permata Bank, DBS, dan HSB.

Penilaian dilakukan berdasarkan 16 tema yang dipilih berdasarkan isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat internasional serta relevan dengan konteks Indonesia diantaranya tema perubahan iklim, persenjataan, perlindungan konsumen, korupsi, kehutanan, inklusi keuangan, kesetaraan gender, pertambangan, transparansi dan akuntabilitas, hak asasi manusia (HAM), minyak bumi dan gas, hak pekerja, pembangkit listrik, alam atau keanekaragaman hayati, perpajakan, dan kesehatan.

Dari 16 tema tersebut, 5 bank teratas yang mendapatkan skor tertinggi yaitu HSBC, Bank DBS, CIMB Niaga, Bank BCA, dan Bank BRI. Selain itu, terdapat 4 bank yang mengalami penurunan peringkat yakni Maybank, BNI, Bank Permata, dan BJB jika dibandingkan dengan penilaian di tahun 2020. Dari keempat bank tersebut BNI mengalami penurunan paling signifikan, yakni dari peringkat lima menjadi peringkat sembilan di tahun 2022. BNI tidak mendapatkan skor pada 9 tema yang dinilai karena dalam dokumen yang dipublikasikan oleh BNI tidak ditemukan pengungkapan atas informasi ataupun kebijakan terkait.

Meskipun terjadi peningkatan komitmen maupun kebijakan dari aspek lingkungan, sosial dan tata kelola, namun tidak cukup memuaskan karena masih berada dalam kategori “sangat kurang” dan “kurang”. “Memang sudah terdapat kemajuan dalam kebijakan keberlanjutan perbankan di Indonesia, namun skornya masih sangat rendah dan belum bergerak signifikan. Bank-bank di Indonesia belum berani untuk menetapkan target-target yang tinggi,” kata Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan.

Maftuchan juga menjelaskan, sektor keuangan berperan penting dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan, untuk itu sudah saatnya lembaga keuangan memiliki kebijakan tertulis dan secara eksplisit terkait komitmen pembiayaan yang dilakukan. Selain itu menurut Maftuchan, pentingnya peran OJK, “sehingga OJK juga perlu mengembangkan skema insentif dan disinsentif untuk menarik perbankan mengalokasikan pembiayaan ke sektor hijau,” terangnya.

Kebijakan untuk Isu Perubahan Iklim Masih Rendah

Lebih lanjut, Dwi Rahayu Ningrum, Peneliti Keuangan Berkelanjutan PRAKARSA dalam paparannya menjelaskan, pada tema perubahan iklim, skor tertinggi masih pada rentang nilai cukup (4,0). Beberapa bank bahkan mendapatkan skor 0,0 pada tema ini seperti BNI, BCA, dan BJB.

“Ketiga bank ini masih belum memiliki target terukur untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), baik untuk kegiatan operasional maupun pembiayaannya. Meskipun beberapa bank sudah mulai bergerak untuk mendukung target Net Zero Emisison, namun sayangnya belum ada komitmen untuk menghentikan portofolio ke sektor batu bara. Sebagai contoh BRI meskipun telah memiliki daftar pengecualian pada aset pembiayaan yang terkait dengan bahan bakar fosil, namun tidak ditemukan komitmen/kebijakan tertulis terkait hal tersebut,” jelas Dwi.

Tema lain yang juga mendapatkan skor rendah adalah pembangkit listrik, peringkat pertama ada HSBC dengan skor yang hanya mencapai 3,5, diikuti DBS dengan skor 2,9, Maybank dengan skor 2,0, dan BRI dengan skor 2,0. Sedangkan bank-bank nasional lain seperti Mandiri dan BNI hanya menempati peringkat ke 7 dan 10 dengan skor masing-masing 0,8 dan 0,5.

Disisi lain, terdapat juga tema yang mendapatkan skor tinggi yaitu tema inklusi keuangan yang diperoleh BNI dengan skor 7,7, disusul Bank Mandiri dengan skor 6,5 dan Bank Danamon dengan skor 6,2. BNI menjadi bank yang konsisten mengembangkan kebijakan ini, karena di tahun 2020 BNI juga menempati peringkat pertama di tema inklusi keuangan dengan skor yang sama.

Menyambung hal tersebut, Ricko Nurmansyah yang juga merupakan Peneliti Keuangan Berkelanjutan PRAKARSA menyampaikan, bank-bank di Indonesia perlu meningkatkan komitmen pada beberapa tema yang masih mendapatkan penilaian re dah, seperti pada tema kesehatan, kesetaraan gender, pertambangan, perubahan iklim, serta gas dan minyak bumi.

Mengukur Komitmen dan Kebijakan Penanganan Perubahan Iklim Tidak Mudah

Merespon hasil riset tersebut, pada sesi talkshow Direktur Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan menyampaikan, yang menjadi tantangan kita saat ini adalah menghitung perubahan iklim tidaklah mudah. “Konversi faktornya berbeda-beda dan sumbernya berbeda-beda dan itu perlu banyak pembelajaran dan banyak sekali greenwashing yang sudah muncul. Beberapa bank yang menyampaikan Net Zero Emission (NZE) sudah ditegur, tidak boleh lagi menyampaikan iklan itu karena baseline-nya belum terverifikasi,” jelas Juniati.

Sementara itu, Yunus Husain, Ketua PPATK 2002 berpendapat, lahirnya UU No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan merupakan langkah maju untuk pengembangan dan penguatan keuangan berkelanjutan di Indonesia. “Mencoba untuk di-address dengan perdagangan karbon, sustainable financing, dan kemudian juga taksonomi hijau. Ini merupakan satu kemajuan dan sudah ada kebijakan OJK sendiri terkait masalah ini,” tutur Yunus.

Yunus juga berpendapat, agar lembaga jasa keuangan memiliki komitmen dalam menerapkan keuangan berkelanjutan yang penting harus diperhatikan adalah bagaimana mengaitkan isu-isu keberlanjutan terutama ESG dengan tingkat kesehatan bank dan kemudian dibutuhkan pengawasan dari pemerintah.

“OJK sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengatur dan mengawasi industri keuangan memang sudah mengeluarkan aturan, tapi yang paling penting adalah pertama bagaimana memberlakukan aturan itu baik pada waktu pengawasan yang pasif melalui laporan-laporan yang diharapkan, kemudian yang kedua di dalam pemeriksaan-pemeriksaan, dalam pengawasan aktif maupun pasif itu kan ujungnya ke penilaian tingkat kesehatan, ada masalah risiko, governance, modal, dan keuntungan. Nah ini menurut saya kalau dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan saya kira bank akan takut, kalau dia tidak comply pada komponen-komponen yang dinilai tadi,” katanya.

Diperlukan Kebijakan yang Lebih Jelas untuk Semua

Mukhamad Misbakhun, Anggota DPR RI Komisi XI yang juga menjadi salah satu pembicara dalam diskusi kali ini menilai, sayangnya pemerintah selalu gagal membangun desain pembangunan besar ke depan akan dibawa kemana. Menurutnya hal ini penting untuk diperhatikan “karena kita butuh roadmap yang jalas untuk misalnya menurunkan emisi gas rumah kaca itu bagaimana, justru yang terjadi hari ini pemerintah tidak punya roadmap yang jelas, bahkan semua kementerian lembaga memiliki roadmap masing-masing,” kata Misbakhun.

Pada kesempatan ini, Misbakhun juga mengingatkan pentingnya konsistensi pengambil kebijakan. ”Karena rumusan-rumusan di dalam peraturan itu sangat banyak berserakan didalam sistem perundang-undangan kita yang menunjukkan keberpihakan kita, tetapi tolong itu dilaksanakan dengan baik. Kapan regulasi diambil dan kapan regulasi dilaksanakan itu ruangnya sudah terpisah, disitu ada peran legislatif, eksekutif dan masyarakat sipil yang harus juga menjadi pengontrol, dan ruang demokrasi ini adalah ruang untuk bergotong royong melakukan kontrol bersama. Mekanisme inilah yang bisa kita gunakan untuk saling mengingatkan, bahwa negara ini milik kita bersama yang isinya manusia yang harus dipikirkan bersama, kalau mau cari untung ya silahkan, tapi dengan cara yang benar,” tegas Misbakhun.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.