Penulis: Aqilatul Layyinah – Peneliti Kebijakan Sosial The PRAKARSA
Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia. Data Global Burden of Cancer Study tahun 2020 mencatat jumlah kasus baru penyakit kanker di Indonesia mencapai hampir 400 ribu kasus.
Tiga jenis kanker di Indonesia dengan peningkatan kasus tertinggi adalah kanker payudara (16,6%), serviks (9,2%), dan paru-paru (8,8%).
Kebutuhan pasien kanker selama menjalani pengobatan sangat beragam, seperti obat-obatan, tindakan penanganan atau terapi, dan kontrol rutin. Mereka juga perlu perawatan paliatif selama berada di rumah, dan dukungan rumah singgah untuk pasien dari luar daerah saat berobat di kota-kota besar seperti Jakarta.
Perawatan paliatif merupakan perawatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang kemungkinan sembuhnya kecil.
Masalahnya adalah cakupan perawatan paliatif di Indonesia masih sangat rendah, yakni 1% dari total pasien terminal.
Penelitian terbaru kami, yang akan terbit akhir bulan ini, menunjukkan bahwa ketahanan pasien kanker dipengaruhi oleh dukungan dari keluarga, komunitas, dan lingkungan kerja.
Temuan lapangan dalam penelitian ini membuktikan bahwa keluarga menjadi sosok utama untuk mendukung dan mendampingi pasien kanker selama dan setelah proses pengobatan.
Risiko kanker makin tinggi, tapi kebijakan belum akomodatif
Peningkatan risiko penyakit kanker sekitar 90-95% disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat.
Kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, obesitas, infeksi virus, dan lingkungan yang terkontaminasi oleh polutan merupakan faktor-faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan penyakit kanker.
Peningkatan polutan dalam udara akibat perubahan iklim juga meningkatkan risiko penduduk dunia terkena penyakit kanker. Faktanya, 2,6 miliar penduduk negara miskin dan berkembang tidak memiliki akses pada bahan bakar nonfosil, sehingga peningkatan risiko kanker akibat paparan polusi udara juga bertambah.
Peningkatan polusi udara juga diprediksi akan meningkatkan risiko penyakit kanker paru-paru dan risiko kematian pada pasien kanker payudara stadium awal secara khusus.
Selama ini, upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya cakupan perawatan paliatif ini belum menyasar pada perawatan paliatif berbasis rumah (homebase palliative care). Absennya kebijakan mengenai perawatan paliatif yang dilakukan oleh keluarga di rumah membuat kebutuhan atas pelatihan perawatan paliatif bagi keluarga pasien terabaikan.
Struktur penduduk di Indonesia juga akan mengalami penuaan dan jumlahnya akan meningkat tajam akibat bonus demografi saat ini. Sehingga kesiapan perawat, keluarga, dan tenaga profesional dalam melaksanakan perawatan paliatif harus diperhatikan.
Sayangnya perawatan paliatif di Indonesia masih berfokus pada perawatan paliatif berbasis rumah sakit.
Kebijakan khusus perawatan paliatif hanya diatur dalam keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor 812 Tahun 2007 tentang kebijakan paliatif. Kebijakan ini hanya berfokus pada pelaksanaan perawatan paliatif yang dilakukan oleh dokter, perawat, tenaga kesehatan, dan tenaga terkait lainnya. Keluarga pasien masih diposisikan sebagai sasaran dari perawatan paliatif.
Padahal, perawatan yang dilakukan oleh keluarga selama pasien melakukan pengobatan dapat dikategorikan sebagai homebase palliative care.
Perawat yang tidak dibayar
Riset kami menunjukkan bahwa keluarga merupakan bagian dari tim perawatan karena ikut membantu dan mengawasi pemberian obat. Mereka juga mengelola efek samping, melaporkan masalah pasien, dan memberikan bantuan perawatan diri serta hal-hal lain.
Mereka dikategorikan sebagai perawat dari keluarga atau perawat informal yang tidak dibayar dalam memberikan perawatan pada pasien kanker.
Model trayektori kesakitan (illness trajectory) yang digunakan dalam riset ini menangkap bagaimana dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan psikologis pasien kanker.
Dukungan dari keluarga membuat pasien kanker mampu melewati setiap stadium pengobatan sesuai dengan jenis kankernya. Oleh karena itu, perawatan berbasis rumah sangat penting bagi pasien karena proses pradiagnosis hingga pascadiagnosis diakui memberatkan fisik dan psikis pasien serta keluarganya.
Selain absennya kebijakan mengenai homebased palliative care, modul pelatihan untuk perawat keluarga informal juga belum tersedia, sehingga kebutuhan atas pelatihan perawatan paliatif bagi keluarga belum terjawab.
Data persebaran perawatan paliatif yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) atau rumah sakit juga tidak dapat ditemukan. Hanya terdapat satu rumah sakit rujukan kanker nasional yang mempublikasikan data perawatan paliatif berbasis fasilitas kesehatan. Sehingga perawatan paliatif di fasilitas kesehatan belum bisa teridentifikasi dengan jelas.
Belajar dari Australia
Australia merupakan salah satu negara yang memiliki tren pertumbuhan praktik perawatan paliatif di rumah bagi pasien dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk optimalisasi penyelenggaraan perawatan paliatif berbasis rumah adalah kompleksitas perawatan dan peningkatan keterampilan perawat dari keluarga untuk mengatasi gejala pasien. Juga tanggung jawab mereka terhadap kebutuhan fisik dan psikologis pasien, dan dinamika hubungan antara perawat dan pasien.
Perawat dari keluarga juga akan terdampak secara fisik, emosional, finansial, dan sosial saat merawat pasien kanker di rumah. Beban sosial seperti keterbatasan waktu untuk diri sendiri, perubahan rutinitas, dan berkurangnya waktu senggang dialami oleh perawat keluarga.
Oleh karena itu, penerapan praktik perawatan paliatif berbasis rumah wajib memberikan dukungan kebijakan bagi perawat dari aspek psikososial, kesehatan, dan pekerjaan. Dukungan ini dapat diwujudkan dengan perluasan manfaat program jaminan kesehatan nasional bagi keluarga pasien kanker.
Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota perlu mengembangkan kebijakan dan program yang mengintegrasikan perawatan paliatif untuk seluruh pasien kanker di seluruh jenjang fasilitas kesehatan dengan perawatan paliatif berbasis rumah.
Integrasi ini dapat memberikan edukasi pada perawat keluarga apa yang perlu dilakukan saat proses pradiagnosis, selama pengobatan, dan pascapengobatan pasien kanker. Peningkatan kualitas hidup pasien kanker dan keluarganya juga bisa terjamin bila integrasi ini dilakukan sesuai dengan praktik baik yang sudah ada sebelumnya.
Satu catatan penting bagi pemerintah bahwa rekomendasi mengenai optimalisasi peran keluarga untuk melaksanakan perawatan paliatif berbasis di rumah tidak dapat dicapai tanpa dukungan pemerintah.
Pemerintah wajib hadir untuk mendukung sistem perawatan paliatif di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan paripurna. Sehingga proses perawatan bagi pasien kanker bukan hanya menjadi tanggung jawab perawat keluarga dan tenaga kesehatan saja, tapi juga tanggung jawab negara.
Namun, pentingnya transformasi perawatan paliatif di Indonesia belum terefleksikan dalam muatan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di theconversation.com dengan judul “Perawatan paliatif pasien kanker di rumah kurang dukungan, apa yang harus pemerintah lakukan?”. Klik untuk membaca: theconversation.com